Fundamentalisme di dalam kekristenan adalah studi yang berfokus pada gerakan fundamentalisme di dalam kekristenan.[1] Fundamentalisme sendiri sebenarnya sulit untuk didefinisikan dan dibicarakan sebab batas-batasnya tidak jelas.[1] Kelompok-kelompok Kristen yang ada memiliki beragam sikap terhadap penggunaan istilah ini.[1] Ada yang terang-terangan menolak sebutan fundamentalis seperti kelompok di Inggris yang lebih suka disebut evangelikal-konservatif.[1] Ada juga yang dengan bangga menyatakan diri sebagai kelompok fundamentalis, seperti William B. Riley yang mendirikan Asosiasi Kristen Fundamentalis Dunia pada tahun 1919.[2] Akan tetapi, dapat disimpulkan bahwa fundamentalisme secara organisasi bukanlah suatu kelompok yang khusus dan spesifik, sebab ciri-ciri dan semangat fundamentalisme dapat tersebar di dalam banyak gereja dan denominasi.[1]
Definisi
Kendati sulit mendefinisikan gerakan ini, namun ada beberapa definisi yang berasal dari orang-orang yang mengaku diri sebagai seorang fundamentalis Kristen:
• Menurut George W. Dollar, fundamentalisme adalah eksposisi literal terhadap seluruh perintah dan perilaku-perilaku yang berasal dari Alkitab dan militansi terbuka terhadap segala perintah dan perilaku yang tidak Alkitabiah.[3]
• Kemudian Jerry Falwel mendefinisikan fundamentalisme sebagai afirmasi terhadap kepercayaan Kristen dan gaya hidup Kristen tertentu yang menentang masyarakat sekuler pada umumnya.[4]
Latar Belakang
Penerbitan buku "Hal-Hal Fundamental" [5] (dalam bahasa Inggris The Fundamentals) merupakan salah satu tonggak awal dari gerakan fundamentalisme Kristen.[6] Buku tersebut berisi doktrin-doktrin fundamental kekristenan yang ditegakkan kembali dan perlu diejawantahkan di dalam kehidupan setiap orang Kristen.[7] Buku ini diterbitkan sebagai reaksi terhadap situasi kekristenan dan gereja-gereja di Amerika Serikat pada waktu itu yang dipandang mengalami kemerosotan iman menghadapi dunia sekitarnya.[7] Memang sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-20 ketika buku itu terbit, gereja-gereja di Amerika Serikat sedang tertekan oleh perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ajaran Charles Darwin tentang teori evolusi.[7] Ada lima doktrin yang menjadi inti dari pemikiran fundamentalisme, yaitu:
• 1. Pengakuan terhadap doktrin ineransi Alkitab (Alkitab tidak dapat salah).[6]
• 2. Pengakuan akan keilahian Kristus.[6]
• 3. Kelahirannya dari seorang perawan bernama Maria.[6]
• 4. Kematian Kristus sebagai penebusan dosa dunia.[6]
• 5. Kebangkitan Kristus secara jasmaniah dan kedatangan Kristus kembali ke bumi.[6]
Setelah itu, selama tahun 1930-an hingga tahun 1960-an, gerakan kaum Fundamentalis berfokus pada pemisahan diri dengan denominasi-denominasi Kristen yang ada, seperti Baptis, Presbiterian, Metodis, Episkopalian, Pentakostal, dan sebagainya.[8] Akan tetapi, tetap saja gerakan tersebut bukanlah sebuah kelompok yang satu melainkan terpisah-pisah dan hanya dipersatukan oleh kesamaan ciri-ciri.[8]
Ciri-Ciri
Secara umum, ada beberapa doktrin Kristen yang dianggap sebagai dasar iman, seperti lima doktrin yang disebutkan di atas.[6] Akan tetapi, ada beberapa ciri lain dari gerakan fundamentalisme Kristen.
Kontra Teologi Liberal-Modern dan Sekularisasi
Perhatian utama dari gerakan fundamentalisme adalah reduksi yang terjadi di dalam kekristenan akibat liberalisme keagamaan serta sekularisasi masyarakat Amerika.[9] Mereka berupaya menjaga apa yang mereka anggap sebagai dasar utama dari kekristenan yang Ortodoks, yang mereka anggap telah direduksi oleh perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan, misalnya soal penafsiran Alkitab yang terlalu liberal.[9]
Untuk melawan dampak sekularisasi yang dianggap tidak sesuai dengan iman Kristen, kaum fundamentalis melawan dengan cara menegakkan standar moral dan perilaku hidup tertentu, yang serupa dengan tradisi revivalisme Amerika Serikat, misalnya pelarangan atas rokok, minum-minuman keras, berdansa, bermain kartu, pakaian yang dianggap tidak sopan, dan pembatasan aktivitas seksual.[2] Pembatasan-pembatasan seperti ini menolong mereka untuk hidup suci menurut apa yang mereka yakini.[2] Meskipun demikian, mereka tidak menolak untuk berpartisipasi di dalam aspek-aspek lain dari kehidupan modern, seperti berbisnis dan sebagainya.[2]
Ineransi Alkitab
Menurut gerakan ini, kepercayaan Kristen yang fundamental terhadap ineransi Alkitab sedang diserang oleh pendekatan liberal-kritis terhadap Alkitab, yang berarti menyerang dasar iman Kristen.[2] Selain itu, mereka melihat bahwa peradaban Amerika Serikat didasarkan pada Alkitab, sehingga membela kebenaran Alkitab berarti membela peradaban Amerika Serikat pula.[2] Bagi mereka, penafsiran Alkitab yang benar dan menghargai ineransi Alkitab adalah penafsiran yang literal, yang berarti juga mempercayai bahwa Alkitab akurat secara historis dan saintifik.[2] Cara penafsiran yang tidak mengakui hal-hal itu sama saja dengan tidak mengakui ineransi Alkitab.[2] Dari keteguhan mengenai ineransi Alkitab inilah, kaum fundamentalis menyusun doktrin-doktrin yang dianggap fundamental, seperti lima doktrin yang telah disampaikan di atas.[2]
Militansi
George M. Marsden berpendapat bahwa gerakan fundamentalisme memiliki akar dari gerakan evangelikal, namun perbedaan di antara keduanya adalah militansi yang inheren pada gerakan fundamentalisme.[8] Mereka dituntut bukan hanya percaya terhadap doktrin-doktrin fundamental kekristenan, tetapi juga harus mau memperjuangkannya melalui pertarungan melawan teologi liberal, humanisme sekuler, dan sebagainya.[2] Militansi tersebut juga dilakukan melalui gaya hidup tertentu, seperti dijelaskan di atas, serta dengan memenangkan ‘jiwa-jiwa bagi Kristus’.[2] Selain itu, militansi mereka ditunjukkan melalui perjuangan dalam bidang politik yang mengusahakan legislasi tertentu, misalnya dalam hal diwajibkannya doa dan pembacaan di sekolah-sekolah umum, pelarangan ketat terhadap pornografi, pelarangan terhadap perjuangan hak-hak sipil kaum gay dan feminis radikal, dan sebagainya.[10] Militansi tersebut juga seringkali membawa pemisahan antara gerakan fundamentalisme dengan kelompok-kelompok Kristen lainnya, dan juga menjadi batas pemisah antara kaum fundamentalisme keras dan kaum fundamentalisme moderat.[9]
Jenis-jenis
Fundamentalisme Keras
Fundamentalisme keras memiliki karakteristik tertentu seperti pemisahan sepenuhnya dari liberalisme agama, kepercayaan sepenuhnya terhadap inspirasi mekanis Alkitab tanpa ada distorsi sama sekali, dan menganggap Alkitab versi King James sebagai teks Alkitab yang paling benar.[9] Akan tetapi, dua hal yang benar-benar memisahkan mereka dari kaum fundamentalisme moderat adalah doktrin dispensionalisme dan separatisme.[9] Doktrin dispensionalisme pada intinya melihat bahwa dunia akan hancur karena kejahatannya, dan orang-orang Kristen tidak dapat berbuat sesuatu selain menunggu Allah yang akan bertindak secara ajaib.[2] Kemudian ciri lain adalah separatisme total terhadap orang-orang Kristen lain yang tidak sepaham dengan mereka serta dengan dunia yang jahat.[9] Bila ada orang-orang Kristen yang tidak sepaham dengan mereka berarti mereka bukan Kristen sejati dan berkompromi dengan dunia.[9]
Fundamentalisme Moderat
Fundamentalisme moderat adalah varian gerakan fundamentalisme yang mengambil jarak dari gerakan fundamentalisme keras, serta lebih terbuka dalam beberapa hal.[9] Tokoh utamanya adalah Jerry Falwell.[9]. Keterbukaan mereka tampak dalam hal memberi tempat kepada intelektualitas Kristen, berkomitmen pada reformasi sosial, serta mau melakukan oto-kritik terhadap gerakan fundamentalisme.[9] Oto-kritik yang dilakukan terhadap gerakan fundamentalis adalah mentalitas yang tidak mau mengubah diri, terlalu bergantung pada pemimpin tertentu, terlalu hitam-putih dalam melihat sesuatu, terlalu otoriter, dan terlalu sering terpecah-belah karena merasa benar.[9] Kemudian mereka juga tidak menyetujui doktrin dispensionalisme sehingga kaum fundamentalisme moderat turut berjuang dalam mereformasi masyarakat dan keterlibatan sosial.[9]
Referensi
1. James Barr. 1994. Fundamentalisme. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 1-2, 402.
2. George M. Marsden. 1990. "Defining American Fundamentalism". In The Fundamentalist Phenomenon. Norman J. Cohen (ed.). Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company. P. 31.
3. George W. Dollar. 1973. A History of Fundamentalism in America. Greenville: Bob Jones University Press. P. XV.
4. Jerry Falwell, et. al.(eds.). 1981. The Fundamentalist Phenomenon. Garden City, New York: Doubleday. P. 6.
5. The Fundamentals: A Testimony of the Truth, 12 vol. (Chicago: Testimony Publishing Company, 1910-1915).
6. Jaroslav Pelikan. 1990. "Fundamentalism and/or Orthodoxy? Toward an Understanding of the Fundamentalist Phenomenon". In The Fundamentalist Phenomenon. Norman J. Cohen (ed.). Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company. P. 3.
7. Liem Khiem Yang. 1992. "Fundamentalisme dalam Gereja". Di dalam Fundamentalisme, Agama-Agama dan Teknologi. Soetarman, et. al., eds. hal 17-19. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
8. George M. Marsden. 1991. Understanding Fundamentalism and Evangelism. Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company.
9. Clark H. Pinnock. 1990. "Defining American Fundamentalism: A Response". In The Fundamentalist Phenomenon. Norman J. Cohen (ed.). Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company. P. 38-55.
10. Richard John Neuhaus. 1990. "Fundamentalism and the American Polity". In The Fundamentalist Phenomenon. Norman J. Cohen (ed.). Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company. P. 142.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Fundamentalisme_di_dalam_Kekristenan&oldid=4503874"
Kategori:
• Istilah Kristen
• Teologi Kristen
• Fundamentalisme
"WELCOME IN MY BLOG"
Selamat Datang di Blog Saya Semoga Pengunjungan Anda ke Blog Saya Bisa Memberikan Manfaat untuk Anda dan Terimakasih atas Kunjungannya
Jumat, 18 November 2011
Kamis, 10 November 2011
Relationship of The Muslim with Non-Muslims
Special Consideration for the People of the Book
While Islam does not prohibit Muslims to be kind and generous to peoples of other religions, even if they are idolaters and polytheists, as for example, the polytheists of Arabia, concerning whom the above verses were revealed, it looks upon the People of the Book, that is, Jews and Christians, with special regard, whether they reside in a Muslim society or outside it.
The Qur'an never addresses them without saying, "O People of the Book" or "O You who have been given the Book," indicating that they were originally people of a revealed religion. For this reason these exists a relationship of mercy and spiritual kinship between them and the Muslims, all having in common the principles of the one true religion sent by Allah through his prophets (peace be
on them all): He has ordained for (the Muslims) the same religion which He enjoined on Noah, and that which We have revealed to thee (Muhammad) and that which We enjoined on Abraham, Moses, and Jesus: that you should establish the faith and make no division in it....(42:13).
Muslims are required to believe in all the Books revealed by Allah and in all the prophets sent by Him; otherwise they are not Believers. Say: We (Muslims) believe in Allah and in what He has revealed to us, and in what He revealed to Abraham and Ishmael and Isaac and Jacob and the tribes (of Israel), and in what was given to Moses and Jesus, and in what was given to (all) the prophets by their Lord. We make no distinction between any of them, and to Him do we submit. (2:136).
Consequently, if the People of the Book read the Qur'an, they will find in it praise for their Books, messengers, and prophets. If Muslims hold discussions with the People of the Book, they should avoid such approaches as cause bitterness or arouse hostility: And do not dispute with the People of the Book except by (the way) which is best, unless it be with such of them as transgress, and say, 'We believe in what has been sent down to us and sent down to you, and our God and your God is one, and to Him do we submit.' (29:46).
We have already seen how Islam permits eating with the People of the Book, sharing the meat they slaughter, and marrying their women, marriage being a relationship of mutual love and mercy. As Allah Ta'ala says: ...The food of those who were given the Scripture (before you) is permitted to you and your food is permitted to them. And (lawful to you in marriage are) chaste women from among the Believers and chaste women from among those who were given the Scripture before you.... (5:6 (5)).
This relates to the People of the Book in general. However, Christians in particular have been given special status by the Qur'an and are considered much closer to the hearts of the Believers.
Non-Muslim Residents of an Islamic State
The above injunctions include all People of the Book wherever they may be. However, those people who live under the protection of an Islamic government enjoy special privileges. They are referred to as "the Protected People" (ahl al-dhimmah or dhimmies), meaning that Allah, His Messenger (peace be on him), and the community of Muslims have made a covenant with them that they may live in safety and security under the Islamic government.
In modern terminology, dhimmies are "citizens" of the Islamic state. From the earliest period of Islam to the present day, Muslims are in unanimous agreement that they enjoy the same rights and carry the same responsibilities as Muslims themselves, while being free to practice their own faiths.
The Prophet (peace be on him) emphasized the duties of Muslims toward dhimmies, threatening anyone who violates them with the wrath and punishment of Allah. He said, "He who hurts a dhimmi hurts me, and he who hurts me annoys Allah." (Reported by al- Tabarani in Al-awsat on good authority.)
Whoever hurts a dhimmi, I am his adversary, and I shall be an adversary to him on the Day of Resurrection. (Reported by al-Khatib on good authority.) On the Day of Resurrection I shall dispute with anyone who oppresses a person from among the People of the Covenant, or infringes on his right, or puts a responsibility on him which is beyond his strength, or takes something from him against his will. (Reported by Abu Daoud.) The successors of the Prophet, the caliphs, safeguarded these rights and sanctities of non- Muslim citizens, and the jurists of Islam, in spite of the variation of their opinions regarding many other matters, are unanimous in emphasizing these rights and sanctities.
Says the Maliki jurist, Shaha al-Deen al-Qarafi: The covenant of protection imposes upon us certain obligations toward the ahl al-dhimmah. They are our neighbors, under our shelter and protection upon the guarantee of Allah, His Messenger (peace be on him), and the religion of Islam. Whoever violates these obligations against any one of them by so much as an abusive word, by slandering his reputation, or by doing him some injury or assisting in it, has breached the guarantee of Allah, His Messenger (peace be on him), and the religion of Islam. (From the book, Al- uruq, by al- Qarafi.)
And the Zahiri jurist, Ibn Hazm, says: If one is a dhimmi, and the enemy comes with his force to take him, it is our obligation to fight the enemy with soldiers and weapons and to give our lives for him, thus honoring the guarantee of Allah and His Messenger (peace be on him). To hand him over to the enemy would mean to dishonothis guarantee. (From the book, Maratib al-ijma', by Ibn Hazm.)
Meaning of Friendship with Non-Muslims
A question which troubles some people and which is sometimes discussed openly is the following. How can we show kindness affection, and good treatment to non-Muslims since Allah Ta'ala Himself prohibits Muslims to take non-believers as friends, allies, and supporters in such verses as the following: O you who believe, do not take the Jews and Christians as friends; they are the friends (only) of each other. And whoever among you turns to them (for friendship) is certainly one of them; indeed, Allah does not guide the people who do wrong. Yet thou seest those in whose hearts is a disease racing toward them...(5:54-55(51-52)).
The answer to this is that these verses are not unconditional, to be applied to every Jew,Christian, or non-Muslim. Interpreting them in this manner contradicts the injunctions of the Qur'an which enjoin affection and kindness to the good and peace-loving peoples of every religion, as well as the verses which permit marriage to the women of the People of the Book, with all that Allah says concerning marriage—"and He has put love and mercy between you" (30:21)—and the verse concerning the Christians: ...And thou wilt find those who say, 'Surely we are Christians.' to be nearest to them (the Muslims) in affection....(5:85 (82)) (The terms Christian and Christianity do not appear in the Christian scriptures nor can they be attributed to Jesus (pbuh) himself. The followers of Jesus were known as Nasara (helpers) and this is the word used in the Arabic text of the Qur'an; the name "Christian" was originally used by those who held the followers in contempt.)
The verses cited above were revealed in connection with those people who were hostile to Islam and made war upon the Muslims. Accordingly, it is not permissible for the Muslim to support or assist them—that is, to be their ally—nor to entrust them with secrets at the expense of his own religion and community. This point is explained in other verses, in which Allah Ta'ala says: They will spare nothing to ruin you; they yearn for what makes you suffer. Hatred has been expressed by their mouths, but what their hearts conceal is still greater. Thus have We made clear to you the revelations (or signs), if you possess understanding. Ah! You love them, but they do not love you....(3:118-119).
This ayah throws light on the character of such people, who conceal great enmity and hatred against the Muslims in their hearts and whose tongues express some of the effects of such hostility.
Allah Ta'ala also says, Thou wilt not find a people who believe in Allah and the Last Day loving those who oppose Allah and His Messenger, even though they may be their fathers or their sons or their brothers or their kin....(58:22).
Opposition to Allah is not simply belief but includes hostility toward Islam and Muslims Allah also says, O you who believe, do not take My enemy and your enemy as friends, offering them affection, even though they have disbelieved in what has come to you of the truth, driving out the Messenger and yourselves because you believe in Allah, your Lord....(60:1).
This verse was revealed in connection with the pagans of Makkah, who declared war on Allah and His Messenger (peace be on him), driving the Muslims out of their homes simply because they said, "Our Lord is Allah." With this type of people, friendship and alliance cannot be permitted. Yet in spite of this, the Qur'an did not dismiss the hope that some day there might be a reconciliation; it did not declare utter disappointment in them but encouraged the Muslims to entertain the hope of better circumstances and improved relationships, for in the same surah Allah says: It may be that Allah will bring about affection between you and those who are your enemies from among them. And Allah is All-Powerful, and Allah is Forgiving, Merciful. (60:7).
This Qur'anic statement gives the assurance that this bitter hostility and deep hatred will pass way, as it is also stated in the hadith, "Hate your enemy mildly; he may become your friend one day." (Reported by al-Tirmidhi . Al-Bayheqi reported it in Shi'ab aliman from Abu Hurairah. Al-Suyuti called it "good," transmitting the first part as "Love your friend mildly; he may become your enemy one day.").
The prohibition against befriending the enemies of Islam is even more emphatic when they are stronger than the Muslims, crushing hopes and generating fear in the minds of people. In such a situation, only hypocrites and those in whose hearts there is a disease hasten to befriend them, giving them help today in order to benefit from them tomorrow. Allah Ta'ala describes this situation as follows: Yet thou seest those in whose hearts is a disease racing toward them (the enemies of Islam), saying, 'We are afraid that a change of fortune may befall us.' But it may be that Allah will give (thee) the victory or some Page 146 decision from Himself, and then they will become regretful for what they thought secretly within themselves. (5:55 (52) ) And again, Give to the hypocrites the tidings that they will have a grievous punishment. Do those who take the unbelievers as friends instead of the Believers seek honor among them? For indeed all honor belongs to Allah alone. (4:138-139).
Seeking Help From Non-Muslims
There is no harm done if Muslims, at either the private or governmental level, seek help from non-Muslims in technical matters which have no connection with the religion—for example in medicine, industry, or agriculture. At the same time it is of course extremely desirable that Muslims become self-sufficient in all such fields.
We see from the life of the Prophet (peace be on him) that he employed 'Abdullah bin 'Uraiqit, a polytheist, to be his guide on his flight (hijrah) from Makkah to Madinah. Scholars have concluded from this that a person's unbelief does not mean that he is basically untrustworthy, for what could be more risky than depending on a guide to show the route, particularly in fleeing from Makkah to Madinah?
Going considerably beyond this, scholars say that it is permissible for the leader of the Muslims to seek help from non-Muslims, especially the People of the Book, in military matters, and to give them an equal share of spoils with the Muslims. Al-Zuhri reported that the Messenger of Allah (peace be on him) sought help from some of the Jews in a war and gave them a share of the spoils and that Safwan bin Umayyah fought on the side of the Prophet (peace be on him) while still an idolater. (Reported by Sa'id in his Sunan.) The condition for seeking help from a non-Muslim is that he be trusted by the Muslims; otherwise, help may not be sought from him Since it is prohibited to seek help from unreliable Muslims, such as those who spread rumors and anxieties, this is the more true in the case of non-believers. (AI-mughni, vol. 8, p. 41.)
The Muslim is permitted to give gifts to non-Muslims and to accept gifts from them. It is sufficient here to mention that the Prophet (peace be on him) accepted gifts from non-Muslim kings. (Reported by Ahmad and al-Tirmidhi.) Scholars of ahadith state that there are many ahadith which report that the Prophet (peace be on him) accepted gifts from non-Muslims, and Umm Salmah, a wife of the Prophet, narrated that the Prophet (peace be on him) told her, "I have sent al-Najashi (The Christian ruler of Abyssinia who secretly embraced Islam. (Trans.)) a robe and some silk." (Reported by Ahmad and al-Tabarani.)
Indeed, Islam respects a human being only because he is human; how much the more then, if he is from the People of the Book and still more if he is a dhimmi? Once a funeral procession passed by the Prophet (peace be on him) and he stood up. Thereupon someone remarked, "O Messenger of Allah, it is the funeral of a Jew." The Prophet (peace be on him) replied, "Was he not a soul?" (Reported by al-Bukhari.) Thus, truly, in Islam every human being has a dignity and a place.
The Extension of Islam's Universal Mercy to Animals
The universal mercy of Islam embraces not only human beings, whether unbelievers, People of the Book, orMuslims, but all other living creaof Allah as well. Accordingly, Islam prohibits cruelty to animals. Thirteen hundred years before any societies for the prevention of cruelty to animals were established, Islam had made kindness to animals a part of its faith and cruelty to them a sufficient reason for a person to be thrown into the Fire.
The Prophet (peace be on him) related to his Companions the story of a man who found a dog panting with thirst. The man went down into a well, filled his shoes with water which he gave to the dog, and continued to do so until the dog's thirst was quenched. The Prophet (peace be on him) said, 'Then Allah was grateful to him and forgave him his sins.' The Companions asked, 'Is there a reward for us in relation to animals, O Messenger of Allah?' He replied 'There is a reward in (relation to) every living creature.' (Reported by al-Bukhari.)
Side by side with this radiant picture of Allah's forgiveness and pleasure, the Prophet (peace be on him) drew another picture depicting Allah's anger and punishment. He said, A woman was sent to the Fire because of a cat. She imprisoned her and neither fed her nor set her free to feed upon the rodents of the earth. (Reported by al-Bukhari.)
Respect for Allah's living creatures reached such an extent that when the Prophet (peace be on him) saw a donkey with a branded face he denounced such a practice saying, "I would not brand an animal except on the part of its body farthest from its face." (Reported by Muslim.)
In another report, he passed by a donkey with a branded face and said, "Have you not heard that I have cursed anyone who brands an animal on its face or who hits it on its face?" (Reported by Abu Daoud and al-Tirmidhi.)
We have already mentioned that when Ibn 'Umar saw some people practicing archery using a hen as a target, he said, "The Prophet (peace be on him) cursed anyone who made a living thing into a target." And Ibn 'Abbas said, The Prophet (peace be on him) forbade that animals be made to fight each other, since people would goad animals into fighting each other until one of them was pecked or gored to death, or close to it. Ibn 'Abbas also reported that the Prophet (peace be on him) strongly condemned the castration of animals. (Reported by al-Bazzar on sound authority.)
The Qur'an condemned the Arabs of jahiliyyah for their slitting the ears of cattle, calling this a practice inspired by Satan. (4:119)
In relation to the method of slaughtering an animal, we have already pointed out that Islam insists that the manner of slaughter should be that which is least painful to the victim and its requiring that the knife be sharpened but not in front of the animal. Islam also prohibits the slaughtering of one animal in front of another.Never, prior to Islam, had the world witnessed such concern for animals, a concern which was beyond its imagination.
While Islam does not prohibit Muslims to be kind and generous to peoples of other religions, even if they are idolaters and polytheists, as for example, the polytheists of Arabia, concerning whom the above verses were revealed, it looks upon the People of the Book, that is, Jews and Christians, with special regard, whether they reside in a Muslim society or outside it.
The Qur'an never addresses them without saying, "O People of the Book" or "O You who have been given the Book," indicating that they were originally people of a revealed religion. For this reason these exists a relationship of mercy and spiritual kinship between them and the Muslims, all having in common the principles of the one true religion sent by Allah through his prophets (peace be
on them all): He has ordained for (the Muslims) the same religion which He enjoined on Noah, and that which We have revealed to thee (Muhammad) and that which We enjoined on Abraham, Moses, and Jesus: that you should establish the faith and make no division in it....(42:13).
Muslims are required to believe in all the Books revealed by Allah and in all the prophets sent by Him; otherwise they are not Believers. Say: We (Muslims) believe in Allah and in what He has revealed to us, and in what He revealed to Abraham and Ishmael and Isaac and Jacob and the tribes (of Israel), and in what was given to Moses and Jesus, and in what was given to (all) the prophets by their Lord. We make no distinction between any of them, and to Him do we submit. (2:136).
Consequently, if the People of the Book read the Qur'an, they will find in it praise for their Books, messengers, and prophets. If Muslims hold discussions with the People of the Book, they should avoid such approaches as cause bitterness or arouse hostility: And do not dispute with the People of the Book except by (the way) which is best, unless it be with such of them as transgress, and say, 'We believe in what has been sent down to us and sent down to you, and our God and your God is one, and to Him do we submit.' (29:46).
We have already seen how Islam permits eating with the People of the Book, sharing the meat they slaughter, and marrying their women, marriage being a relationship of mutual love and mercy. As Allah Ta'ala says: ...The food of those who were given the Scripture (before you) is permitted to you and your food is permitted to them. And (lawful to you in marriage are) chaste women from among the Believers and chaste women from among those who were given the Scripture before you.... (5:6 (5)).
This relates to the People of the Book in general. However, Christians in particular have been given special status by the Qur'an and are considered much closer to the hearts of the Believers.
Non-Muslim Residents of an Islamic State
The above injunctions include all People of the Book wherever they may be. However, those people who live under the protection of an Islamic government enjoy special privileges. They are referred to as "the Protected People" (ahl al-dhimmah or dhimmies), meaning that Allah, His Messenger (peace be on him), and the community of Muslims have made a covenant with them that they may live in safety and security under the Islamic government.
In modern terminology, dhimmies are "citizens" of the Islamic state. From the earliest period of Islam to the present day, Muslims are in unanimous agreement that they enjoy the same rights and carry the same responsibilities as Muslims themselves, while being free to practice their own faiths.
The Prophet (peace be on him) emphasized the duties of Muslims toward dhimmies, threatening anyone who violates them with the wrath and punishment of Allah. He said, "He who hurts a dhimmi hurts me, and he who hurts me annoys Allah." (Reported by al- Tabarani in Al-awsat on good authority.)
Whoever hurts a dhimmi, I am his adversary, and I shall be an adversary to him on the Day of Resurrection. (Reported by al-Khatib on good authority.) On the Day of Resurrection I shall dispute with anyone who oppresses a person from among the People of the Covenant, or infringes on his right, or puts a responsibility on him which is beyond his strength, or takes something from him against his will. (Reported by Abu Daoud.) The successors of the Prophet, the caliphs, safeguarded these rights and sanctities of non- Muslim citizens, and the jurists of Islam, in spite of the variation of their opinions regarding many other matters, are unanimous in emphasizing these rights and sanctities.
Says the Maliki jurist, Shaha al-Deen al-Qarafi: The covenant of protection imposes upon us certain obligations toward the ahl al-dhimmah. They are our neighbors, under our shelter and protection upon the guarantee of Allah, His Messenger (peace be on him), and the religion of Islam. Whoever violates these obligations against any one of them by so much as an abusive word, by slandering his reputation, or by doing him some injury or assisting in it, has breached the guarantee of Allah, His Messenger (peace be on him), and the religion of Islam. (From the book, Al- uruq, by al- Qarafi.)
And the Zahiri jurist, Ibn Hazm, says: If one is a dhimmi, and the enemy comes with his force to take him, it is our obligation to fight the enemy with soldiers and weapons and to give our lives for him, thus honoring the guarantee of Allah and His Messenger (peace be on him). To hand him over to the enemy would mean to dishonothis guarantee. (From the book, Maratib al-ijma', by Ibn Hazm.)
Meaning of Friendship with Non-Muslims
A question which troubles some people and which is sometimes discussed openly is the following. How can we show kindness affection, and good treatment to non-Muslims since Allah Ta'ala Himself prohibits Muslims to take non-believers as friends, allies, and supporters in such verses as the following: O you who believe, do not take the Jews and Christians as friends; they are the friends (only) of each other. And whoever among you turns to them (for friendship) is certainly one of them; indeed, Allah does not guide the people who do wrong. Yet thou seest those in whose hearts is a disease racing toward them...(5:54-55(51-52)).
The answer to this is that these verses are not unconditional, to be applied to every Jew,Christian, or non-Muslim. Interpreting them in this manner contradicts the injunctions of the Qur'an which enjoin affection and kindness to the good and peace-loving peoples of every religion, as well as the verses which permit marriage to the women of the People of the Book, with all that Allah says concerning marriage—"and He has put love and mercy between you" (30:21)—and the verse concerning the Christians: ...And thou wilt find those who say, 'Surely we are Christians.' to be nearest to them (the Muslims) in affection....(5:85 (82)) (The terms Christian and Christianity do not appear in the Christian scriptures nor can they be attributed to Jesus (pbuh) himself. The followers of Jesus were known as Nasara (helpers) and this is the word used in the Arabic text of the Qur'an; the name "Christian" was originally used by those who held the followers in contempt.)
The verses cited above were revealed in connection with those people who were hostile to Islam and made war upon the Muslims. Accordingly, it is not permissible for the Muslim to support or assist them—that is, to be their ally—nor to entrust them with secrets at the expense of his own religion and community. This point is explained in other verses, in which Allah Ta'ala says: They will spare nothing to ruin you; they yearn for what makes you suffer. Hatred has been expressed by their mouths, but what their hearts conceal is still greater. Thus have We made clear to you the revelations (or signs), if you possess understanding. Ah! You love them, but they do not love you....(3:118-119).
This ayah throws light on the character of such people, who conceal great enmity and hatred against the Muslims in their hearts and whose tongues express some of the effects of such hostility.
Allah Ta'ala also says, Thou wilt not find a people who believe in Allah and the Last Day loving those who oppose Allah and His Messenger, even though they may be their fathers or their sons or their brothers or their kin....(58:22).
Opposition to Allah is not simply belief but includes hostility toward Islam and Muslims Allah also says, O you who believe, do not take My enemy and your enemy as friends, offering them affection, even though they have disbelieved in what has come to you of the truth, driving out the Messenger and yourselves because you believe in Allah, your Lord....(60:1).
This verse was revealed in connection with the pagans of Makkah, who declared war on Allah and His Messenger (peace be on him), driving the Muslims out of their homes simply because they said, "Our Lord is Allah." With this type of people, friendship and alliance cannot be permitted. Yet in spite of this, the Qur'an did not dismiss the hope that some day there might be a reconciliation; it did not declare utter disappointment in them but encouraged the Muslims to entertain the hope of better circumstances and improved relationships, for in the same surah Allah says: It may be that Allah will bring about affection between you and those who are your enemies from among them. And Allah is All-Powerful, and Allah is Forgiving, Merciful. (60:7).
This Qur'anic statement gives the assurance that this bitter hostility and deep hatred will pass way, as it is also stated in the hadith, "Hate your enemy mildly; he may become your friend one day." (Reported by al-Tirmidhi . Al-Bayheqi reported it in Shi'ab aliman from Abu Hurairah. Al-Suyuti called it "good," transmitting the first part as "Love your friend mildly; he may become your enemy one day.").
The prohibition against befriending the enemies of Islam is even more emphatic when they are stronger than the Muslims, crushing hopes and generating fear in the minds of people. In such a situation, only hypocrites and those in whose hearts there is a disease hasten to befriend them, giving them help today in order to benefit from them tomorrow. Allah Ta'ala describes this situation as follows: Yet thou seest those in whose hearts is a disease racing toward them (the enemies of Islam), saying, 'We are afraid that a change of fortune may befall us.' But it may be that Allah will give (thee) the victory or some Page 146 decision from Himself, and then they will become regretful for what they thought secretly within themselves. (5:55 (52) ) And again, Give to the hypocrites the tidings that they will have a grievous punishment. Do those who take the unbelievers as friends instead of the Believers seek honor among them? For indeed all honor belongs to Allah alone. (4:138-139).
Seeking Help From Non-Muslims
There is no harm done if Muslims, at either the private or governmental level, seek help from non-Muslims in technical matters which have no connection with the religion—for example in medicine, industry, or agriculture. At the same time it is of course extremely desirable that Muslims become self-sufficient in all such fields.
We see from the life of the Prophet (peace be on him) that he employed 'Abdullah bin 'Uraiqit, a polytheist, to be his guide on his flight (hijrah) from Makkah to Madinah. Scholars have concluded from this that a person's unbelief does not mean that he is basically untrustworthy, for what could be more risky than depending on a guide to show the route, particularly in fleeing from Makkah to Madinah?
Going considerably beyond this, scholars say that it is permissible for the leader of the Muslims to seek help from non-Muslims, especially the People of the Book, in military matters, and to give them an equal share of spoils with the Muslims. Al-Zuhri reported that the Messenger of Allah (peace be on him) sought help from some of the Jews in a war and gave them a share of the spoils and that Safwan bin Umayyah fought on the side of the Prophet (peace be on him) while still an idolater. (Reported by Sa'id in his Sunan.) The condition for seeking help from a non-Muslim is that he be trusted by the Muslims; otherwise, help may not be sought from him Since it is prohibited to seek help from unreliable Muslims, such as those who spread rumors and anxieties, this is the more true in the case of non-believers. (AI-mughni, vol. 8, p. 41.)
The Muslim is permitted to give gifts to non-Muslims and to accept gifts from them. It is sufficient here to mention that the Prophet (peace be on him) accepted gifts from non-Muslim kings. (Reported by Ahmad and al-Tirmidhi.) Scholars of ahadith state that there are many ahadith which report that the Prophet (peace be on him) accepted gifts from non-Muslims, and Umm Salmah, a wife of the Prophet, narrated that the Prophet (peace be on him) told her, "I have sent al-Najashi (The Christian ruler of Abyssinia who secretly embraced Islam. (Trans.)) a robe and some silk." (Reported by Ahmad and al-Tabarani.)
Indeed, Islam respects a human being only because he is human; how much the more then, if he is from the People of the Book and still more if he is a dhimmi? Once a funeral procession passed by the Prophet (peace be on him) and he stood up. Thereupon someone remarked, "O Messenger of Allah, it is the funeral of a Jew." The Prophet (peace be on him) replied, "Was he not a soul?" (Reported by al-Bukhari.) Thus, truly, in Islam every human being has a dignity and a place.
The Extension of Islam's Universal Mercy to Animals
The universal mercy of Islam embraces not only human beings, whether unbelievers, People of the Book, orMuslims, but all other living creaof Allah as well. Accordingly, Islam prohibits cruelty to animals. Thirteen hundred years before any societies for the prevention of cruelty to animals were established, Islam had made kindness to animals a part of its faith and cruelty to them a sufficient reason for a person to be thrown into the Fire.
The Prophet (peace be on him) related to his Companions the story of a man who found a dog panting with thirst. The man went down into a well, filled his shoes with water which he gave to the dog, and continued to do so until the dog's thirst was quenched. The Prophet (peace be on him) said, 'Then Allah was grateful to him and forgave him his sins.' The Companions asked, 'Is there a reward for us in relation to animals, O Messenger of Allah?' He replied 'There is a reward in (relation to) every living creature.' (Reported by al-Bukhari.)
Side by side with this radiant picture of Allah's forgiveness and pleasure, the Prophet (peace be on him) drew another picture depicting Allah's anger and punishment. He said, A woman was sent to the Fire because of a cat. She imprisoned her and neither fed her nor set her free to feed upon the rodents of the earth. (Reported by al-Bukhari.)
Respect for Allah's living creatures reached such an extent that when the Prophet (peace be on him) saw a donkey with a branded face he denounced such a practice saying, "I would not brand an animal except on the part of its body farthest from its face." (Reported by Muslim.)
In another report, he passed by a donkey with a branded face and said, "Have you not heard that I have cursed anyone who brands an animal on its face or who hits it on its face?" (Reported by Abu Daoud and al-Tirmidhi.)
We have already mentioned that when Ibn 'Umar saw some people practicing archery using a hen as a target, he said, "The Prophet (peace be on him) cursed anyone who made a living thing into a target." And Ibn 'Abbas said, The Prophet (peace be on him) forbade that animals be made to fight each other, since people would goad animals into fighting each other until one of them was pecked or gored to death, or close to it. Ibn 'Abbas also reported that the Prophet (peace be on him) strongly condemned the castration of animals. (Reported by al-Bazzar on sound authority.)
The Qur'an condemned the Arabs of jahiliyyah for their slitting the ears of cattle, calling this a practice inspired by Satan. (4:119)
In relation to the method of slaughtering an animal, we have already pointed out that Islam insists that the manner of slaughter should be that which is least painful to the victim and its requiring that the knife be sharpened but not in front of the animal. Islam also prohibits the slaughtering of one animal in front of another.Never, prior to Islam, had the world witnessed such concern for animals, a concern which was beyond its imagination.
Sabtu, 15 Oktober 2011
Janji Kita Padanya
Bukankah ketika kita pergi untuk meninggalkannya kita sudah berjanji,
yang terbaik di esok hari akan kita berikan untuk mereka,
karena kebahagiaan, kesuksesan yang kita dapat hanyalah untuk membahagiakannya,
masih ingatkah kita,
ketika kita masih dalam buaiyannya kita di manja, di puja, di sayang penuh dengan kehangatan,
tak ada sehangat kasih yang pernah mereka berikan untuk kita,
walaupun hari ini kita jauh darinya,
ingatlah,
suatu hari kita pasti akan dipertemukan dengan mereka,
baik itu di dunia atau di hari berikutnya.
yakinlah, yang kita lakukan hari ini untuk mereka yang jauh dari pelupuk mata kita,
tapi mereka tak pernah terhapus dari hati dan ingatan kita.
berjanjilah pada diri kita untuk memberikan yang ter baik bagi mereka selama mereka masih ada,
jika mereka telah tiada, berjanjilah yang kita lakukan akan menjadi kebahagiaan bagi yang mereka tinggalkan bersama kita.
yang terbaik di esok hari akan kita berikan untuk mereka,
karena kebahagiaan, kesuksesan yang kita dapat hanyalah untuk membahagiakannya,
masih ingatkah kita,
ketika kita masih dalam buaiyannya kita di manja, di puja, di sayang penuh dengan kehangatan,
tak ada sehangat kasih yang pernah mereka berikan untuk kita,
walaupun hari ini kita jauh darinya,
ingatlah,
suatu hari kita pasti akan dipertemukan dengan mereka,
baik itu di dunia atau di hari berikutnya.
yakinlah, yang kita lakukan hari ini untuk mereka yang jauh dari pelupuk mata kita,
tapi mereka tak pernah terhapus dari hati dan ingatan kita.
berjanjilah pada diri kita untuk memberikan yang ter baik bagi mereka selama mereka masih ada,
jika mereka telah tiada, berjanjilah yang kita lakukan akan menjadi kebahagiaan bagi yang mereka tinggalkan bersama kita.
aku yang tersakiti
Pernahkah kau merasa
Jarak antara kita
Kini semakin terasa
Setelah kau kenal dia
Aku tiada percaya
Teganya kau putuskan
Indahnya cinta kita
Yang tak ingin ku akhiri
Kau pergi tinggalkanku
Tak pernahkah kau sadari
Akulah yang kau sakiti
Engkau pergi dengan janjimu yang telah kau ingkari
Oh Tuhan tolonglah aku
Hapuskan rasa cintaku
Akupun ingin bahagia
Wa...
Miswari
Jarak antara kita
Kini semakin terasa
Setelah kau kenal dia
Aku tiada percaya
Teganya kau putuskan
Indahnya cinta kita
Yang tak ingin ku akhiri
Kau pergi tinggalkanku
Tak pernahkah kau sadari
Akulah yang kau sakiti
Engkau pergi dengan janjimu yang telah kau ingkari
Oh Tuhan tolonglah aku
Hapuskan rasa cintaku
Akupun ingin bahagia
Wa...
Miswari
Jumat, 22 Juli 2011
Mistik Rante Bui dan Pawang Rimueng
Perang Aceh mewariskan banyak cerita heroisme dan mistik. Kisah penggunaan ajimat rante bui dan kecakapan pawang rimueng di belantara Aceh diantaranya.
Rantai Babi / Rante Bui
DALAM sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Ada kisah-kisah mistik. Salah satunya, ajimat rante bui yang dipakai oleh ulama-ulama pengerak perlawanan. Salah satu rante bui itu adalah milik Tgk Chik Di Tiro. Ajimat itu ditemukan Belanda ditubuh Tgk Di Cot Plieng. Sampai kini masih tersimpan di Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda dalam etnografia Aceh.
Setelah Snouckh Horgronje, mungkin Schimist lah orang Belanda yang sangat paham soal Aceh. Dengan pengetahuannya bahasa dan adat istiadat Aceh, ia menjadi perwira Belanda yang bisa bergaul secara bebas dengan masyarakat Aceh. Apalagi ditopang dengan pembawaannya yang tenang dan sikapnya yang terkendali.
Namun sebagai tentara Belanda, ia tetap tidak sepenuhnya diterima masyarakat Aceh. Apalagi dalam kecamuk perang. Dalam tahun 1906, Schmist bertugas sebagai seorang letnan di Jeuram dan Seunagan yang kacau balau. Di dua daerah itu, saban hari peristiwa jebakan dan sergapan dengan kelewang terjadi.
Tak mau kejadian itu terus menerus menimpa pasukannya, Schmist pun mencari seorang mata-mata handal. Baginya, tidaklah sulit mencari mata-mata itu. Yang sulit baginya adalah merahasiakan hubungannya dengan mata-mata tersebut. Apalagi, di daerah itu ia berhadapan dengan kelompok Teungku Puteh, yang juga punya banyak mata-mata handal untuk mengecoh dan menyusup ke bivak-bivak Belanda.
Maka “perang” antar spionase pun terjadi. Antara Schmist dan Teungku Puteh saling mengirim mata-mata ke lapangan. Sebagaimana Schmist mempunyai banyak mata-mata di sekitar Teungku Puteh, maka sebanyak itu pula ada mata-mata Teungku Puteh disekitar Schmist.
Terhadap peristiwa saling mengintai lawan tersebut, H C Zentgraaff dalam bukunya “Atjeh” mengungkapkan. “Ini adalah permainan licin melawan licin, yang setiap saat dapat menetas menjadi salah satu serangan kelewang yang amat terkenal dan sangat fanatik serta serba mendadak. Sehingga penduduk Seunagan terkenal sangat buruk pada pasukan kita (Belanda-red). Kita tidak pernah merasa yakin akan hari esok,” tulis mantan serdadu belanda yang dimasa pensiunnya beralih menjadi wartawan tersebut.
Selanjutnya, mantan redaktur Java Bode itu mengisahkan, diantara sekian banyak mata-mata Teungku Puteh, terdapat seorang pedagang yang membuka sebuah toko kecil di Keude (pasar-red) Seunagan. Zentgraaff menyebutnya seorang badut yang sangat lihai, yang sekali-kali juga datang kepada Schmist untuk sekedar ngomong-ngomong sebagai basa-basi. “Padahal ia ingin menggali informasi sekitar Schmist untuk kemudian disampaikannya pada Teungku Puteh,” jelas Zentgraaff.
Pada suatu hari, Schmidt menerima berita baik dari salah seorang mata-matanya. Ia segera menelaah informasi yang diberikan oleh mata-mata tersebut. Pada saat yang bersamaan, datang pula pedagang dari Keude Seunagan itu ke sana, yang tak lain merupakan mata-mata dari Teugku Puteh.
Keduanya pun dibawa masuk kedalam sebuah ruangan oleh Schmist. Si mata-mata tadi segera menceritakan informasi yang dibawanya. Sementara si pedang mendengarnya dengan seksama. Namun keberadaan mata-mata Teungku Puteh tersebut akhirnya diketahui Schmist, setelah ia membongkar rencana Schmist dan pasukannya yang akan menyeran gerilayawan Aceh. Esokya sipedagang itu pun disuruh tangkap.
Antara Schmist dan Teungku Puteh, selain juga sama-sama punya kekuatan mistik. Konon menurut Zentgraaff, Schmist merupakan putra Aceh yang sejak kecil diasuk dan disekolahkan oleh Belanda sampai ke Nezerland, sehingga anak Aceh tersebut menjadi orang Belanda tulen yang sangat mengerti tentang Aceh.
Soal kekuatan mistik yang dimiliki Schmist, Zentgraaff mengaku pernah mendengar hal itu dari Cut Fatimah, janda dari Teungku Keumangan, yang selama hayatnya memberikan perlawanan yang gigih terhadap pasukan-pasukan Belanda di Jeuram. “Ia telah bercerita pada saya, bahwa Schmist adalah salah seorang dari orang-orang yang tidak banyak jumlahnya. Ia memiliki rante bui, yang membuatnya menjadi kebal. Ia juga megetahui hal-hal yang mistik,” ungkap Zentgraaff.
Namun Zentgraaff tidak yakin Schmist memiliki rante bui tersebut. Menurutnya, yang memiliki benda yang bisa menjadi ajimat tersebut hanyalah Teungku Brahim di Njong, Teungki Chik Samalangan dan Teungku Cot Plieng. Mereka adalah pemimpin-pemimpin spiritual di Aceh (ulama) yang mengobarkan semangat jihat untuk melawan Belanda. “Teungku Cot Plieng merupakan yang paling utama diantara mereka itu. Komandan-komandan patroli kita (Belanda-red) yang paling ulung sekali pun, tak punya harapan menghadapi dia. Tak ada seorang Aceh pun yang berani memberitahukan dimana tempat persembunyian segerombolan dari ulama yang sangat keramat itu,” tulis Zentgraaff.
Pun demikian, pasukan Belanda terus memburunya, sampai kemudian pada Juni 1904, pasukan Belanda pimpinan Kapten Stoop berhasil menemukan jejaknya diantara dua aliran sungai Gle Keulabeu. Ia pun disergap, tapi Teungku Cot Plieng berhasil lolos dari “lubang jarum” dengan meninggalkan Al Qur’an dan jimat stempelnya.
Jimat stempel yang ditemukan dari Teungku Cot Plieng itu, disebut-sebut merupakan warisan dari Teungku Syeh Saman Di Tiro, yang dikenal dengan Teungku Chik Di Tiro. Karena tak lagi memiliki jimat stempel tersebut Teungku Cot Plieng pun akhirnya berhasil disergap oleh sebuah pasukan patroli pimpinan Letnan Terwogt. Dalam penyergapan tersebut, ulama karismatik itu pun tewas tertembak.
Mayatnya kemudian diusungkan ke salah satu bivak, untuk keperluan identifikasi. Belanda heran, karena mayat tersebut tidak membusuk. Untuk memastikan kalau itu adalah Teungku Cot Plieng, Belanda akhirnya memanggil Panglima Polem.
Sampai di sana, Panglima Polem memberi hormat pada mayat itu dengan melakukan sujud di tengah orang-orang Aceh yang terdiam karena rasa hormatnya. “Ketika kami berjumpa, Panglima Polem bilang hal itu merupakan rahasia tuhan,” jelas Zentrgaaff.
Panglima Polem pun kemudian melepaskan rante bui dari mayat Teungku Cot Plieng dan memberikannya kepada Van Daalen, seorang perwira Belanda. Tapi Van Daalen menolaknya, karena tak suka terhadap hal-hal yang berbau mistik.
Setelah operasi pembersihan besar-besar dilakukan pasukan Belanda di Pidie, ajimat itu kemudian dihadiahkan kepada Veltman perwira Belanda lainnya yang kerap dipanggil sebagai “Tuan Pedoman”. Ia tidak juga memakai ajimat itu. Ia lebih percaya kepada sebilah besi baja tajam dan sepucuk revolver, ketimbang ajimat tersebut.
Akhirnya rante bui itu dihadiahkan kepada Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda, yang hingga kini masih disimpan dalam etnografia Aceh. “Saya berhasil memperoleh sebuah gambar potretnya berkat bantuan seorang bekas opsir marsose kawakan bernama Lamster,” jelas Zentgraaff.
Pawang Rimueng
Cerita mistik lainnya adalah kemampuan orang Aceh manaklukkan harimau menyisakan rasa penasaran bagi penulis Belanda, H C Zentgraaff. Rasa penasaran itu semakin memuncak saja, ketika Putra Cut Mutia yang masih kanak-kanak, Teungku Raja Sabi, hidup dalam belantara bersama harimau, menghindar dari kejaran marsose.
Bagi masyarakat Aceh, harimau merupakan lambang kekuatan dan kelihaian. Pejuang-pejungan Aceh yang militan semasa perang melawan pemerintah kolonial Belanda, sebelum mempersiapkan diri untuk berperang, maka bila ada kesempatan akan memakan sepotong hati harimau.
Hal itu diyakini akan melahirkan sifat-sifat buas dan beringas dari harimau ke pejuang tersebut, yang dalam bahasa Aceh disebut dengen ceubeuh, yakni garang dan berani. Dalam perang dengan Belanda, harimau pulalah yang kerap menyelamatkan pejuang Aceh dari kejaran Belanda, dengan memberikan isyarat. Maka diantara gerombolan pejuang Aceh yang bergerilya di belantara, akan selalu ada satu dua orang pawang harimau (pawang rimueng-red).
Tentang hal ini diakui oleh penulis Belanda, H C Zentgraaff, yang juga mantan serdadu dalam perang Aceh. Menurutnya, sikap harimau yang selalu menghindar bila berjumpa dengan gerombolan manusia dalam belantara, dipandang oleh masyarakat Aceh sebagai kewaspadaan yang lihai dalam mengelak resiko.
Bagi masyarakat Aceh, keberadaan harimau punya arti khas tersediri. Malah kuburan-kuburan tokoh-tokoh yang diyakini keramat, dijaga oleh binatang buas tersebut atas kodrta dan kekuatan ghaib. “Di dekat kuburan Teungku Cot Bada di Geulumpang Payong, Pidie, dia (harimau-red) dapat dilihat sekali-kali oleh orang-orang yang percaya, pada saat menjelang senja atau setelah magrib,” tulis Zentgraaf dalam buku “Atjeh”.
Mneurut Zentgraaff, harimau hitam dan harimau putih bergantian menjaga kuburan tersebut, yang letaknya tidak jauh dari pertemuan Krueng Geumpang dan Krueng Tangse. Malah menurut Zentgraaff, orang tua khadam (penjaga) kuburan itu tidak pernah sekali pun diganggu oleh harimau-harimau itu.
Cerita tentang harimau lainnya, adalah kisah Teungku Raja Sabi, putra Cut Mutia yang sejak kecil sudah bergerilya di hutan karena diburu oleh Belanda, setelah Cut Mutia dan Pang Nanggroe yang mengasuhnya meninggal dalam sebuah pertemburan. Raja Sabi yang masih bocah menjadi simbol perjuangan rakyat Aceh di Keuretoe, Aceh Utara. Dalam masa kanak-kanak itu, Raja Sabi terus berpindah dari satu rimba ke rimba yang lain, bersama harimau dan Raja Tampeu, seorang yang sudah sangat akrab dengan binatang-binatang hutan.
Dalam bukunya, Zentgraaff juga mengisahkan tentang keganjilan-keganjilan yang dilakukan oleh Pawang Rimueng (Pawang harimau-red) di Aceh, yang sangat mengerti tentang kebiasaan, tingkah laku dan seluk beluk binatang buas tersebut. “Kalau saya ceritakan beberapa dari cerita-cerita orang-orang yang dapat dipercaya mengenai pekerjaan-pekerjaan pawang-pawang harimau, maka beberapa dari kita menggelengkan kepalanya. Kita bertanya sejenak, apakah yang diketahui oleh seorang penjinak binatang di dalam sebuah sirkus Barat, mengenai sifat-sifat, watak dan kebiasaan-kebiasaan dari hewan-hewan yang dipeliharanya sehingga merasa dapat sebanding dengan manusia-manusia seperti pawang-pawang Aceh ini, yang seluruh hidupnya, dimulai dengan ilmu yang dimusyawarahkan dan diturunkan secara rahasia oleh orang tua-tua, untuk mepelajari segala apa yang hidup dan mengembara dalam hutan rimba. Mereka jauh lebih mengenal kebiasaan-kebiasaan dan sifat dari harimau serta badak, dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam semua buku barat.” Tulis Zentgraaff.
Keberadaan pawang rimueng sangat dihargai dalam masyarakat. Bahkan bagi pawang harimau yang berhasil menghela harimua yang mengganggu ternak dan tanaman masyarakat, akan selalu mendapat sumbangan dari hasil ternak atau pertanian warga tersebut sebagai upah.
Di beberapa kampung di Aceh, dulu malah mempunyai aturan tersendiri tentang keberadaan pawang rimueng. Dari hasil menjaga dan menjinakkan binatang buas itu pula pawang rimueng dapat hidup layak. Diantara sekian banyak pawang rimueng di Aceh, dulu yang paling tersohor adalah pawang rimueng di Daya (Aceh Barad Daya-red). Sebuah daerah yang dikenal memiliki banyak harimau yang lebih buas dibandingkan daerah-daerah lain. “Mereka terkenal karena sangat culas dan buas, dan sekiranya orang hendak menunjukkan dengan jelas betapa takutnya mereka terhadap harimau Daya,” jelas Zentgraaff.
Zentgraaff mengaku penasaran tentang kemampuan para pawng harimau dalam menghadapi bintang buas tersebut. Kemampuan itu merupakan warisan turun temurun kepada anak cucu para pawang rimueng. “Betapapun riilnya pengetahuannya tentang harimau, namun hal itu diselubunginya dengan formula-formula mistik serta agama, karena harimau pun adalah ciptaan Tuhan pula, dan berhak untuk diperlakukan dengan semestinya, sesuai dengan cara-cara yang baik, sebgaimana yang diberikan oleh kekuatan yang satu kepda yang lainnya,” lanjut Zentgraaff.
Menurut Schimid dan Veltman, perwira Belanda yang bertugas di Aceh dalam perang kolonial. Anak lelaki dari pawang secara berangsur-angsur dilekatkan segala keilmuan ini, dan semua ini sebagian besar diselenggarakan dalam hutan menyendiri, sebagaimana halnya dengan bertapa bagi orang Jawa. Mereka yang berhasrat untuk masuk ke dalam dunia kerohanian, hendaklah dengan mulai melepaskan dirinya dari kebendaan.
Untuk memancing hariamu liar agar menuju ke arah tertentu di dalam hutan, untuk memaksanya membuang naluri buasnya dan menuntun jasadnya yang perkasa itu melalui jalan yang dikehendaki sampai ke dalam perangkap, memerlukan hal-hal lain selain dari pada menggunakan jampi-jampi suci saja, walaupun ini dilakukan dengan hati yang betul-betul bersih.
Semenjak dari masa kanak-kanaknya, sang pawang mempelajari segala kebiasaan harimau, bukan hanya perlu mengetahui bagaiman cara-caranya ia bergerak di dalam hutan, namun juga; mengapa ia berlaku demikian dan bukan lainnya. “Begitulah si anak muda dengan bimbingan pawang tua, belajar memahami harimau di tempat terpencil dari dalam hutan, hanyalah dia yang seorang diri berada di dekat bunda alam, yang dapat belajar memahami jalan ilmu kebatinan,” tulis Zentgraaff.
sumber artikel & gambar: harian-aceh (Fokus oleh Iskandar Norman – 12 May 2011)
Rantai Babi / Rante Bui
DALAM sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Ada kisah-kisah mistik. Salah satunya, ajimat rante bui yang dipakai oleh ulama-ulama pengerak perlawanan. Salah satu rante bui itu adalah milik Tgk Chik Di Tiro. Ajimat itu ditemukan Belanda ditubuh Tgk Di Cot Plieng. Sampai kini masih tersimpan di Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda dalam etnografia Aceh.
Setelah Snouckh Horgronje, mungkin Schimist lah orang Belanda yang sangat paham soal Aceh. Dengan pengetahuannya bahasa dan adat istiadat Aceh, ia menjadi perwira Belanda yang bisa bergaul secara bebas dengan masyarakat Aceh. Apalagi ditopang dengan pembawaannya yang tenang dan sikapnya yang terkendali.
Namun sebagai tentara Belanda, ia tetap tidak sepenuhnya diterima masyarakat Aceh. Apalagi dalam kecamuk perang. Dalam tahun 1906, Schmist bertugas sebagai seorang letnan di Jeuram dan Seunagan yang kacau balau. Di dua daerah itu, saban hari peristiwa jebakan dan sergapan dengan kelewang terjadi.
Tak mau kejadian itu terus menerus menimpa pasukannya, Schmist pun mencari seorang mata-mata handal. Baginya, tidaklah sulit mencari mata-mata itu. Yang sulit baginya adalah merahasiakan hubungannya dengan mata-mata tersebut. Apalagi, di daerah itu ia berhadapan dengan kelompok Teungku Puteh, yang juga punya banyak mata-mata handal untuk mengecoh dan menyusup ke bivak-bivak Belanda.
Maka “perang” antar spionase pun terjadi. Antara Schmist dan Teungku Puteh saling mengirim mata-mata ke lapangan. Sebagaimana Schmist mempunyai banyak mata-mata di sekitar Teungku Puteh, maka sebanyak itu pula ada mata-mata Teungku Puteh disekitar Schmist.
Terhadap peristiwa saling mengintai lawan tersebut, H C Zentgraaff dalam bukunya “Atjeh” mengungkapkan. “Ini adalah permainan licin melawan licin, yang setiap saat dapat menetas menjadi salah satu serangan kelewang yang amat terkenal dan sangat fanatik serta serba mendadak. Sehingga penduduk Seunagan terkenal sangat buruk pada pasukan kita (Belanda-red). Kita tidak pernah merasa yakin akan hari esok,” tulis mantan serdadu belanda yang dimasa pensiunnya beralih menjadi wartawan tersebut.
Selanjutnya, mantan redaktur Java Bode itu mengisahkan, diantara sekian banyak mata-mata Teungku Puteh, terdapat seorang pedagang yang membuka sebuah toko kecil di Keude (pasar-red) Seunagan. Zentgraaff menyebutnya seorang badut yang sangat lihai, yang sekali-kali juga datang kepada Schmist untuk sekedar ngomong-ngomong sebagai basa-basi. “Padahal ia ingin menggali informasi sekitar Schmist untuk kemudian disampaikannya pada Teungku Puteh,” jelas Zentgraaff.
Pada suatu hari, Schmidt menerima berita baik dari salah seorang mata-matanya. Ia segera menelaah informasi yang diberikan oleh mata-mata tersebut. Pada saat yang bersamaan, datang pula pedagang dari Keude Seunagan itu ke sana, yang tak lain merupakan mata-mata dari Teugku Puteh.
Keduanya pun dibawa masuk kedalam sebuah ruangan oleh Schmist. Si mata-mata tadi segera menceritakan informasi yang dibawanya. Sementara si pedang mendengarnya dengan seksama. Namun keberadaan mata-mata Teungku Puteh tersebut akhirnya diketahui Schmist, setelah ia membongkar rencana Schmist dan pasukannya yang akan menyeran gerilayawan Aceh. Esokya sipedagang itu pun disuruh tangkap.
Antara Schmist dan Teungku Puteh, selain juga sama-sama punya kekuatan mistik. Konon menurut Zentgraaff, Schmist merupakan putra Aceh yang sejak kecil diasuk dan disekolahkan oleh Belanda sampai ke Nezerland, sehingga anak Aceh tersebut menjadi orang Belanda tulen yang sangat mengerti tentang Aceh.
Soal kekuatan mistik yang dimiliki Schmist, Zentgraaff mengaku pernah mendengar hal itu dari Cut Fatimah, janda dari Teungku Keumangan, yang selama hayatnya memberikan perlawanan yang gigih terhadap pasukan-pasukan Belanda di Jeuram. “Ia telah bercerita pada saya, bahwa Schmist adalah salah seorang dari orang-orang yang tidak banyak jumlahnya. Ia memiliki rante bui, yang membuatnya menjadi kebal. Ia juga megetahui hal-hal yang mistik,” ungkap Zentgraaff.
Namun Zentgraaff tidak yakin Schmist memiliki rante bui tersebut. Menurutnya, yang memiliki benda yang bisa menjadi ajimat tersebut hanyalah Teungku Brahim di Njong, Teungki Chik Samalangan dan Teungku Cot Plieng. Mereka adalah pemimpin-pemimpin spiritual di Aceh (ulama) yang mengobarkan semangat jihat untuk melawan Belanda. “Teungku Cot Plieng merupakan yang paling utama diantara mereka itu. Komandan-komandan patroli kita (Belanda-red) yang paling ulung sekali pun, tak punya harapan menghadapi dia. Tak ada seorang Aceh pun yang berani memberitahukan dimana tempat persembunyian segerombolan dari ulama yang sangat keramat itu,” tulis Zentgraaff.
Pun demikian, pasukan Belanda terus memburunya, sampai kemudian pada Juni 1904, pasukan Belanda pimpinan Kapten Stoop berhasil menemukan jejaknya diantara dua aliran sungai Gle Keulabeu. Ia pun disergap, tapi Teungku Cot Plieng berhasil lolos dari “lubang jarum” dengan meninggalkan Al Qur’an dan jimat stempelnya.
Jimat stempel yang ditemukan dari Teungku Cot Plieng itu, disebut-sebut merupakan warisan dari Teungku Syeh Saman Di Tiro, yang dikenal dengan Teungku Chik Di Tiro. Karena tak lagi memiliki jimat stempel tersebut Teungku Cot Plieng pun akhirnya berhasil disergap oleh sebuah pasukan patroli pimpinan Letnan Terwogt. Dalam penyergapan tersebut, ulama karismatik itu pun tewas tertembak.
Mayatnya kemudian diusungkan ke salah satu bivak, untuk keperluan identifikasi. Belanda heran, karena mayat tersebut tidak membusuk. Untuk memastikan kalau itu adalah Teungku Cot Plieng, Belanda akhirnya memanggil Panglima Polem.
Sampai di sana, Panglima Polem memberi hormat pada mayat itu dengan melakukan sujud di tengah orang-orang Aceh yang terdiam karena rasa hormatnya. “Ketika kami berjumpa, Panglima Polem bilang hal itu merupakan rahasia tuhan,” jelas Zentrgaaff.
Panglima Polem pun kemudian melepaskan rante bui dari mayat Teungku Cot Plieng dan memberikannya kepada Van Daalen, seorang perwira Belanda. Tapi Van Daalen menolaknya, karena tak suka terhadap hal-hal yang berbau mistik.
Setelah operasi pembersihan besar-besar dilakukan pasukan Belanda di Pidie, ajimat itu kemudian dihadiahkan kepada Veltman perwira Belanda lainnya yang kerap dipanggil sebagai “Tuan Pedoman”. Ia tidak juga memakai ajimat itu. Ia lebih percaya kepada sebilah besi baja tajam dan sepucuk revolver, ketimbang ajimat tersebut.
Akhirnya rante bui itu dihadiahkan kepada Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda, yang hingga kini masih disimpan dalam etnografia Aceh. “Saya berhasil memperoleh sebuah gambar potretnya berkat bantuan seorang bekas opsir marsose kawakan bernama Lamster,” jelas Zentgraaff.
Pawang Rimueng
Cerita mistik lainnya adalah kemampuan orang Aceh manaklukkan harimau menyisakan rasa penasaran bagi penulis Belanda, H C Zentgraaff. Rasa penasaran itu semakin memuncak saja, ketika Putra Cut Mutia yang masih kanak-kanak, Teungku Raja Sabi, hidup dalam belantara bersama harimau, menghindar dari kejaran marsose.
Bagi masyarakat Aceh, harimau merupakan lambang kekuatan dan kelihaian. Pejuang-pejungan Aceh yang militan semasa perang melawan pemerintah kolonial Belanda, sebelum mempersiapkan diri untuk berperang, maka bila ada kesempatan akan memakan sepotong hati harimau.
Hal itu diyakini akan melahirkan sifat-sifat buas dan beringas dari harimau ke pejuang tersebut, yang dalam bahasa Aceh disebut dengen ceubeuh, yakni garang dan berani. Dalam perang dengan Belanda, harimau pulalah yang kerap menyelamatkan pejuang Aceh dari kejaran Belanda, dengan memberikan isyarat. Maka diantara gerombolan pejuang Aceh yang bergerilya di belantara, akan selalu ada satu dua orang pawang harimau (pawang rimueng-red).
Tentang hal ini diakui oleh penulis Belanda, H C Zentgraaff, yang juga mantan serdadu dalam perang Aceh. Menurutnya, sikap harimau yang selalu menghindar bila berjumpa dengan gerombolan manusia dalam belantara, dipandang oleh masyarakat Aceh sebagai kewaspadaan yang lihai dalam mengelak resiko.
Bagi masyarakat Aceh, keberadaan harimau punya arti khas tersediri. Malah kuburan-kuburan tokoh-tokoh yang diyakini keramat, dijaga oleh binatang buas tersebut atas kodrta dan kekuatan ghaib. “Di dekat kuburan Teungku Cot Bada di Geulumpang Payong, Pidie, dia (harimau-red) dapat dilihat sekali-kali oleh orang-orang yang percaya, pada saat menjelang senja atau setelah magrib,” tulis Zentgraaf dalam buku “Atjeh”.
Mneurut Zentgraaff, harimau hitam dan harimau putih bergantian menjaga kuburan tersebut, yang letaknya tidak jauh dari pertemuan Krueng Geumpang dan Krueng Tangse. Malah menurut Zentgraaff, orang tua khadam (penjaga) kuburan itu tidak pernah sekali pun diganggu oleh harimau-harimau itu.
Cerita tentang harimau lainnya, adalah kisah Teungku Raja Sabi, putra Cut Mutia yang sejak kecil sudah bergerilya di hutan karena diburu oleh Belanda, setelah Cut Mutia dan Pang Nanggroe yang mengasuhnya meninggal dalam sebuah pertemburan. Raja Sabi yang masih bocah menjadi simbol perjuangan rakyat Aceh di Keuretoe, Aceh Utara. Dalam masa kanak-kanak itu, Raja Sabi terus berpindah dari satu rimba ke rimba yang lain, bersama harimau dan Raja Tampeu, seorang yang sudah sangat akrab dengan binatang-binatang hutan.
Dalam bukunya, Zentgraaff juga mengisahkan tentang keganjilan-keganjilan yang dilakukan oleh Pawang Rimueng (Pawang harimau-red) di Aceh, yang sangat mengerti tentang kebiasaan, tingkah laku dan seluk beluk binatang buas tersebut. “Kalau saya ceritakan beberapa dari cerita-cerita orang-orang yang dapat dipercaya mengenai pekerjaan-pekerjaan pawang-pawang harimau, maka beberapa dari kita menggelengkan kepalanya. Kita bertanya sejenak, apakah yang diketahui oleh seorang penjinak binatang di dalam sebuah sirkus Barat, mengenai sifat-sifat, watak dan kebiasaan-kebiasaan dari hewan-hewan yang dipeliharanya sehingga merasa dapat sebanding dengan manusia-manusia seperti pawang-pawang Aceh ini, yang seluruh hidupnya, dimulai dengan ilmu yang dimusyawarahkan dan diturunkan secara rahasia oleh orang tua-tua, untuk mepelajari segala apa yang hidup dan mengembara dalam hutan rimba. Mereka jauh lebih mengenal kebiasaan-kebiasaan dan sifat dari harimau serta badak, dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam semua buku barat.” Tulis Zentgraaff.
Keberadaan pawang rimueng sangat dihargai dalam masyarakat. Bahkan bagi pawang harimau yang berhasil menghela harimua yang mengganggu ternak dan tanaman masyarakat, akan selalu mendapat sumbangan dari hasil ternak atau pertanian warga tersebut sebagai upah.
Di beberapa kampung di Aceh, dulu malah mempunyai aturan tersendiri tentang keberadaan pawang rimueng. Dari hasil menjaga dan menjinakkan binatang buas itu pula pawang rimueng dapat hidup layak. Diantara sekian banyak pawang rimueng di Aceh, dulu yang paling tersohor adalah pawang rimueng di Daya (Aceh Barad Daya-red). Sebuah daerah yang dikenal memiliki banyak harimau yang lebih buas dibandingkan daerah-daerah lain. “Mereka terkenal karena sangat culas dan buas, dan sekiranya orang hendak menunjukkan dengan jelas betapa takutnya mereka terhadap harimau Daya,” jelas Zentgraaff.
Zentgraaff mengaku penasaran tentang kemampuan para pawng harimau dalam menghadapi bintang buas tersebut. Kemampuan itu merupakan warisan turun temurun kepada anak cucu para pawang rimueng. “Betapapun riilnya pengetahuannya tentang harimau, namun hal itu diselubunginya dengan formula-formula mistik serta agama, karena harimau pun adalah ciptaan Tuhan pula, dan berhak untuk diperlakukan dengan semestinya, sesuai dengan cara-cara yang baik, sebgaimana yang diberikan oleh kekuatan yang satu kepda yang lainnya,” lanjut Zentgraaff.
Menurut Schimid dan Veltman, perwira Belanda yang bertugas di Aceh dalam perang kolonial. Anak lelaki dari pawang secara berangsur-angsur dilekatkan segala keilmuan ini, dan semua ini sebagian besar diselenggarakan dalam hutan menyendiri, sebagaimana halnya dengan bertapa bagi orang Jawa. Mereka yang berhasrat untuk masuk ke dalam dunia kerohanian, hendaklah dengan mulai melepaskan dirinya dari kebendaan.
Untuk memancing hariamu liar agar menuju ke arah tertentu di dalam hutan, untuk memaksanya membuang naluri buasnya dan menuntun jasadnya yang perkasa itu melalui jalan yang dikehendaki sampai ke dalam perangkap, memerlukan hal-hal lain selain dari pada menggunakan jampi-jampi suci saja, walaupun ini dilakukan dengan hati yang betul-betul bersih.
Semenjak dari masa kanak-kanaknya, sang pawang mempelajari segala kebiasaan harimau, bukan hanya perlu mengetahui bagaiman cara-caranya ia bergerak di dalam hutan, namun juga; mengapa ia berlaku demikian dan bukan lainnya. “Begitulah si anak muda dengan bimbingan pawang tua, belajar memahami harimau di tempat terpencil dari dalam hutan, hanyalah dia yang seorang diri berada di dekat bunda alam, yang dapat belajar memahami jalan ilmu kebatinan,” tulis Zentgraaff.
sumber artikel & gambar: harian-aceh (Fokus oleh Iskandar Norman – 12 May 2011)
Hikayat Raja Pasai
Pendahuluan
Hikayat Raja-Raja Pasai pertama kali diterbitkan oleh seorang Perancis bernama Ed. Dulaurier pada tahun 1849 M dalam Collection Principle Cronique Malayes. Ia menerbitkannya dalam huruf Arab berdasarkan manuskrip yang dibawa oleh Sir Thomas Stanford Raffles ke London yang sampai sekarang masih ada di sana dalam perpustakaan Royal Asiatic Society. Pada tahun 1914 M terbit versi yang dihuruflatinkan oleh J.P. Mead yang juga berasal dari manuskrip London tersebut di atas. Di samping itu, terdapat pula transkripsi Hikayat Raja-Raja Pasai beserta pembicaraannya dalam Journal of the Malayan Branch Royal Asiatic Society, 1960, yang dikerjakan oleh A.H. Hill. Menurt T. Iskandar, Hikayat Raja-Raja Pasai merupakan karya sejarah tertua dari zaman Islam.
Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat dua versi. Pertama ialah cerita Pasai yang terdapat dalah naskah Sejarah Melayu, yakni riwayat yang berakhir dengan mangkatnya Sultan Malik al Dzahir dan naiknya tahta kerajaan Sultan Ahmad. Kedua adalah versi Hikayat Raja-Raja Pasai yang diwakili oleh Raffles seperti tersebut di atas. R.O. Winstedt menyatakan bahwa bagian-bagian tertentu Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai mempunyai persamaan-persamaan, baik dalam pokok pembicaraan maupun susunan ayatnya. Ia mengatakan, penyusun Sejarah Melayu telah meniru, memparafrasakan dan menyalin Hikayat Raja-Raja Pasai. Winstedt berkesimpulan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai ialah teks yang tertua dari kedua karya itu (Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai). Namun, R. Roolvink menyatakan, tidak mudah untuk menentukan antara kedua teks itu dan mungkin sekali penyusun Sejarah Melayu telah menggunakan teks Hikayat Raja-Raja Pasai yang lain, sehingga terjadi perbedaan penting antara kedua teks itu dari segi nama dan detail-detail lainnya.
Menurut A. Teeuw bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai berdasarkan internal evidence tidak mungkin dikarang sebelum Sejarah Melayu, tetapi sebaliknya. Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis berdasarkan suatu versi asal Sejarah Melayu untuk kemegahan kerajaan Pasai dengan berbagai tambahan dan perubahan. Namun, Amin Sweeney menentang pendapat itu dan berdasarkan internal evidence pula menyatakan dengan sangat meyakinkan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang digunakan oleh pengarang bagian pertama Sejarah Melayu.
Ikhtisar
Isi naskah Hikayat Raja-Raja Pasai menyangkut sejarah negeri Pasai sekitar pertengahan abad ke-13, masa pengislaman Tanah Pasai hingga pertengahan abad ke-14, dan waktu penaklukan Pasai oleh Majapahit. Secara lebih rinci isi Hikayat Raja-Raja Pasai dapat dibagi menjadi enam bagian, meskipun dalam manuskrip tersebut tidak ada pembagian ini. Lima bagian pertama adalah cerita mengenai Samudra Pasai, sedangkan yang keenam sama sekali tidak menyinggunga Pasai, tetapi mengenai penaklukan Nusantara oleh Patih Gajah Mada atas perintah Sang Nata Majapahit. Dalam bagian terakhir itu juga dibicarakan penaklukan sebagian pulau Perca, yakni Minangkabau, yang tidak dilakukan dengan peperangan tetapi dengan adu kerbau. Tentara Jawa kalah dalam penaklukan itu. Naskah Hikayat Raja-Raja Pasai yang mula-mula besar kemungkinannya tidak mengandung bagian yang keenam itu. Apabila itu benar, maka bagian yang keenam itu adalah tambahan yang kemudian, mungkin ditulis oleh pengarang lain dan ditambahkannya kepada naskah Hikayat Raja-Raja Pasai.
Hikayat Raja-Raja Pasai dimulai dengan dua kisah bersaudara Raja Muhammad dan Raja Ahmad yang sedang membangun sebuah negeri di Samalanga. Ketika menebas hutan, Raja Muhammad menemukan seorang anak perempuan muncul dari pokok bambu. Anak itu diberi nama Puteri Betung. Raja Ahmad mendapat seorang anak laki-laki yang dibawa oleh seekor gajah, anak itu diberi nama Meurah Gajah. Setelah dewasa keduanya dinikahkan, dan pasangan ini mempunyai dua orang putra, yaitu Meurah Silu dan Meurah Hasum. Pada suatu hari Meurah Gajah melihat sehelai rambut Putri Beutung berwarna emas. Dia minta agar rambut itu dicabut. Istrinya menolak dan mengingatkan, apabila rambut itu dicabut akan terjadi perceraian di antara mereka. Namun, Meurah Gajah memaksa mencabutnya, sehingga keluar darah putih dari kepala Putri Betung dan matilah ia. Karena peristiwa itu, terjadilah peperangan antara Raja Muhammad dan Raja Ahmad. Banyak prajurit dari kedua belah pihak tewas, dan akhirnya kedua raja itu pun menemukan ajalnya dalam peperangan itu.
Setelah perang selesai, Meurah Silu dan Meurah Hasum sepakat meninggalkan Samalanga untuk membuka negeri lain. Mereka berjalan sampai ke Beurana (Bireuen). Di hulu sungai, Meurah Silu menemukan cacing gelang-gelang yang kemudian berubah menjadi emas dan perak. Dengan emas itu ia mengupah orang menangkap kerbau liar untuk dijinakkan. Pekerjaan itu tidak disukai oleh Meurah Hasum. Diusirlah Meurah Silu. Setelah berjalan jauh, Meurah Silu tiba di Bukit Talang, ibu kota sebuah kerajaan yang diperintah oleh Meugat Iskandar.
Di ibu kota itu Meurah Silu diperkenankan tinggal. Ia memperkenalkan adu ayam jago. Atraksi itu menarik perhatian banyak orang dari negeri lain hingga mereka berdatangan ke Bukit Talang.
Meugat Iskandar sangat menyukai Meurah Silu. Dia bermusyawarah dengan orang-orang besar dan sepakat menobatkan Meurah Silu menjadi raja mereka. Saudara Meugat Iskandar, Malik al Nasr, tidak setuju. Terjadi peperangan di antara keduanya. Malik al Nasr kalah.
Tidak lama kemudian, Meurah Silu membuka negeri di atas tanah tinggi, diberi nama Samudra, mengikut nama semut besar yang dijumpainya di situ. Dikisahkan pula bahwa menjelang wafat, Nabi Muhammad mewartakan kepada para sahabatnya bahwa di benua bawah angin kelak akan muncul sebuah negeri bernama Samudra.
Ketika Samudra telah berdiri, segera berita itu terdengar ke Mekah. Syarif Mekah memerintah Syekh Ismail, seorang ulama dan sufi terkemuka, agar berlayar ke Samudra bersama 70 pengikutnya untuk mengislamkan raja Samudra. Dalam pelayaran ke Samudra mereka singgah di Mangiri, yang sultannya keturunan Abubakar Siddiq, sedangkan Abu Bakar telah turun tahta menjadi sufi. Abu Bakar Siddiq lalu ikut berlayar ke Samudra bersama Syekh Ismail.
Sebelum kapal Syehk Ismail berlabuh di Samudra, Meurah Silu bermimpi berjumpa Nabi Muhammad dan mengajarinya mengucapkan syahadat dan tata cara salat. Setelah diislamkan, Meurah Silu diberi gelar Sultan Malik al Saleh, mirip dengan nama Sultan Saljug yang masyhur merebut Anatolia, Turki, dari kaisar Byzantium pada abad ke-12 M, yaitu Malik Syah. Setelah itu seluruh rakyat Samudra berbondong-bondong memeluk agama Islam. Setelah itu Malik al Saleh membuka negeri baru, sebuah kota yang strategis, sebagai pelabuhan dagang di Selat Malaka, diberi nama Pasai mengikuti nama anjing kesayangannya yang berhasil menangkap seekor pelanduk ketika negeri baru itu mulai dibuka.
Tidak lama setelah itu, Malik al Saleh mengawini putri sultan Peurlak bernama Putri Ganggang. Dari perkawinan itu lahir seorang laki-laki, Malik al Zahir. Sultan Malik al Saleh wafat pada 1297 M. Pada batu nisan makamnya dipahatkan syair yang indah dalam bahasa Arab karangan Ali bin Abi Thalib.
Tampuk pemerintahan berpindah ke Malik al Zahir. Pada masa pemerintahan Malik al Zahir inilah Ibn Batutah, musafir Arab dari Tangier dua kali mngunjungi Pasai dalam lawatannya menuju Cina, 1316 M. Selain mencatat raja di kerajaan yang disinggahi itu alim dan bijaksana, ia pun menulis bahwa pendidikan Islam sangat maju dan banyak sekali ulama bermazhab Syafi’i dari negeri Arab serta cendekiawan Persia berdatangan dan tinggal lama untuk mengajar di negeri tersebut.
Malik al Zahir digantikan kedua putranya: Malik al Mahmud yang memarintah Samudra, dan Malik al Mansur yang memerintah Pasai. Di bawah pemerintahan mereka, Pasai bertambah makmur dan maju. Raja Siam yang mendengar berita itu merasa iri dan marah. Lantas ia membawa tentara lautnya menyerbu Pasai. Karena ketangguhan angkatan laut Pasai, tentara Siam dikalahkan dan dihalau dari perairan Selat Malaka tanpa pernah kembali lagi untuk menyerang Pasai.
Setelah penyerangan Siam itu terjadilah serangkaian peristiwa yang mencoreng nama baik kerajaan tersebut dan menyebabkan kejatuhannya. Hal itu bersumber dari ulah penguasa Samudra Pasai sendiri.
Pada suatu hari, adik Sultan Malik al Mansur bertamasya dan melalui depan istana abangnya. Ketika itu Sultan Malik al Mahmud sedang berpergian ke pantai. Sebenarnya, mentrinya telah berupaya mencegah Sultan Malik al Mahmud agar tidak ke pantai, karena mentri itu tahu bahwa adik sultan akan melalui depan istana dalam perjalanan tamasyanya. Mentri itu memperoleh firasat akan terjadi peristiwa yang bisa mendatangkan fitnah.
Ketika Sultan Malik al Mansur melewati jalan di depan istana abangnya, seorang perempuan cantik mucul dari istana. Malik al Mansur terpikat pada wanita itu dan sangat birahi. Lantas dengan paksa perempuan itu dibawanya pulang ke istananya. Mendengar berita itu Malik al Mahmud murka dan mencari jalan bagaimana bisa membalas dendam. Suatu hari ia undang sang adik mengahdiri sebuah pesta. Dalam pesta itu Malik al Mansur dibekuk, dan dipenjarakan ke tempat terpencil. Mentri yang mendampingi Malik al Mansur dipenggal kepalanya.
Tidak berapa lama, sultan Malik al Mahmud pun sadar bahwa perbuatannya keliru. Dia lantas menyuruh Tun Perpatih Tulus Agung menjemput Malik al Mansur pulang. Di tengah perjalanan, setelah berziarah ke makam mentrinya yang dihukum mati oleh kakaknya, Malik al Mansur jatuh sakit dan menghembuskan nafas penghabisan di situ juga.
Setelah Sultan Malik al Mahmud wafat, tahta kerajaan jatuh ke tangan putranya, Sultan Ahmad Permadala Permala. Sultan ini sangat menyukai perempuan dan mengawini wanita kapan saja di mau. Dia dikarunia 30 anak. Lima di antaranya seibu dan sebapa, yaitu Tun Berahim Bapa, Tun Abdul Jalil, Tun Abdul Fadhil, Tun Medan Peria, dan Tun Takiah Dara. Tun Berahim Bapa terkenal karena keperwiraannya dan ketangkasannya di medan perang. Tun Abdul Fadhil sangat alim dan gemar mempelajari ilmu agama. Tun Abdul Jalil seperti ayahnya. Dua adik mereka, Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara, sangat cantik. Sultan Ahmad sangat birahi kepada dua putrinya itu dan memberi tahukan niatnya akan mengawini dua putri kandungnya tersebut.
Tun Berahim Bapa mendengar berita itu. Segera ia bawa lari kedua adiknya ke Tukas. Sultan Ahmad murka. Berbagai cara dilakukan sultan untuk membunuh putra sulungnya itu, namun selalu gagal. Sultan bertambah murka setelah mengetahui bahwa putranya itu berseda gurau dengan seorang dayang cantik bernama Fatimah Lampau. Pada suatu kesempatan Sultan Ahmad mengajak Tun Berahim Bapa bertamasya dan memberi makanan yang beracun. Karena tidak mau durhaka kepada ayahnya, Tun Berahim Bapa memakan juga makanan itu walaupun tahu dua adik perempuannya yang dia bawa lari mati karena makan racun. Dia pun mati, jenazahnya dimakamkan di Bukit Fadhillah.
Kezaliman Sultan Ahmad tidak berkurang karenanya, dia nekat membunuh Tun Abdul Jalil hanya karena putranya ini dicintai oleh Putri Gemerancang, anak Ratu Majapahit. Ketika Putri Gemerancang tiba di Pasai dan mendengar kematian kekasihnya, dia pun berdoa supaya mati dengan cepat dan kapalnya tenggelam. Terjadilah yang diharapkan itu. Ini menyebabkan raja Majapahit menyerang Pasai. Karena panglima perangnya yang handal, Tun Berahim Bapa, telah tiada, Pasai pun kalah. Dengan penuh penyesalan Sultan Ahmad melarikan diri ke Menduga.
Setelah itu cerita adu kerbau Jawa dan Minangkabau, dan kerbau raja Majapahit kalah melawan kerbau Patih Ketamanggungan dari Minangkabau, uraian diakhiri dengan daftar negeri-negeri Melayu yang ditaklukan oleh Majapahit.
Perkiraan Waktu
Pada umumnya naskah lama tulisan tangan yang sampai kepada kita bukanlah naskah induk, melainkan naskah salinan. Naskah-naskah itu lazim tidak mencantumkan, baik nama pengarang aslinya maupun tahun penyusunannya. Untuk memperkirakan masa penyusunan sebuah naskah, peneliti naskah lama pada umumnya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Cap kertas,
Pada kertas yang digunakan penulis atau penyalin naskah sering terdapat semacam gambaran yang membayang, yang disebut cap kertas. Misalnya, kertas berukuran folio yang capnya menggambarkan seekor singa yang beridiri di atas sebuah kotak yang bertulisan VRYHEID, menurut Churchill bahwa kertas yang seperti itu dibuat pada tahun 1785 M. Perkiraan seperti itu dapat dilakukan terhadap naskah yang menggunakan kertas. Naskah-naskah lontar atau yang menggunakan alas tulis yang lain tidak dapat diperlakukan demikian. Lagi pula, yang dapat diperkirakan hanya batas awal penulisan, bukan titik waktu yang tertentu.
2. Peristiwa sejarah
Sering terjadi bahwa seorang tokoh sejarah atau sebuah peristiwa sejarah disebut-sebut dalam suatu naskah. Dengan demikian, penyebutan waktu hadirnya tokoh itu atau terjadinya peristiwanya tidak sesuai benar dengan rekaman sejarah yang objektif, tetapi tokoh atau peristiwa itu baru dapat disebut-sebut setelah ada atau terjadi. Itu berarti bahwa naskah tersebut pasti disusun setelah tokoh atau peristiwa itu muncul dalam sejarah, tidak mungkin sebelumnya, sehingga ada batas awal.
3. Ejaan
Ejaan juga dapat digunakan sebagai batasan penentu masa penyusunan atau penyalinan sebuah naskah. Naskah-naskah berbahasa Melayu dengan bertulisan Jawi dari kurun waktu tertentu, misalnya, mencantumkan tasydid di atas huruf yang mengikuti suku kata berbunyi e pepet, misalnya, berrindu. Piniadaan konsonan dasar menghasilkan bentuk-bentuk, seperti menengar, juga merupakan gejala ejaan yang menandai kurun waktu tertentu.
4. Pada bagian naskah salinanan ada penambahan kolofon yang memuat nama penyalin dan tempat serta tanggal penyalinan diselesaikan. Apabila dalam kolofon tanggal itu ditulis secara lengkap sampai dengan angka tahunnya, lazimnya digunakan tarikh Hijriah.
Pada sebagian naskah memang ada dicantumkan tanggal yang lengkap, para pembaca tidak segera terbayang masanya karena dewasa ini orang tidak lagi terbiasa menggunakan tarikh Hijriah dalam perhitungan waktu. Oleh karena itu, angka tahun Hijriah oleh para peneliti naskah lama dikonversikan menjadi angka tahun Masehi. Namun, ada juga yang sekaligus mencantumkan tanggal menurut perhitungan tarikh Hijriah dan Masehi.
Kapan Hiakayat Raja-Raja Pasai itu ditulis ? Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan sejak awalnya kerajaan Samudra Pasai dengan rajanya Malikul Saleh, dan hingga berakhirnya kerajaan Pasai di bawah pemerintahan Raja Ahmad yang porak-poranda diserang oleh laskar Majapahit. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang pertama dikarang, sekurang-kurangnya segera setelah Pasai ditaklukan oleh Majapahit, karena hikayat ini tidak lagi menceritakan tentang Raja-Raja Pasai setelah kalah diserang oleh Majapahit. Kapan Majapahit menaklukan Pasai ? Hikayat Raja-Raja Pasai sama sekali tidak menyebutkan angka tahun, kecuali cerita penyerangan Majapahit ke Pasai. Pada akhirnya naskah terdapat kalimat sebagai berikut: bahwa ini negeri yang takluk kepada Ratu Majapahit pada zaman pecahnya negeri Pasai, ratunya bernama Ahmad”.
Dalam kitab Negarakertagama gubahan Prapanca tahun 1365, Samudra termasuk daerah-daerah yang ditaklukan oleh Majapahit. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penaklukan Pasai oleh Majapahit terjadi sebelum tahun 1365. Namun, G.E. Marrison berpendapat bahwa invansi Majapahit ke Pasai terjadi pada tahun 1377, lebih lambat dari waktu ditulisnya kitab Negarakertagama. Seandainya pendapat Marrison benar, tentu nama-nama Samudra tidak terdapat dalam daftar nama-nama negeri yang takluk kepada Majapahit di dalam Negarakertagama tahun 1365. Namun, Sir Richard mengatakan bahwa sangat mungkin Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis pada abad ke-15, antara tahun 1350 dan 1500.
Manuskrip Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat di London, satu-satunya manuskrip yang ada, yaitu berupa salinan dari satu naskah kepunyaan Kiai Suradimenggala, Bupati Sepuh di Demak, salinan itu selesai dikerjakan pada 21 Muharram 1230 H atau 1825 M. Sir Ricard berpendapat bahwa tahun Hijriah yang tertera di sana adalah tahun 1230 H, sehingga menurutnya salinan itu selesai pada tahun 1814 M. Dr. Roolvink membacanya 1235 H dan kemungkinan ini yang lebih tepat, dan tanggal itu sesuai dengan hari Selasa, 9 November 1819. Timbulnya perbedaan tersebut, karena anggka yang terakhir yang tertulis dengan huruf Arab dalam salinan itu dapat diragukan, mungkin dapat dibaca 0 dan mungkin juga 5, hingga menyebabkan timbulnya bacaan yang berbeda.
Kepengarangan
Konsep pengarang dalam sastra lama tidak dapat dipersamakan dengan konsep pengarang dalam sastra modern. Pangarang karya sastra modern jelas orangnya: nama tercantum pada halaman kulit, dan dialah yang memegang hak cipta atas karangannya itu. Tanpa pengetahuan dan izinnya karyanya tidak boleh dikutip dan diperbanyak, apalagi diubah-ubah, walaupun itu semua dilakukan orang dengan maksud mempopulerkannya dan menyempurnakannya. Sebaliknya, pengarang karya sastra lama hanya sedikit yang dikenal.
Pengarang karya sastra lama tidak biasa mencantumkan namanya jelas-jelas pada halaman kulit, pada awal atau akhir kisahnya. Karena yang penting karangan itu sendiri, bukan siapa pengarangnya. Lagi pula, karya itu bukan milik individu pengarangnya, melainkan milik bersama. Individualisme kepengarangan baru dikenal setelah kedatangan orang Barat.
Orang yang bertembungan dengan sebuah karya sastra berhak dan cenderung mengubahnya, mengurangi bagian-bagian tertentu atau menambah episode-episode yang dianggapnya akan menambah kesempurnaan karya tersebut, termasuk mengubah gaya bahasa penyajiannya. Oleh karena itu, yang berlaku sebagai pengarang bukan hanya pengarang aslinya, yang sudah jarang diketahui orang, melainkan juga orang yang membawakannya (tukang cerita) dan para penyalinnya. Meskipun tidak sebagai penggubah langsung, dalam hal ini tidak boleh dilupakan peran khalayak pendengar atau pembaca. Pengubahan karangan tidak jarang disesuaikan dengan selera khalayak pendengan atau pembacanya, baik yang mengenai bentuknya maupun tentang isinya. Demikian pula panjang pendeknya karangan serta urutan peristiwa dalamnya sering ditentukan dengan memperhatikan keinginan pendengar atau pembaca.
Pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai belum dikenal. Dalam hal ini berkata C. Hooykaas: “Amatlah sayang, bahwa hampir semuanya naskah-naskah Melayu itu dalam masa bertahun-tahun amat banyak berubah, dan bahwa kita sedikit sekali tahu tentang nama, kedudukan dan zaman pengarangnya….” Akan tetapi, meskipun nama pengarangnya tidak diketahui, sekurang-kurangnya dengan meneliti isi naskah-naskah tersebut dapat juga diketahui fungsi, tugas, dan zaman pengarang yang dipancarkan oleh pola kebudayaan zaman itu. Oleh karena itu, mengapa Hikayat Raja-Raja Pasai itu dikarang perlu ditinjau latar belakang tempat Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis. Apabila diikuti uraian pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai dapat disimpulkan bahwa pengarangnya adalah termasuk orang dalam kalangan istana Samudra Pasai yang bertugas menyusun kronika dan daftar silsilah mengenai kerajaan itu. Pada saat itu tujuan pengarang adalah memancarkan cahaya yang diinginkan keluarga raja. Dengan uraian penulis yang memberikan tempat sakral kepada Sultan Malik al Saleh, pendiri Kerajaan Samudra Pasai, tampak ada kultus raja di samping usaha pengarang melukiskan kebesaran negerinya sebagai negeri pilihan Tuhan.
Pengaruh kebudayaan Islam sangat kentara, tidak saja karena naskah itu banyak mengandung kata-kata Arab, tetapi isinya bertujuan menyebarkan dan memperteguh kepercayaan agama Islam dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya, apabila diperhatikan nasihat yang panjang lebar dari Sultan Malik as Saleh dan Sultan Malik al Mahmud sebelum kedua baginda mangkat, sangat mungkin pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai bermaksud hendak memberikan sifat pragmatis dari hikayat itu supaya dapat menjadi tauladan bagi raja-raja yang berikutnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa Sultan Malik al Mahmud pada suatu hari sadar bahwa ia telah mengirimkan ke pembuangan saudaranya Sultan Malik al Mansur, ia berkata:
“Wah terlalu ahmak bagiku karena perempuan seorang saudaraku kuturunkan dari atas kerajaannya dan mentrinya pun kubunuh”, maka baginda menyesallah lalu ia menangis maka baginda pun bertitah pada seluruh ulubalangnya: “pergilah kamu segera mengambil saudaranya itu karena aku terlalu sekali rindu dendam akan saudaraku”.
Karya Sastra dalam Pandangan Ilmu Sejarah
Dalam kesusastraan Indonesia Lama terdapat sejumlah naskah yang oleh Winstedt dikategorikan ke dalam Malay Histories, misalnya, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Silsilah Melayu, dan Bugis. Istilah Malay Histories masih dipermasalahkan, terutama oleh kalangan sejarawan, walaupun karya-karya sastra tersebut menampilkan tokoh-tokoh yang namanya sangat dikenal dalam sejarah. Namun, belum memenuhi persyaratan untuk menjadi karya sejarah, seperti ketepatan waktu, kronologis, dan kebenaran faktual tidak diperhatikan. Dalam karya sastra tersebut banyak sisipan mitos, dongeng, legenda, menyebabkan sejarawan menghadapi kesulitan untuk menemukan fakta kesejarahannya, sehingga tidak dapat sepenuhnya dijadikan sebagai sumber sejarah.
Karya-karya kesusastraan tersebut memang tidak sepenuhnya dimaksudkan sebagai rekaman sejarah untuk dijadikan acuan penyusunan sejarah yang kritis. Karya-karya tersebut lebih tepat disebut sebagai karya sastra sejarah atau karya sastra yang bertema sejarah. Ada beragam prosa dengan judul yang memuat kata sejarah: Sejarah Melayu, Sejarah Raja-Raja Riau; kata hikayat seperti pada Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Banjar, Hikayat Aceh, dan Hikayat Maulana Hasanuddin; kata silsilah seperti pada Silsilah Melayu dan Bugis. Ada pula yang beragam puisi, yaitu syair, seperti Syair Singapura Dimakan Api dan Syair Himop. Dari judulnya dapat diperkirakan bahwa isinya berkaitan dengan suatu kurun waktu tertentu, peristiwa tertentu, atau tokoh tertentu di dalam sejarah. Adapun tujuan penyusunannya pada umumnya seperti yang konon dititahkan oleh Sultan Abdullah Ma’ayah Syah kepada Bendahara Paduka Raja,
Bahwa beta minta perbuatan hikayat pada Bendahara, peri peristiwa dan peraturan segala raja-raja Melayu dengan istiadatnya sekali, supaya diketahui oleh segala anak cucu kita yang kemudian daripada kita, diingatkannya oleh mereka itu, syahdan beroleh faidahlah ia daripadanya.
Fakta Historis dalam Hikayat Raja-Raja Pasai
Mengenai pernyataan yang dikemukakan oleh penulis Hikayat Raja-Raja Pasai tentang sejarah Samudra Pasai hingga penyerangan Majapahit, harus dibandingkan dengan beberapa pembuktian lain, yaitu dengan bekas-bekas peninggalan masa tersebut, sehingga dapat dipisahkan mana yang historis dan yang bukan historis. Motif-motif yang legendaris pada mulanya ada juga yang ada faktanya yang kongkrit. Misalnya, mythe asal mulanya Kerajaan Samudra Pasai dapat menceritakan kepada kita bahwa memang ada fakta-fakta yang kongkrit, mengenai didirikannya Samudra itu. Motif mythis-legendaries itu menjadi dongeng, karena pada waktu peristiwa itu terjadi belum terdapat kodifikasi sehingga semakin jauh dengan peristiwa terjadinya itu semakin timbullah segala macam dongeng yang semakin lama semakin dilebih-lebihkan oleh cerita turun-temurun, terutama untuk mendewa-dewakan raja pendiri kerajaan atau raja yang pertama sekali memeluk agama Islam itu. Keadaan itu, seperti disebutkan pada awal naskah:
Alkisah peri mengatakan cerita raja yang pertama masuk agama Islam ini Pasai, maka ada diceritakan oleh orang yang punya cerita ini negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang pertama membawa iman akan Allah dan akan Rasul Allah.
Sebagai contoh, dalam Sejarah Melayu sama sekali tidak disebutkan Malikul Mahmud yang oleh Hikayat Raja-Raja Pasai disebutkan sebagai anak Malikul Zahir dan cucu Malikul Saleh. Ayah Sultan Ahmad menurut Hikayat Raja-Raja Pasai adalah Malikul Mahmud, sedangkan menurut Sejarah Melayu adalah Malikul Zahir.
Untuk menilai mana antara kedua sumber itu yang mendekati kebenaran, dapat dipergunakan sumber lain yang dapat dipercaya, yaitu sebuah makam yang terindah dari peninggalan Samudra Pasai. Makam itu terbuat dari batu pualam kepunyaan seorang raja putri, menurut Snouck Hurgronje adalah Bahiyah namanya, namun menurut penelitian lain namanya Nahrasiyah. Nisannya bertulisan Arab dengan bahasa Arab, dalam bahasa Indonesia berbunyi:
Ini makam seorang wanita yang bercahaya dan suci, baginda yang terhormat, yang meninggal, yang diampunkan dosanya, raja di atas segala raja…dan yang menghidmatkan agama Islam ialah Nahrasiyah anak Sultan Al Sahid Zainul Abidin, anak Sultan Ahmad, anak Sultan Muhammad anak baginda Malikul Saleh. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan ampunan Tuhan dosanya, meninggal dengan rahmat Allah pada hari Senin, empat belas bulan Zulhijjah tahun 811 hijriah Nabi saw.
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam hal ini geneologi Sejarah Melayu yang lebih dapat diterima. Hal itu, karena ada pembuktian makam yang mendukung geneologi tersebut.
Penutup
Hikayat Raja-Raja Pasai tidak disusun dengan tujuan menyajikan rekaman sejarah dalam arti yang modern walaupun tokoh-tokoh yang ditampilkan, peristiwa-peristiwa yang dikisahkan, dan latar tempat yang digunakan pernah ada dan terjadi. Hikayat Raja-Raja Pasai tidak dapat berfungsi sebagai sumber informasi kesejarahan yang akurat, tetapi dapat menjelaskan pandangan orang-orang Pasai dan nilai-nilai yang berlaku pada masa itu.
Pengetahuan tentang situasi kesejarahan pada waktu penyusunan sebuah karya sastra sangat membantu dalam usaha memahami makna karya itu bagi penyusunan dan khalayak pendukungnya. Hikayat Raja-Raja Pasai digubah untuk menegakkan Kerajaan Pasai melalui penggambaran sifat-sifat terpuji Sultan Malik as Saleh. Selain itu, juga menggambarkan sifat-sifat jelek penguasa selanjutnya dan akibat dari perbuatan jeleknya itu. Hal itu, dimaksudkan untuk menjadi pelajaran bahwa setiap kezaliman itu akibatnya tidak baik.
Sumber: Artikel ini disalin dari blognya: Sudirman [http://dirmanmanggeng.blogspot.com/]. Sudirman atau Dirman Manggeng adalah Penulis & Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh, Wil. Kerja Prov. Aceh-Sumut. Disalin ulang semata-mata untuk tujuan mensosialisasikan, mengenalkan sejarah, budaya Aceh di mata dunia.
Hikayat Raja-Raja Pasai pertama kali diterbitkan oleh seorang Perancis bernama Ed. Dulaurier pada tahun 1849 M dalam Collection Principle Cronique Malayes. Ia menerbitkannya dalam huruf Arab berdasarkan manuskrip yang dibawa oleh Sir Thomas Stanford Raffles ke London yang sampai sekarang masih ada di sana dalam perpustakaan Royal Asiatic Society. Pada tahun 1914 M terbit versi yang dihuruflatinkan oleh J.P. Mead yang juga berasal dari manuskrip London tersebut di atas. Di samping itu, terdapat pula transkripsi Hikayat Raja-Raja Pasai beserta pembicaraannya dalam Journal of the Malayan Branch Royal Asiatic Society, 1960, yang dikerjakan oleh A.H. Hill. Menurt T. Iskandar, Hikayat Raja-Raja Pasai merupakan karya sejarah tertua dari zaman Islam.
Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat dua versi. Pertama ialah cerita Pasai yang terdapat dalah naskah Sejarah Melayu, yakni riwayat yang berakhir dengan mangkatnya Sultan Malik al Dzahir dan naiknya tahta kerajaan Sultan Ahmad. Kedua adalah versi Hikayat Raja-Raja Pasai yang diwakili oleh Raffles seperti tersebut di atas. R.O. Winstedt menyatakan bahwa bagian-bagian tertentu Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai mempunyai persamaan-persamaan, baik dalam pokok pembicaraan maupun susunan ayatnya. Ia mengatakan, penyusun Sejarah Melayu telah meniru, memparafrasakan dan menyalin Hikayat Raja-Raja Pasai. Winstedt berkesimpulan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai ialah teks yang tertua dari kedua karya itu (Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai). Namun, R. Roolvink menyatakan, tidak mudah untuk menentukan antara kedua teks itu dan mungkin sekali penyusun Sejarah Melayu telah menggunakan teks Hikayat Raja-Raja Pasai yang lain, sehingga terjadi perbedaan penting antara kedua teks itu dari segi nama dan detail-detail lainnya.
Menurut A. Teeuw bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai berdasarkan internal evidence tidak mungkin dikarang sebelum Sejarah Melayu, tetapi sebaliknya. Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis berdasarkan suatu versi asal Sejarah Melayu untuk kemegahan kerajaan Pasai dengan berbagai tambahan dan perubahan. Namun, Amin Sweeney menentang pendapat itu dan berdasarkan internal evidence pula menyatakan dengan sangat meyakinkan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang digunakan oleh pengarang bagian pertama Sejarah Melayu.
Ikhtisar
Isi naskah Hikayat Raja-Raja Pasai menyangkut sejarah negeri Pasai sekitar pertengahan abad ke-13, masa pengislaman Tanah Pasai hingga pertengahan abad ke-14, dan waktu penaklukan Pasai oleh Majapahit. Secara lebih rinci isi Hikayat Raja-Raja Pasai dapat dibagi menjadi enam bagian, meskipun dalam manuskrip tersebut tidak ada pembagian ini. Lima bagian pertama adalah cerita mengenai Samudra Pasai, sedangkan yang keenam sama sekali tidak menyinggunga Pasai, tetapi mengenai penaklukan Nusantara oleh Patih Gajah Mada atas perintah Sang Nata Majapahit. Dalam bagian terakhir itu juga dibicarakan penaklukan sebagian pulau Perca, yakni Minangkabau, yang tidak dilakukan dengan peperangan tetapi dengan adu kerbau. Tentara Jawa kalah dalam penaklukan itu. Naskah Hikayat Raja-Raja Pasai yang mula-mula besar kemungkinannya tidak mengandung bagian yang keenam itu. Apabila itu benar, maka bagian yang keenam itu adalah tambahan yang kemudian, mungkin ditulis oleh pengarang lain dan ditambahkannya kepada naskah Hikayat Raja-Raja Pasai.
Hikayat Raja-Raja Pasai dimulai dengan dua kisah bersaudara Raja Muhammad dan Raja Ahmad yang sedang membangun sebuah negeri di Samalanga. Ketika menebas hutan, Raja Muhammad menemukan seorang anak perempuan muncul dari pokok bambu. Anak itu diberi nama Puteri Betung. Raja Ahmad mendapat seorang anak laki-laki yang dibawa oleh seekor gajah, anak itu diberi nama Meurah Gajah. Setelah dewasa keduanya dinikahkan, dan pasangan ini mempunyai dua orang putra, yaitu Meurah Silu dan Meurah Hasum. Pada suatu hari Meurah Gajah melihat sehelai rambut Putri Beutung berwarna emas. Dia minta agar rambut itu dicabut. Istrinya menolak dan mengingatkan, apabila rambut itu dicabut akan terjadi perceraian di antara mereka. Namun, Meurah Gajah memaksa mencabutnya, sehingga keluar darah putih dari kepala Putri Betung dan matilah ia. Karena peristiwa itu, terjadilah peperangan antara Raja Muhammad dan Raja Ahmad. Banyak prajurit dari kedua belah pihak tewas, dan akhirnya kedua raja itu pun menemukan ajalnya dalam peperangan itu.
Setelah perang selesai, Meurah Silu dan Meurah Hasum sepakat meninggalkan Samalanga untuk membuka negeri lain. Mereka berjalan sampai ke Beurana (Bireuen). Di hulu sungai, Meurah Silu menemukan cacing gelang-gelang yang kemudian berubah menjadi emas dan perak. Dengan emas itu ia mengupah orang menangkap kerbau liar untuk dijinakkan. Pekerjaan itu tidak disukai oleh Meurah Hasum. Diusirlah Meurah Silu. Setelah berjalan jauh, Meurah Silu tiba di Bukit Talang, ibu kota sebuah kerajaan yang diperintah oleh Meugat Iskandar.
Di ibu kota itu Meurah Silu diperkenankan tinggal. Ia memperkenalkan adu ayam jago. Atraksi itu menarik perhatian banyak orang dari negeri lain hingga mereka berdatangan ke Bukit Talang.
Meugat Iskandar sangat menyukai Meurah Silu. Dia bermusyawarah dengan orang-orang besar dan sepakat menobatkan Meurah Silu menjadi raja mereka. Saudara Meugat Iskandar, Malik al Nasr, tidak setuju. Terjadi peperangan di antara keduanya. Malik al Nasr kalah.
Tidak lama kemudian, Meurah Silu membuka negeri di atas tanah tinggi, diberi nama Samudra, mengikut nama semut besar yang dijumpainya di situ. Dikisahkan pula bahwa menjelang wafat, Nabi Muhammad mewartakan kepada para sahabatnya bahwa di benua bawah angin kelak akan muncul sebuah negeri bernama Samudra.
Ketika Samudra telah berdiri, segera berita itu terdengar ke Mekah. Syarif Mekah memerintah Syekh Ismail, seorang ulama dan sufi terkemuka, agar berlayar ke Samudra bersama 70 pengikutnya untuk mengislamkan raja Samudra. Dalam pelayaran ke Samudra mereka singgah di Mangiri, yang sultannya keturunan Abubakar Siddiq, sedangkan Abu Bakar telah turun tahta menjadi sufi. Abu Bakar Siddiq lalu ikut berlayar ke Samudra bersama Syekh Ismail.
Sebelum kapal Syehk Ismail berlabuh di Samudra, Meurah Silu bermimpi berjumpa Nabi Muhammad dan mengajarinya mengucapkan syahadat dan tata cara salat. Setelah diislamkan, Meurah Silu diberi gelar Sultan Malik al Saleh, mirip dengan nama Sultan Saljug yang masyhur merebut Anatolia, Turki, dari kaisar Byzantium pada abad ke-12 M, yaitu Malik Syah. Setelah itu seluruh rakyat Samudra berbondong-bondong memeluk agama Islam. Setelah itu Malik al Saleh membuka negeri baru, sebuah kota yang strategis, sebagai pelabuhan dagang di Selat Malaka, diberi nama Pasai mengikuti nama anjing kesayangannya yang berhasil menangkap seekor pelanduk ketika negeri baru itu mulai dibuka.
Tidak lama setelah itu, Malik al Saleh mengawini putri sultan Peurlak bernama Putri Ganggang. Dari perkawinan itu lahir seorang laki-laki, Malik al Zahir. Sultan Malik al Saleh wafat pada 1297 M. Pada batu nisan makamnya dipahatkan syair yang indah dalam bahasa Arab karangan Ali bin Abi Thalib.
Tampuk pemerintahan berpindah ke Malik al Zahir. Pada masa pemerintahan Malik al Zahir inilah Ibn Batutah, musafir Arab dari Tangier dua kali mngunjungi Pasai dalam lawatannya menuju Cina, 1316 M. Selain mencatat raja di kerajaan yang disinggahi itu alim dan bijaksana, ia pun menulis bahwa pendidikan Islam sangat maju dan banyak sekali ulama bermazhab Syafi’i dari negeri Arab serta cendekiawan Persia berdatangan dan tinggal lama untuk mengajar di negeri tersebut.
Malik al Zahir digantikan kedua putranya: Malik al Mahmud yang memarintah Samudra, dan Malik al Mansur yang memerintah Pasai. Di bawah pemerintahan mereka, Pasai bertambah makmur dan maju. Raja Siam yang mendengar berita itu merasa iri dan marah. Lantas ia membawa tentara lautnya menyerbu Pasai. Karena ketangguhan angkatan laut Pasai, tentara Siam dikalahkan dan dihalau dari perairan Selat Malaka tanpa pernah kembali lagi untuk menyerang Pasai.
Setelah penyerangan Siam itu terjadilah serangkaian peristiwa yang mencoreng nama baik kerajaan tersebut dan menyebabkan kejatuhannya. Hal itu bersumber dari ulah penguasa Samudra Pasai sendiri.
Pada suatu hari, adik Sultan Malik al Mansur bertamasya dan melalui depan istana abangnya. Ketika itu Sultan Malik al Mahmud sedang berpergian ke pantai. Sebenarnya, mentrinya telah berupaya mencegah Sultan Malik al Mahmud agar tidak ke pantai, karena mentri itu tahu bahwa adik sultan akan melalui depan istana dalam perjalanan tamasyanya. Mentri itu memperoleh firasat akan terjadi peristiwa yang bisa mendatangkan fitnah.
Ketika Sultan Malik al Mansur melewati jalan di depan istana abangnya, seorang perempuan cantik mucul dari istana. Malik al Mansur terpikat pada wanita itu dan sangat birahi. Lantas dengan paksa perempuan itu dibawanya pulang ke istananya. Mendengar berita itu Malik al Mahmud murka dan mencari jalan bagaimana bisa membalas dendam. Suatu hari ia undang sang adik mengahdiri sebuah pesta. Dalam pesta itu Malik al Mansur dibekuk, dan dipenjarakan ke tempat terpencil. Mentri yang mendampingi Malik al Mansur dipenggal kepalanya.
Tidak berapa lama, sultan Malik al Mahmud pun sadar bahwa perbuatannya keliru. Dia lantas menyuruh Tun Perpatih Tulus Agung menjemput Malik al Mansur pulang. Di tengah perjalanan, setelah berziarah ke makam mentrinya yang dihukum mati oleh kakaknya, Malik al Mansur jatuh sakit dan menghembuskan nafas penghabisan di situ juga.
Setelah Sultan Malik al Mahmud wafat, tahta kerajaan jatuh ke tangan putranya, Sultan Ahmad Permadala Permala. Sultan ini sangat menyukai perempuan dan mengawini wanita kapan saja di mau. Dia dikarunia 30 anak. Lima di antaranya seibu dan sebapa, yaitu Tun Berahim Bapa, Tun Abdul Jalil, Tun Abdul Fadhil, Tun Medan Peria, dan Tun Takiah Dara. Tun Berahim Bapa terkenal karena keperwiraannya dan ketangkasannya di medan perang. Tun Abdul Fadhil sangat alim dan gemar mempelajari ilmu agama. Tun Abdul Jalil seperti ayahnya. Dua adik mereka, Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara, sangat cantik. Sultan Ahmad sangat birahi kepada dua putrinya itu dan memberi tahukan niatnya akan mengawini dua putri kandungnya tersebut.
Tun Berahim Bapa mendengar berita itu. Segera ia bawa lari kedua adiknya ke Tukas. Sultan Ahmad murka. Berbagai cara dilakukan sultan untuk membunuh putra sulungnya itu, namun selalu gagal. Sultan bertambah murka setelah mengetahui bahwa putranya itu berseda gurau dengan seorang dayang cantik bernama Fatimah Lampau. Pada suatu kesempatan Sultan Ahmad mengajak Tun Berahim Bapa bertamasya dan memberi makanan yang beracun. Karena tidak mau durhaka kepada ayahnya, Tun Berahim Bapa memakan juga makanan itu walaupun tahu dua adik perempuannya yang dia bawa lari mati karena makan racun. Dia pun mati, jenazahnya dimakamkan di Bukit Fadhillah.
Kezaliman Sultan Ahmad tidak berkurang karenanya, dia nekat membunuh Tun Abdul Jalil hanya karena putranya ini dicintai oleh Putri Gemerancang, anak Ratu Majapahit. Ketika Putri Gemerancang tiba di Pasai dan mendengar kematian kekasihnya, dia pun berdoa supaya mati dengan cepat dan kapalnya tenggelam. Terjadilah yang diharapkan itu. Ini menyebabkan raja Majapahit menyerang Pasai. Karena panglima perangnya yang handal, Tun Berahim Bapa, telah tiada, Pasai pun kalah. Dengan penuh penyesalan Sultan Ahmad melarikan diri ke Menduga.
Setelah itu cerita adu kerbau Jawa dan Minangkabau, dan kerbau raja Majapahit kalah melawan kerbau Patih Ketamanggungan dari Minangkabau, uraian diakhiri dengan daftar negeri-negeri Melayu yang ditaklukan oleh Majapahit.
Perkiraan Waktu
Pada umumnya naskah lama tulisan tangan yang sampai kepada kita bukanlah naskah induk, melainkan naskah salinan. Naskah-naskah itu lazim tidak mencantumkan, baik nama pengarang aslinya maupun tahun penyusunannya. Untuk memperkirakan masa penyusunan sebuah naskah, peneliti naskah lama pada umumnya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Cap kertas,
Pada kertas yang digunakan penulis atau penyalin naskah sering terdapat semacam gambaran yang membayang, yang disebut cap kertas. Misalnya, kertas berukuran folio yang capnya menggambarkan seekor singa yang beridiri di atas sebuah kotak yang bertulisan VRYHEID, menurut Churchill bahwa kertas yang seperti itu dibuat pada tahun 1785 M. Perkiraan seperti itu dapat dilakukan terhadap naskah yang menggunakan kertas. Naskah-naskah lontar atau yang menggunakan alas tulis yang lain tidak dapat diperlakukan demikian. Lagi pula, yang dapat diperkirakan hanya batas awal penulisan, bukan titik waktu yang tertentu.
2. Peristiwa sejarah
Sering terjadi bahwa seorang tokoh sejarah atau sebuah peristiwa sejarah disebut-sebut dalam suatu naskah. Dengan demikian, penyebutan waktu hadirnya tokoh itu atau terjadinya peristiwanya tidak sesuai benar dengan rekaman sejarah yang objektif, tetapi tokoh atau peristiwa itu baru dapat disebut-sebut setelah ada atau terjadi. Itu berarti bahwa naskah tersebut pasti disusun setelah tokoh atau peristiwa itu muncul dalam sejarah, tidak mungkin sebelumnya, sehingga ada batas awal.
3. Ejaan
Ejaan juga dapat digunakan sebagai batasan penentu masa penyusunan atau penyalinan sebuah naskah. Naskah-naskah berbahasa Melayu dengan bertulisan Jawi dari kurun waktu tertentu, misalnya, mencantumkan tasydid di atas huruf yang mengikuti suku kata berbunyi e pepet, misalnya, berrindu. Piniadaan konsonan dasar menghasilkan bentuk-bentuk, seperti menengar, juga merupakan gejala ejaan yang menandai kurun waktu tertentu.
4. Pada bagian naskah salinanan ada penambahan kolofon yang memuat nama penyalin dan tempat serta tanggal penyalinan diselesaikan. Apabila dalam kolofon tanggal itu ditulis secara lengkap sampai dengan angka tahunnya, lazimnya digunakan tarikh Hijriah.
Pada sebagian naskah memang ada dicantumkan tanggal yang lengkap, para pembaca tidak segera terbayang masanya karena dewasa ini orang tidak lagi terbiasa menggunakan tarikh Hijriah dalam perhitungan waktu. Oleh karena itu, angka tahun Hijriah oleh para peneliti naskah lama dikonversikan menjadi angka tahun Masehi. Namun, ada juga yang sekaligus mencantumkan tanggal menurut perhitungan tarikh Hijriah dan Masehi.
Kapan Hiakayat Raja-Raja Pasai itu ditulis ? Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan sejak awalnya kerajaan Samudra Pasai dengan rajanya Malikul Saleh, dan hingga berakhirnya kerajaan Pasai di bawah pemerintahan Raja Ahmad yang porak-poranda diserang oleh laskar Majapahit. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang pertama dikarang, sekurang-kurangnya segera setelah Pasai ditaklukan oleh Majapahit, karena hikayat ini tidak lagi menceritakan tentang Raja-Raja Pasai setelah kalah diserang oleh Majapahit. Kapan Majapahit menaklukan Pasai ? Hikayat Raja-Raja Pasai sama sekali tidak menyebutkan angka tahun, kecuali cerita penyerangan Majapahit ke Pasai. Pada akhirnya naskah terdapat kalimat sebagai berikut: bahwa ini negeri yang takluk kepada Ratu Majapahit pada zaman pecahnya negeri Pasai, ratunya bernama Ahmad”.
Dalam kitab Negarakertagama gubahan Prapanca tahun 1365, Samudra termasuk daerah-daerah yang ditaklukan oleh Majapahit. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penaklukan Pasai oleh Majapahit terjadi sebelum tahun 1365. Namun, G.E. Marrison berpendapat bahwa invansi Majapahit ke Pasai terjadi pada tahun 1377, lebih lambat dari waktu ditulisnya kitab Negarakertagama. Seandainya pendapat Marrison benar, tentu nama-nama Samudra tidak terdapat dalam daftar nama-nama negeri yang takluk kepada Majapahit di dalam Negarakertagama tahun 1365. Namun, Sir Richard mengatakan bahwa sangat mungkin Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis pada abad ke-15, antara tahun 1350 dan 1500.
Manuskrip Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat di London, satu-satunya manuskrip yang ada, yaitu berupa salinan dari satu naskah kepunyaan Kiai Suradimenggala, Bupati Sepuh di Demak, salinan itu selesai dikerjakan pada 21 Muharram 1230 H atau 1825 M. Sir Ricard berpendapat bahwa tahun Hijriah yang tertera di sana adalah tahun 1230 H, sehingga menurutnya salinan itu selesai pada tahun 1814 M. Dr. Roolvink membacanya 1235 H dan kemungkinan ini yang lebih tepat, dan tanggal itu sesuai dengan hari Selasa, 9 November 1819. Timbulnya perbedaan tersebut, karena anggka yang terakhir yang tertulis dengan huruf Arab dalam salinan itu dapat diragukan, mungkin dapat dibaca 0 dan mungkin juga 5, hingga menyebabkan timbulnya bacaan yang berbeda.
Kepengarangan
Konsep pengarang dalam sastra lama tidak dapat dipersamakan dengan konsep pengarang dalam sastra modern. Pangarang karya sastra modern jelas orangnya: nama tercantum pada halaman kulit, dan dialah yang memegang hak cipta atas karangannya itu. Tanpa pengetahuan dan izinnya karyanya tidak boleh dikutip dan diperbanyak, apalagi diubah-ubah, walaupun itu semua dilakukan orang dengan maksud mempopulerkannya dan menyempurnakannya. Sebaliknya, pengarang karya sastra lama hanya sedikit yang dikenal.
Pengarang karya sastra lama tidak biasa mencantumkan namanya jelas-jelas pada halaman kulit, pada awal atau akhir kisahnya. Karena yang penting karangan itu sendiri, bukan siapa pengarangnya. Lagi pula, karya itu bukan milik individu pengarangnya, melainkan milik bersama. Individualisme kepengarangan baru dikenal setelah kedatangan orang Barat.
Orang yang bertembungan dengan sebuah karya sastra berhak dan cenderung mengubahnya, mengurangi bagian-bagian tertentu atau menambah episode-episode yang dianggapnya akan menambah kesempurnaan karya tersebut, termasuk mengubah gaya bahasa penyajiannya. Oleh karena itu, yang berlaku sebagai pengarang bukan hanya pengarang aslinya, yang sudah jarang diketahui orang, melainkan juga orang yang membawakannya (tukang cerita) dan para penyalinnya. Meskipun tidak sebagai penggubah langsung, dalam hal ini tidak boleh dilupakan peran khalayak pendengar atau pembaca. Pengubahan karangan tidak jarang disesuaikan dengan selera khalayak pendengan atau pembacanya, baik yang mengenai bentuknya maupun tentang isinya. Demikian pula panjang pendeknya karangan serta urutan peristiwa dalamnya sering ditentukan dengan memperhatikan keinginan pendengar atau pembaca.
Pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai belum dikenal. Dalam hal ini berkata C. Hooykaas: “Amatlah sayang, bahwa hampir semuanya naskah-naskah Melayu itu dalam masa bertahun-tahun amat banyak berubah, dan bahwa kita sedikit sekali tahu tentang nama, kedudukan dan zaman pengarangnya….” Akan tetapi, meskipun nama pengarangnya tidak diketahui, sekurang-kurangnya dengan meneliti isi naskah-naskah tersebut dapat juga diketahui fungsi, tugas, dan zaman pengarang yang dipancarkan oleh pola kebudayaan zaman itu. Oleh karena itu, mengapa Hikayat Raja-Raja Pasai itu dikarang perlu ditinjau latar belakang tempat Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis. Apabila diikuti uraian pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai dapat disimpulkan bahwa pengarangnya adalah termasuk orang dalam kalangan istana Samudra Pasai yang bertugas menyusun kronika dan daftar silsilah mengenai kerajaan itu. Pada saat itu tujuan pengarang adalah memancarkan cahaya yang diinginkan keluarga raja. Dengan uraian penulis yang memberikan tempat sakral kepada Sultan Malik al Saleh, pendiri Kerajaan Samudra Pasai, tampak ada kultus raja di samping usaha pengarang melukiskan kebesaran negerinya sebagai negeri pilihan Tuhan.
Pengaruh kebudayaan Islam sangat kentara, tidak saja karena naskah itu banyak mengandung kata-kata Arab, tetapi isinya bertujuan menyebarkan dan memperteguh kepercayaan agama Islam dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya, apabila diperhatikan nasihat yang panjang lebar dari Sultan Malik as Saleh dan Sultan Malik al Mahmud sebelum kedua baginda mangkat, sangat mungkin pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai bermaksud hendak memberikan sifat pragmatis dari hikayat itu supaya dapat menjadi tauladan bagi raja-raja yang berikutnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa Sultan Malik al Mahmud pada suatu hari sadar bahwa ia telah mengirimkan ke pembuangan saudaranya Sultan Malik al Mansur, ia berkata:
“Wah terlalu ahmak bagiku karena perempuan seorang saudaraku kuturunkan dari atas kerajaannya dan mentrinya pun kubunuh”, maka baginda menyesallah lalu ia menangis maka baginda pun bertitah pada seluruh ulubalangnya: “pergilah kamu segera mengambil saudaranya itu karena aku terlalu sekali rindu dendam akan saudaraku”.
Karya Sastra dalam Pandangan Ilmu Sejarah
Dalam kesusastraan Indonesia Lama terdapat sejumlah naskah yang oleh Winstedt dikategorikan ke dalam Malay Histories, misalnya, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Silsilah Melayu, dan Bugis. Istilah Malay Histories masih dipermasalahkan, terutama oleh kalangan sejarawan, walaupun karya-karya sastra tersebut menampilkan tokoh-tokoh yang namanya sangat dikenal dalam sejarah. Namun, belum memenuhi persyaratan untuk menjadi karya sejarah, seperti ketepatan waktu, kronologis, dan kebenaran faktual tidak diperhatikan. Dalam karya sastra tersebut banyak sisipan mitos, dongeng, legenda, menyebabkan sejarawan menghadapi kesulitan untuk menemukan fakta kesejarahannya, sehingga tidak dapat sepenuhnya dijadikan sebagai sumber sejarah.
Karya-karya kesusastraan tersebut memang tidak sepenuhnya dimaksudkan sebagai rekaman sejarah untuk dijadikan acuan penyusunan sejarah yang kritis. Karya-karya tersebut lebih tepat disebut sebagai karya sastra sejarah atau karya sastra yang bertema sejarah. Ada beragam prosa dengan judul yang memuat kata sejarah: Sejarah Melayu, Sejarah Raja-Raja Riau; kata hikayat seperti pada Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Banjar, Hikayat Aceh, dan Hikayat Maulana Hasanuddin; kata silsilah seperti pada Silsilah Melayu dan Bugis. Ada pula yang beragam puisi, yaitu syair, seperti Syair Singapura Dimakan Api dan Syair Himop. Dari judulnya dapat diperkirakan bahwa isinya berkaitan dengan suatu kurun waktu tertentu, peristiwa tertentu, atau tokoh tertentu di dalam sejarah. Adapun tujuan penyusunannya pada umumnya seperti yang konon dititahkan oleh Sultan Abdullah Ma’ayah Syah kepada Bendahara Paduka Raja,
Bahwa beta minta perbuatan hikayat pada Bendahara, peri peristiwa dan peraturan segala raja-raja Melayu dengan istiadatnya sekali, supaya diketahui oleh segala anak cucu kita yang kemudian daripada kita, diingatkannya oleh mereka itu, syahdan beroleh faidahlah ia daripadanya.
Fakta Historis dalam Hikayat Raja-Raja Pasai
Mengenai pernyataan yang dikemukakan oleh penulis Hikayat Raja-Raja Pasai tentang sejarah Samudra Pasai hingga penyerangan Majapahit, harus dibandingkan dengan beberapa pembuktian lain, yaitu dengan bekas-bekas peninggalan masa tersebut, sehingga dapat dipisahkan mana yang historis dan yang bukan historis. Motif-motif yang legendaris pada mulanya ada juga yang ada faktanya yang kongkrit. Misalnya, mythe asal mulanya Kerajaan Samudra Pasai dapat menceritakan kepada kita bahwa memang ada fakta-fakta yang kongkrit, mengenai didirikannya Samudra itu. Motif mythis-legendaries itu menjadi dongeng, karena pada waktu peristiwa itu terjadi belum terdapat kodifikasi sehingga semakin jauh dengan peristiwa terjadinya itu semakin timbullah segala macam dongeng yang semakin lama semakin dilebih-lebihkan oleh cerita turun-temurun, terutama untuk mendewa-dewakan raja pendiri kerajaan atau raja yang pertama sekali memeluk agama Islam itu. Keadaan itu, seperti disebutkan pada awal naskah:
Alkisah peri mengatakan cerita raja yang pertama masuk agama Islam ini Pasai, maka ada diceritakan oleh orang yang punya cerita ini negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang pertama membawa iman akan Allah dan akan Rasul Allah.
Sebagai contoh, dalam Sejarah Melayu sama sekali tidak disebutkan Malikul Mahmud yang oleh Hikayat Raja-Raja Pasai disebutkan sebagai anak Malikul Zahir dan cucu Malikul Saleh. Ayah Sultan Ahmad menurut Hikayat Raja-Raja Pasai adalah Malikul Mahmud, sedangkan menurut Sejarah Melayu adalah Malikul Zahir.
Untuk menilai mana antara kedua sumber itu yang mendekati kebenaran, dapat dipergunakan sumber lain yang dapat dipercaya, yaitu sebuah makam yang terindah dari peninggalan Samudra Pasai. Makam itu terbuat dari batu pualam kepunyaan seorang raja putri, menurut Snouck Hurgronje adalah Bahiyah namanya, namun menurut penelitian lain namanya Nahrasiyah. Nisannya bertulisan Arab dengan bahasa Arab, dalam bahasa Indonesia berbunyi:
Ini makam seorang wanita yang bercahaya dan suci, baginda yang terhormat, yang meninggal, yang diampunkan dosanya, raja di atas segala raja…dan yang menghidmatkan agama Islam ialah Nahrasiyah anak Sultan Al Sahid Zainul Abidin, anak Sultan Ahmad, anak Sultan Muhammad anak baginda Malikul Saleh. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan ampunan Tuhan dosanya, meninggal dengan rahmat Allah pada hari Senin, empat belas bulan Zulhijjah tahun 811 hijriah Nabi saw.
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam hal ini geneologi Sejarah Melayu yang lebih dapat diterima. Hal itu, karena ada pembuktian makam yang mendukung geneologi tersebut.
Penutup
Hikayat Raja-Raja Pasai tidak disusun dengan tujuan menyajikan rekaman sejarah dalam arti yang modern walaupun tokoh-tokoh yang ditampilkan, peristiwa-peristiwa yang dikisahkan, dan latar tempat yang digunakan pernah ada dan terjadi. Hikayat Raja-Raja Pasai tidak dapat berfungsi sebagai sumber informasi kesejarahan yang akurat, tetapi dapat menjelaskan pandangan orang-orang Pasai dan nilai-nilai yang berlaku pada masa itu.
Pengetahuan tentang situasi kesejarahan pada waktu penyusunan sebuah karya sastra sangat membantu dalam usaha memahami makna karya itu bagi penyusunan dan khalayak pendukungnya. Hikayat Raja-Raja Pasai digubah untuk menegakkan Kerajaan Pasai melalui penggambaran sifat-sifat terpuji Sultan Malik as Saleh. Selain itu, juga menggambarkan sifat-sifat jelek penguasa selanjutnya dan akibat dari perbuatan jeleknya itu. Hal itu, dimaksudkan untuk menjadi pelajaran bahwa setiap kezaliman itu akibatnya tidak baik.
Sumber: Artikel ini disalin dari blognya: Sudirman [http://dirmanmanggeng.blogspot.com/]. Sudirman atau Dirman Manggeng adalah Penulis & Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh, Wil. Kerja Prov. Aceh-Sumut. Disalin ulang semata-mata untuk tujuan mensosialisasikan, mengenalkan sejarah, budaya Aceh di mata dunia.
Ceurita (Cerita)
SI TOENTONG GAPU
Tipu muslihat, kapanpun dan dimana pun selalu mebawa petaka bagi pelakunya.
Sesuatu yang didapatkan melalui ketidakbenaran, apalagisampai merugikan orang lain
pasti hanya akan membawa bencana. Berikut ini adalah satu dari sekian banyak
cerita yang menyodorkan hikmah dibalik keburukan dan kesabaran serta interpretasi
akan ganjarannya.
Meunurot haba jameun, dile udep saboh keuluarga. Lam nyan na sidroe ayah geuhoi Sarong, na sidroe poma ngon limong droe aneuk, dua droe inong, lhee droe agam. Nyang tuha geuboh nan Mariam, nyang keudua nan jih Si Rajali, keulhee Si Baka, keupeut Si Salam, nyang tulot geubri nan Si Safa. Keu udep Siuroe-uroe gobnyan meulampoh bak bineh rumoh, salangkan eungkot geukawee bak krueng to rumohnyan teuma.
Si Mariam leupah brok rupa. Idong jih lagee peuleupeuek u, bibi jih teubai, kulet jih itam lagee punggong kanot, peurangeu jih pih saban brok ngon rupa. Sapeue han ditem, bah that ka geuyue lee ma jih pih han dileungoe. Sabab nyan jih digala “Si Toentong Gapu.”
Ayah ngon poma sep weueh hatee bak geupikee si Mariam, seula-en rupa ngon akai brok, jih pih kuat that seumajoh, kayem that jipeuabeh teumon bu adoe-adoe jih. Ateuh hai nyan, jih han dithee droe bak keulakuan jahe. Peulom adak jikheun keu droe jih, sang hana laen leubeh tari di bak droe jih lam donyanyoe. Lam haba jih, sang singoh na sidroe Raja neuteuka keunan, neutueng jih, geuba u meuligoe keujeut peurumoh Raja. Hana buet laen nibak meucet langet saban uroe. Rayeuk that lumpoe juet keu putroe.
Meupaloe, buet Si Toetong Gapu maken peususah ureung chik. Na padup thon lheueh nyan, teudeungo haba na sidroe Raja muda seudang neuteuka u gampong nyan. Teudeungoe keuh bak Si Toetong Gapu habanyan buno, kon wayang seunang hatee jih, “nyoe beutoi lagee lon pinta, Raja nyan teuka keumeung jak tueng lon jak u meuligoe neuk dipeusunteng jeut keu putroe,” nyan keu haba jih bak ureueng gampong.
Rombongan Raja pih jiteuka. Ubee gampong ka geupeungui panji keu geusambot Raja baro nyan. Raja troh ngon ulee balang, meuntroe, ngon dayang-dayang meuligoe. Raja geusambot lee keuchik, peutua adat ngon awak gampong seureuta. Tiba-tiba, Si Toetong Gapu maju u keu Raja “Ampon Tuanku, hana salah lhee, lon keuh putroe nyang Raja mita nyan” peugah jih.
Raja muda hireuen, hana meuphom peu meukeusud Si Toetong Gapu. Sabab Raja kon mita putroe, gobnyan ka meutunangan ngon Putroe Canden di Kuala. “Soe inong nyoe?” tanyong Raja.
“Ampon Tuanku, nyan inong pungoe, harap Tuanku bek teusinggong” jaweub Peutua Adat.
“Peu mantong na ureng chik jih?” tanyong Raja lom.
“Mantong Tuanku,” seuot Keuchik teuma.
“Ci neuhoi keuno,” pinta Raja
Kon wayang susah Apa Sarong dek peurangaianeuk jih. Dikeu Raja jipeutoh peurangai brok Si Toetong Gapu lagee sebenajih. Gobnyan lakee supaya Si Toetong Gapu geuba u istana geupeujeuet keu pembantu di Meuligoe. Bak akhee, Si Toetong Gapu geuba u meuligoe ateuh pertimbangan mentroe.
Di Meuligoe, bak si uroe, Si Toetong Gapu geucrong ie bak mon untok geupasoe ie lam mundam bak bineh reunyuen. Jikalon bayangan sidroe putroe leupah ceudah, jipikee nyan droe jih. “Bethoi that ceudah rupa lon, sunggoh hana adee Raja geupeugot lon lageenyoe hi,” peugah Si Toetong Gapu lam hatee.
Tima diseumpom beukah dua, ngon bagah jijak ubak Raja. “Pat cit ie hai Toetong Gapu?” tanyong Raja.
“Peu neupikee get that hi sidroe putroe angkot2 ie?” tanyong Si Toetong Gapu ngon beungeh, “tima ka lon peubeukah.”
Raja meupikee siat leuhnyan geu seuot, “beta nyang salah, tapi putroe han salah angkot ie, enteuk meunyoe guci ka peunoh, neu ek keuno u meuligoe.” Si Toetong Gapu dijok lom tima kulet.
Watee Si Toetong Gapu geucrong ie, leumah lom bayangan putroe meungui subang, paon ngon gleueng gaki, tapi mantong cit geupikee nyan bayangan droe jih. Jiseumpom lom tima nyan. Tapi han ditem beukah. Dihoi lee Si Toetong Gapu asee istana geuyue priek tima hana cit ditem beukah, Si Toetong Gapu meuhila-hila ngon asee buno.
Teukhem Putroe Canden kalon peurangoe Si Toetong Gapu dari ateuh bak geulima bak bineh mon nyang bayangan jih leumah lee Si Toetong Gapu buno. Baroe jih sadar peu yang teujadi buno. Tapi niet brok pih teuka teuma. Jih kueneuk tipee putroe Canden.
Ngon narit mameh Si Toetong Gapu lakee putroe nyan tron, “ so nan tuan putroe nyang ceudah rupa nyoe, keuno neutron, bek duek bak bineh cabeueng, adak roet soe peu-ubat.”
“Nan hamba Putroe Canden, han hamba tron seugolom rombongan troh u meuligo Raja Sedang.”
Si Toetong Gapu hana putoh asa, dirayu jih putreo troh item tron. Watee ka troh u baroh, Si Toetong Gapu geupeuleueh bajee putroe dituka ngon pakaian jih. Laju dipeu’ek u Meuligoe.
Singkat ceuritra, Si Toetong Gapu meunikah ngon Raja. Han jiteupeu nyan Si Toetong Gapu.
Watee mak meugang troh, Raja geublo sie, llheue that. Jimeuheuet that pajoh masakan putroe. Bandum sie diantat bak Si Toetong Gapu. Sabab jih han jeuet peulaku, nyang tuleueng jireuboh, nyang asoe nyan keuh jiboh u likot meuligoe. Watee pajoh bu, teuntee raja bingong, hireuen pakon nyang na bak meja cit tuleueng sagai. Han jitanyong jiet bek weueh hatee putroe.
Lheueh nyan raja meukeulileng, teucom bhee gule mangat that bak saboh jambo. Oh troh u likot meuligoe teucom bee gule mangat that lam jambo bak bineh nyan. Han teutee Raja laju tamong, lam jambo nyan geukalon na meumacam-macam gulee teuhidang. Habeh hireuen Raja Seudang.
“Jeuet lon cuba masakan gata?” kheuen Raja bak po jambo nyan.
“Silahkan, meunyoe Tuan meuheuet, sie lon teumee di likot meuligoe, putroe ka geuboh bunoe.
Meurasa that raja pajoh bu di sinan. Lheuehnyan buno, raja geutanyong bak po jambo “so seubeunajih droneuh nyoe, Toetong Gapu?”
“Lon tuan nyoe Putroe Canden, lon ka dipengeuet lee si Toetong Gapu”
Raja beungeh kon wayang lee, gobnyan leupah murka, hana laen watee lee Toetong Gapu geuseret u penjara. Toetong Gapu harus meutanggong jaweueb bak mandum nyang ka geupeuget keu Putroe Canden. Seudangkan Putroe Canden di ba tamong lam meuligoe, u teumpat nyang seubeuna.
Nyan keueh sipeuet ureueng nyang meucita-cita tapi hana sesuai ngon kada jih. Dipaksa droe jih hana meuceureuemen Bak dudoe doe keudroe cit nyang meunanggong akibat jih.
Jika menanam kebaikan
Maka akan menuai kebahagiaan
Jika menanam keburukan
Maka akan menuai petaka
Tipu muslihat, kapanpun dan dimana pun selalu mebawa petaka bagi pelakunya.
Sesuatu yang didapatkan melalui ketidakbenaran, apalagisampai merugikan orang lain
pasti hanya akan membawa bencana. Berikut ini adalah satu dari sekian banyak
cerita yang menyodorkan hikmah dibalik keburukan dan kesabaran serta interpretasi
akan ganjarannya.
Meunurot haba jameun, dile udep saboh keuluarga. Lam nyan na sidroe ayah geuhoi Sarong, na sidroe poma ngon limong droe aneuk, dua droe inong, lhee droe agam. Nyang tuha geuboh nan Mariam, nyang keudua nan jih Si Rajali, keulhee Si Baka, keupeut Si Salam, nyang tulot geubri nan Si Safa. Keu udep Siuroe-uroe gobnyan meulampoh bak bineh rumoh, salangkan eungkot geukawee bak krueng to rumohnyan teuma.
Si Mariam leupah brok rupa. Idong jih lagee peuleupeuek u, bibi jih teubai, kulet jih itam lagee punggong kanot, peurangeu jih pih saban brok ngon rupa. Sapeue han ditem, bah that ka geuyue lee ma jih pih han dileungoe. Sabab nyan jih digala “Si Toentong Gapu.”
Ayah ngon poma sep weueh hatee bak geupikee si Mariam, seula-en rupa ngon akai brok, jih pih kuat that seumajoh, kayem that jipeuabeh teumon bu adoe-adoe jih. Ateuh hai nyan, jih han dithee droe bak keulakuan jahe. Peulom adak jikheun keu droe jih, sang hana laen leubeh tari di bak droe jih lam donyanyoe. Lam haba jih, sang singoh na sidroe Raja neuteuka keunan, neutueng jih, geuba u meuligoe keujeut peurumoh Raja. Hana buet laen nibak meucet langet saban uroe. Rayeuk that lumpoe juet keu putroe.
Meupaloe, buet Si Toetong Gapu maken peususah ureung chik. Na padup thon lheueh nyan, teudeungo haba na sidroe Raja muda seudang neuteuka u gampong nyan. Teudeungoe keuh bak Si Toetong Gapu habanyan buno, kon wayang seunang hatee jih, “nyoe beutoi lagee lon pinta, Raja nyan teuka keumeung jak tueng lon jak u meuligoe neuk dipeusunteng jeut keu putroe,” nyan keu haba jih bak ureueng gampong.
Rombongan Raja pih jiteuka. Ubee gampong ka geupeungui panji keu geusambot Raja baro nyan. Raja troh ngon ulee balang, meuntroe, ngon dayang-dayang meuligoe. Raja geusambot lee keuchik, peutua adat ngon awak gampong seureuta. Tiba-tiba, Si Toetong Gapu maju u keu Raja “Ampon Tuanku, hana salah lhee, lon keuh putroe nyang Raja mita nyan” peugah jih.
Raja muda hireuen, hana meuphom peu meukeusud Si Toetong Gapu. Sabab Raja kon mita putroe, gobnyan ka meutunangan ngon Putroe Canden di Kuala. “Soe inong nyoe?” tanyong Raja.
“Ampon Tuanku, nyan inong pungoe, harap Tuanku bek teusinggong” jaweub Peutua Adat.
“Peu mantong na ureng chik jih?” tanyong Raja lom.
“Mantong Tuanku,” seuot Keuchik teuma.
“Ci neuhoi keuno,” pinta Raja
Kon wayang susah Apa Sarong dek peurangaianeuk jih. Dikeu Raja jipeutoh peurangai brok Si Toetong Gapu lagee sebenajih. Gobnyan lakee supaya Si Toetong Gapu geuba u istana geupeujeuet keu pembantu di Meuligoe. Bak akhee, Si Toetong Gapu geuba u meuligoe ateuh pertimbangan mentroe.
Di Meuligoe, bak si uroe, Si Toetong Gapu geucrong ie bak mon untok geupasoe ie lam mundam bak bineh reunyuen. Jikalon bayangan sidroe putroe leupah ceudah, jipikee nyan droe jih. “Bethoi that ceudah rupa lon, sunggoh hana adee Raja geupeugot lon lageenyoe hi,” peugah Si Toetong Gapu lam hatee.
Tima diseumpom beukah dua, ngon bagah jijak ubak Raja. “Pat cit ie hai Toetong Gapu?” tanyong Raja.
“Peu neupikee get that hi sidroe putroe angkot2 ie?” tanyong Si Toetong Gapu ngon beungeh, “tima ka lon peubeukah.”
Raja meupikee siat leuhnyan geu seuot, “beta nyang salah, tapi putroe han salah angkot ie, enteuk meunyoe guci ka peunoh, neu ek keuno u meuligoe.” Si Toetong Gapu dijok lom tima kulet.
Watee Si Toetong Gapu geucrong ie, leumah lom bayangan putroe meungui subang, paon ngon gleueng gaki, tapi mantong cit geupikee nyan bayangan droe jih. Jiseumpom lom tima nyan. Tapi han ditem beukah. Dihoi lee Si Toetong Gapu asee istana geuyue priek tima hana cit ditem beukah, Si Toetong Gapu meuhila-hila ngon asee buno.
Teukhem Putroe Canden kalon peurangoe Si Toetong Gapu dari ateuh bak geulima bak bineh mon nyang bayangan jih leumah lee Si Toetong Gapu buno. Baroe jih sadar peu yang teujadi buno. Tapi niet brok pih teuka teuma. Jih kueneuk tipee putroe Canden.
Ngon narit mameh Si Toetong Gapu lakee putroe nyan tron, “ so nan tuan putroe nyang ceudah rupa nyoe, keuno neutron, bek duek bak bineh cabeueng, adak roet soe peu-ubat.”
“Nan hamba Putroe Canden, han hamba tron seugolom rombongan troh u meuligo Raja Sedang.”
Si Toetong Gapu hana putoh asa, dirayu jih putreo troh item tron. Watee ka troh u baroh, Si Toetong Gapu geupeuleueh bajee putroe dituka ngon pakaian jih. Laju dipeu’ek u Meuligoe.
Singkat ceuritra, Si Toetong Gapu meunikah ngon Raja. Han jiteupeu nyan Si Toetong Gapu.
Watee mak meugang troh, Raja geublo sie, llheue that. Jimeuheuet that pajoh masakan putroe. Bandum sie diantat bak Si Toetong Gapu. Sabab jih han jeuet peulaku, nyang tuleueng jireuboh, nyang asoe nyan keuh jiboh u likot meuligoe. Watee pajoh bu, teuntee raja bingong, hireuen pakon nyang na bak meja cit tuleueng sagai. Han jitanyong jiet bek weueh hatee putroe.
Lheueh nyan raja meukeulileng, teucom bhee gule mangat that bak saboh jambo. Oh troh u likot meuligoe teucom bee gule mangat that lam jambo bak bineh nyan. Han teutee Raja laju tamong, lam jambo nyan geukalon na meumacam-macam gulee teuhidang. Habeh hireuen Raja Seudang.
“Jeuet lon cuba masakan gata?” kheuen Raja bak po jambo nyan.
“Silahkan, meunyoe Tuan meuheuet, sie lon teumee di likot meuligoe, putroe ka geuboh bunoe.
Meurasa that raja pajoh bu di sinan. Lheuehnyan buno, raja geutanyong bak po jambo “so seubeunajih droneuh nyoe, Toetong Gapu?”
“Lon tuan nyoe Putroe Canden, lon ka dipengeuet lee si Toetong Gapu”
Raja beungeh kon wayang lee, gobnyan leupah murka, hana laen watee lee Toetong Gapu geuseret u penjara. Toetong Gapu harus meutanggong jaweueb bak mandum nyang ka geupeuget keu Putroe Canden. Seudangkan Putroe Canden di ba tamong lam meuligoe, u teumpat nyang seubeuna.
Nyan keueh sipeuet ureueng nyang meucita-cita tapi hana sesuai ngon kada jih. Dipaksa droe jih hana meuceureuemen Bak dudoe doe keudroe cit nyang meunanggong akibat jih.
Jika menanam kebaikan
Maka akan menuai kebahagiaan
Jika menanam keburukan
Maka akan menuai petaka
Langganan:
Postingan (Atom)