"WELCOME IN MY BLOG"

Selamat Datang di Blog Saya Semoga Pengunjungan Anda ke Blog Saya Bisa Memberikan Manfaat untuk Anda dan Terimakasih atas Kunjungannya

Jumat, 22 Juli 2011

Mistik Rante Bui dan Pawang Rimueng

Perang Aceh mewariskan banyak cerita heroisme dan mistik. Kisah penggunaan ajimat rante bui dan kecakapan pawang rimueng di belantara Aceh diantaranya.

Rantai Babi / Rante Bui

DALAM sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Ada kisah-kisah mistik. Salah satunya, ajimat rante bui yang dipakai oleh ulama-ulama pengerak perlawanan. Salah satu rante bui itu adalah milik Tgk Chik Di Tiro. Ajimat itu ditemukan Belanda ditubuh Tgk Di Cot Plieng. Sampai kini masih tersimpan di Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda dalam etnografia Aceh.

Setelah Snouckh Horgronje, mungkin Schimist lah orang Belanda yang sangat paham soal Aceh. Dengan pengetahuannya bahasa dan adat istiadat Aceh, ia menjadi perwira Belanda yang bisa bergaul secara bebas dengan masyarakat Aceh. Apalagi ditopang dengan pembawaannya yang tenang dan sikapnya yang terkendali.

Namun sebagai tentara Belanda, ia tetap tidak sepenuhnya diterima masyarakat Aceh. Apalagi dalam kecamuk perang. Dalam tahun 1906, Schmist bertugas sebagai seorang letnan di Jeuram dan Seunagan yang kacau balau. Di dua daerah itu, saban hari peristiwa jebakan dan sergapan dengan kelewang terjadi.

Tak mau kejadian itu terus menerus menimpa pasukannya, Schmist pun mencari seorang mata-mata handal. Baginya, tidaklah sulit mencari mata-mata itu. Yang sulit baginya adalah merahasiakan hubungannya dengan mata-mata tersebut. Apalagi, di daerah itu ia berhadapan dengan kelompok Teungku Puteh, yang juga punya banyak mata-mata handal untuk mengecoh dan menyusup ke bivak-bivak Belanda.

Maka “perang” antar spionase pun terjadi. Antara Schmist dan Teungku Puteh saling mengirim mata-mata ke lapangan. Sebagaimana Schmist mempunyai banyak mata-mata di sekitar Teungku Puteh, maka sebanyak itu pula ada mata-mata Teungku Puteh disekitar Schmist.

Terhadap peristiwa saling mengintai lawan tersebut, H C Zentgraaff dalam bukunya “Atjeh” mengungkapkan. “Ini adalah permainan licin melawan licin, yang setiap saat dapat menetas menjadi salah satu serangan kelewang yang amat terkenal dan sangat fanatik serta serba mendadak. Sehingga penduduk Seunagan terkenal sangat buruk pada pasukan kita (Belanda-red). Kita tidak pernah merasa yakin akan hari esok,” tulis mantan serdadu belanda yang dimasa pensiunnya beralih menjadi wartawan tersebut.

Selanjutnya, mantan redaktur Java Bode itu mengisahkan, diantara sekian banyak mata-mata Teungku Puteh, terdapat seorang pedagang yang membuka sebuah toko kecil di Keude (pasar-red) Seunagan. Zentgraaff menyebutnya seorang badut yang sangat lihai, yang sekali-kali juga datang kepada Schmist untuk sekedar ngomong-ngomong sebagai basa-basi. “Padahal ia ingin menggali informasi sekitar Schmist untuk kemudian disampaikannya pada Teungku Puteh,” jelas Zentgraaff.

Pada suatu hari, Schmidt menerima berita baik dari salah seorang mata-matanya. Ia segera menelaah informasi yang diberikan oleh mata-mata tersebut. Pada saat yang bersamaan, datang pula pedagang dari Keude Seunagan itu ke sana, yang tak lain merupakan mata-mata dari Teugku Puteh.

Keduanya pun dibawa masuk kedalam sebuah ruangan oleh Schmist. Si mata-mata tadi segera menceritakan informasi yang dibawanya. Sementara si pedang mendengarnya dengan seksama. Namun keberadaan mata-mata Teungku Puteh tersebut akhirnya diketahui Schmist, setelah ia membongkar rencana Schmist dan pasukannya yang akan menyeran gerilayawan Aceh. Esokya sipedagang itu pun disuruh tangkap.

Antara Schmist dan Teungku Puteh, selain juga sama-sama punya kekuatan mistik. Konon menurut Zentgraaff, Schmist merupakan putra Aceh yang sejak kecil diasuk dan disekolahkan oleh Belanda sampai ke Nezerland, sehingga anak Aceh tersebut menjadi orang Belanda tulen yang sangat mengerti tentang Aceh.

Soal kekuatan mistik yang dimiliki Schmist, Zentgraaff mengaku pernah mendengar hal itu dari Cut Fatimah, janda dari Teungku Keumangan, yang selama hayatnya memberikan perlawanan yang gigih terhadap pasukan-pasukan Belanda di Jeuram. “Ia telah bercerita pada saya, bahwa Schmist adalah salah seorang dari orang-orang yang tidak banyak jumlahnya. Ia memiliki rante bui, yang membuatnya menjadi kebal. Ia juga megetahui hal-hal yang mistik,” ungkap Zentgraaff.

Namun Zentgraaff tidak yakin Schmist memiliki rante bui tersebut. Menurutnya, yang memiliki benda yang bisa menjadi ajimat tersebut hanyalah Teungku Brahim di Njong, Teungki Chik Samalangan dan Teungku Cot Plieng. Mereka adalah pemimpin-pemimpin spiritual di Aceh (ulama) yang mengobarkan semangat jihat untuk melawan Belanda. “Teungku Cot Plieng merupakan yang paling utama diantara mereka itu. Komandan-komandan patroli kita (Belanda-red) yang paling ulung sekali pun, tak punya harapan menghadapi dia. Tak ada seorang Aceh pun yang berani memberitahukan dimana tempat persembunyian segerombolan dari ulama yang sangat keramat itu,” tulis Zentgraaff.

Pun demikian, pasukan Belanda terus memburunya, sampai kemudian pada Juni 1904, pasukan Belanda pimpinan Kapten Stoop berhasil menemukan jejaknya diantara dua aliran sungai Gle Keulabeu. Ia pun disergap, tapi Teungku Cot Plieng berhasil lolos dari “lubang jarum” dengan meninggalkan Al Qur’an dan jimat stempelnya.

Jimat stempel yang ditemukan dari Teungku Cot Plieng itu, disebut-sebut merupakan warisan dari Teungku Syeh Saman Di Tiro, yang dikenal dengan Teungku Chik Di Tiro. Karena tak lagi memiliki jimat stempel tersebut Teungku Cot Plieng pun akhirnya berhasil disergap oleh sebuah pasukan patroli pimpinan Letnan Terwogt. Dalam penyergapan tersebut, ulama karismatik itu pun tewas tertembak.

Mayatnya kemudian diusungkan ke salah satu bivak, untuk keperluan identifikasi. Belanda heran, karena mayat tersebut tidak membusuk. Untuk memastikan kalau itu adalah Teungku Cot Plieng, Belanda akhirnya memanggil Panglima Polem.

Sampai di sana, Panglima Polem memberi hormat pada mayat itu dengan melakukan sujud di tengah orang-orang Aceh yang terdiam karena rasa hormatnya. “Ketika kami berjumpa, Panglima Polem bilang hal itu merupakan rahasia tuhan,” jelas Zentrgaaff.

Panglima Polem pun kemudian melepaskan rante bui dari mayat Teungku Cot Plieng dan memberikannya kepada Van Daalen, seorang perwira Belanda. Tapi Van Daalen menolaknya, karena tak suka terhadap hal-hal yang berbau mistik.

Setelah operasi pembersihan besar-besar dilakukan pasukan Belanda di Pidie, ajimat itu kemudian dihadiahkan kepada Veltman perwira Belanda lainnya yang kerap dipanggil sebagai “Tuan Pedoman”. Ia tidak juga memakai ajimat itu. Ia lebih percaya kepada sebilah besi baja tajam dan sepucuk revolver, ketimbang ajimat tersebut.

Akhirnya rante bui itu dihadiahkan kepada Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda, yang hingga kini masih disimpan dalam etnografia Aceh. “Saya berhasil memperoleh sebuah gambar potretnya berkat bantuan seorang bekas opsir marsose kawakan bernama Lamster,” jelas Zentgraaff.

Pawang Rimueng

Cerita mistik lainnya adalah kemampuan orang Aceh manaklukkan harimau menyisakan rasa penasaran bagi penulis Belanda, H C Zentgraaff. Rasa penasaran itu semakin memuncak saja, ketika Putra Cut Mutia yang masih kanak-kanak, Teungku Raja Sabi, hidup dalam belantara bersama harimau, menghindar dari kejaran marsose.

Bagi masyarakat Aceh, harimau merupakan lambang kekuatan dan kelihaian. Pejuang-pejungan Aceh yang militan semasa perang melawan pemerintah kolonial Belanda, sebelum mempersiapkan diri untuk berperang, maka bila ada kesempatan akan memakan sepotong hati harimau.

Hal itu diyakini akan melahirkan sifat-sifat buas dan beringas dari harimau ke pejuang tersebut, yang dalam bahasa Aceh disebut dengen ceubeuh, yakni garang dan berani. Dalam perang dengan Belanda, harimau pulalah yang kerap menyelamatkan pejuang Aceh dari kejaran Belanda, dengan memberikan isyarat. Maka diantara gerombolan pejuang Aceh yang bergerilya di belantara, akan selalu ada satu dua orang pawang harimau (pawang rimueng-red).

Tentang hal ini diakui oleh penulis Belanda, H C Zentgraaff, yang juga mantan serdadu dalam perang Aceh. Menurutnya, sikap harimau yang selalu menghindar bila berjumpa dengan gerombolan manusia dalam belantara, dipandang oleh masyarakat Aceh sebagai kewaspadaan yang lihai dalam mengelak resiko.

Bagi masyarakat Aceh, keberadaan harimau punya arti khas tersediri. Malah kuburan-kuburan tokoh-tokoh yang diyakini keramat, dijaga oleh binatang buas tersebut atas kodrta dan kekuatan ghaib. “Di dekat kuburan Teungku Cot Bada di Geulumpang Payong, Pidie, dia (harimau-red) dapat dilihat sekali-kali oleh orang-orang yang percaya, pada saat menjelang senja atau setelah magrib,” tulis Zentgraaf dalam buku “Atjeh”.

Mneurut Zentgraaff, harimau hitam dan harimau putih bergantian menjaga kuburan tersebut, yang letaknya tidak jauh dari pertemuan Krueng Geumpang dan Krueng Tangse. Malah menurut Zentgraaff, orang tua khadam (penjaga) kuburan itu tidak pernah sekali pun diganggu oleh harimau-harimau itu.

Cerita tentang harimau lainnya, adalah kisah Teungku Raja Sabi, putra Cut Mutia yang sejak kecil sudah bergerilya di hutan karena diburu oleh Belanda, setelah Cut Mutia dan Pang Nanggroe yang mengasuhnya meninggal dalam sebuah pertemburan. Raja Sabi yang masih bocah menjadi simbol perjuangan rakyat Aceh di Keuretoe, Aceh Utara. Dalam masa kanak-kanak itu, Raja Sabi terus berpindah dari satu rimba ke rimba yang lain, bersama harimau dan Raja Tampeu, seorang yang sudah sangat akrab dengan binatang-binatang hutan.

Dalam bukunya, Zentgraaff juga mengisahkan tentang keganjilan-keganjilan yang dilakukan oleh Pawang Rimueng (Pawang harimau-red) di Aceh, yang sangat mengerti tentang kebiasaan, tingkah laku dan seluk beluk binatang buas tersebut. “Kalau saya ceritakan beberapa dari cerita-cerita orang-orang yang dapat dipercaya mengenai pekerjaan-pekerjaan pawang-pawang harimau, maka beberapa dari kita menggelengkan kepalanya. Kita bertanya sejenak, apakah yang diketahui oleh seorang penjinak binatang di dalam sebuah sirkus Barat, mengenai sifat-sifat, watak dan kebiasaan-kebiasaan dari hewan-hewan yang dipeliharanya sehingga merasa dapat sebanding dengan manusia-manusia seperti pawang-pawang Aceh ini, yang seluruh hidupnya, dimulai dengan ilmu yang dimusyawarahkan dan diturunkan secara rahasia oleh orang tua-tua, untuk mepelajari segala apa yang hidup dan mengembara dalam hutan rimba. Mereka jauh lebih mengenal kebiasaan-kebiasaan dan sifat dari harimau serta badak, dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam semua buku barat.” Tulis Zentgraaff.

Keberadaan pawang rimueng sangat dihargai dalam masyarakat. Bahkan bagi pawang harimau yang berhasil menghela harimua yang mengganggu ternak dan tanaman masyarakat, akan selalu mendapat sumbangan dari hasil ternak atau pertanian warga tersebut sebagai upah.

Di beberapa kampung di Aceh, dulu malah mempunyai aturan tersendiri tentang keberadaan pawang rimueng. Dari hasil menjaga dan menjinakkan binatang buas itu pula pawang rimueng dapat hidup layak. Diantara sekian banyak pawang rimueng di Aceh, dulu yang paling tersohor adalah pawang rimueng di Daya (Aceh Barad Daya-red). Sebuah daerah yang dikenal memiliki banyak harimau yang lebih buas dibandingkan daerah-daerah lain. “Mereka terkenal karena sangat culas dan buas, dan sekiranya orang hendak menunjukkan dengan jelas betapa takutnya mereka terhadap harimau Daya,” jelas Zentgraaff.

Zentgraaff mengaku penasaran tentang kemampuan para pawng harimau dalam menghadapi bintang buas tersebut. Kemampuan itu merupakan warisan turun temurun kepada anak cucu para pawang rimueng. “Betapapun riilnya pengetahuannya tentang harimau, namun hal itu diselubunginya dengan formula-formula mistik serta agama, karena harimau pun adalah ciptaan Tuhan pula, dan berhak untuk diperlakukan dengan semestinya, sesuai dengan cara-cara yang baik, sebgaimana yang diberikan oleh kekuatan yang satu kepda yang lainnya,” lanjut Zentgraaff.

Menurut Schimid dan Veltman, perwira Belanda yang bertugas di Aceh dalam perang kolonial. Anak lelaki dari pawang secara berangsur-angsur dilekatkan segala keilmuan ini, dan semua ini sebagian besar diselenggarakan dalam hutan menyendiri, sebagaimana halnya dengan bertapa bagi orang Jawa. Mereka yang berhasrat untuk masuk ke dalam dunia kerohanian, hendaklah dengan mulai melepaskan dirinya dari kebendaan.

Untuk memancing hariamu liar agar menuju ke arah tertentu di dalam hutan, untuk memaksanya membuang naluri buasnya dan menuntun jasadnya yang perkasa itu melalui jalan yang dikehendaki sampai ke dalam perangkap, memerlukan hal-hal lain selain dari pada menggunakan jampi-jampi suci saja, walaupun ini dilakukan dengan hati yang betul-betul bersih.

Semenjak dari masa kanak-kanaknya, sang pawang mempelajari segala kebiasaan harimau, bukan hanya perlu mengetahui bagaiman cara-caranya ia bergerak di dalam hutan, namun juga; mengapa ia berlaku demikian dan bukan lainnya. “Begitulah si anak muda dengan bimbingan pawang tua, belajar memahami harimau di tempat terpencil dari dalam hutan, hanyalah dia yang seorang diri berada di dekat bunda alam, yang dapat belajar memahami jalan ilmu kebatinan,” tulis Zentgraaff.

sumber artikel & gambar: harian-aceh (Fokus oleh Iskandar Norman – 12 May 2011)

Hikayat Raja Pasai

Pendahuluan
Hikayat Raja-Raja Pasai pertama kali diterbitkan oleh seorang Perancis bernama Ed. Dulaurier pada tahun 1849 M dalam Collection Principle Cronique Malayes. Ia menerbitkannya dalam huruf Arab berdasarkan manuskrip yang dibawa oleh Sir Thomas Stanford Raffles ke London yang sampai sekarang masih ada di sana dalam perpustakaan Royal Asiatic Society. Pada tahun 1914 M terbit versi yang dihuruflatinkan oleh J.P. Mead yang juga berasal dari manuskrip London tersebut di atas. Di samping itu, terdapat pula transkripsi Hikayat Raja-Raja Pasai beserta pembicaraannya dalam Journal of the Malayan Branch Royal Asiatic Society, 1960, yang dikerjakan oleh A.H. Hill. Menurt T. Iskandar, Hikayat Raja-Raja Pasai merupakan karya sejarah tertua dari zaman Islam.

Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat dua versi. Pertama ialah cerita Pasai yang terdapat dalah naskah Sejarah Melayu, yakni riwayat yang berakhir dengan mangkatnya Sultan Malik al Dzahir dan naiknya tahta kerajaan Sultan Ahmad. Kedua adalah versi Hikayat Raja-Raja Pasai yang diwakili oleh Raffles seperti tersebut di atas. R.O. Winstedt menyatakan bahwa bagian-bagian tertentu Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai mempunyai persamaan-persamaan, baik dalam pokok pembicaraan maupun susunan ayatnya. Ia mengatakan, penyusun Sejarah Melayu telah meniru, memparafrasakan dan menyalin Hikayat Raja-Raja Pasai. Winstedt berkesimpulan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai ialah teks yang tertua dari kedua karya itu (Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai). Namun, R. Roolvink menyatakan, tidak mudah untuk menentukan antara kedua teks itu dan mungkin sekali penyusun Sejarah Melayu telah menggunakan teks Hikayat Raja-Raja Pasai yang lain, sehingga terjadi perbedaan penting antara kedua teks itu dari segi nama dan detail-detail lainnya.

Menurut A. Teeuw bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai berdasarkan internal evidence tidak mungkin dikarang sebelum Sejarah Melayu, tetapi sebaliknya. Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis berdasarkan suatu versi asal Sejarah Melayu untuk kemegahan kerajaan Pasai dengan berbagai tambahan dan perubahan. Namun, Amin Sweeney menentang pendapat itu dan berdasarkan internal evidence pula menyatakan dengan sangat meyakinkan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang digunakan oleh pengarang bagian pertama Sejarah Melayu.

Ikhtisar
Isi naskah Hikayat Raja-Raja Pasai menyangkut sejarah negeri Pasai sekitar pertengahan abad ke-13, masa pengislaman Tanah Pasai hingga pertengahan abad ke-14, dan waktu penaklukan Pasai oleh Majapahit. Secara lebih rinci isi Hikayat Raja-Raja Pasai dapat dibagi menjadi enam bagian, meskipun dalam manuskrip tersebut tidak ada pembagian ini. Lima bagian pertama adalah cerita mengenai Samudra Pasai, sedangkan yang keenam sama sekali tidak menyinggunga Pasai, tetapi mengenai penaklukan Nusantara oleh Patih Gajah Mada atas perintah Sang Nata Majapahit. Dalam bagian terakhir itu juga dibicarakan penaklukan sebagian pulau Perca, yakni Minangkabau, yang tidak dilakukan dengan peperangan tetapi dengan adu kerbau. Tentara Jawa kalah dalam penaklukan itu. Naskah Hikayat Raja-Raja Pasai yang mula-mula besar kemungkinannya tidak mengandung bagian yang keenam itu. Apabila itu benar, maka bagian yang keenam itu adalah tambahan yang kemudian, mungkin ditulis oleh pengarang lain dan ditambahkannya kepada naskah Hikayat Raja-Raja Pasai.

Hikayat Raja-Raja Pasai dimulai dengan dua kisah bersaudara Raja Muhammad dan Raja Ahmad yang sedang membangun sebuah negeri di Samalanga. Ketika menebas hutan, Raja Muhammad menemukan seorang anak perempuan muncul dari pokok bambu. Anak itu diberi nama Puteri Betung. Raja Ahmad mendapat seorang anak laki-laki yang dibawa oleh seekor gajah, anak itu diberi nama Meurah Gajah. Setelah dewasa keduanya dinikahkan, dan pasangan ini mempunyai dua orang putra, yaitu Meurah Silu dan Meurah Hasum. Pada suatu hari Meurah Gajah melihat sehelai rambut Putri Beutung berwarna emas. Dia minta agar rambut itu dicabut. Istrinya menolak dan mengingatkan, apabila rambut itu dicabut akan terjadi perceraian di antara mereka. Namun, Meurah Gajah memaksa mencabutnya, sehingga keluar darah putih dari kepala Putri Betung dan matilah ia. Karena peristiwa itu, terjadilah peperangan antara Raja Muhammad dan Raja Ahmad. Banyak prajurit dari kedua belah pihak tewas, dan akhirnya kedua raja itu pun menemukan ajalnya dalam peperangan itu.

Setelah perang selesai, Meurah Silu dan Meurah Hasum sepakat meninggalkan Samalanga untuk membuka negeri lain. Mereka berjalan sampai ke Beurana (Bireuen). Di hulu sungai, Meurah Silu menemukan cacing gelang-gelang yang kemudian berubah menjadi emas dan perak. Dengan emas itu ia mengupah orang menangkap kerbau liar untuk dijinakkan. Pekerjaan itu tidak disukai oleh Meurah Hasum. Diusirlah Meurah Silu. Setelah berjalan jauh, Meurah Silu tiba di Bukit Talang, ibu kota sebuah kerajaan yang diperintah oleh Meugat Iskandar.

Di ibu kota itu Meurah Silu diperkenankan tinggal. Ia memperkenalkan adu ayam jago. Atraksi itu menarik perhatian banyak orang dari negeri lain hingga mereka berdatangan ke Bukit Talang.

Meugat Iskandar sangat menyukai Meurah Silu. Dia bermusyawarah dengan orang-orang besar dan sepakat menobatkan Meurah Silu menjadi raja mereka. Saudara Meugat Iskandar, Malik al Nasr, tidak setuju. Terjadi peperangan di antara keduanya. Malik al Nasr kalah.

Tidak lama kemudian, Meurah Silu membuka negeri di atas tanah tinggi, diberi nama Samudra, mengikut nama semut besar yang dijumpainya di situ. Dikisahkan pula bahwa menjelang wafat, Nabi Muhammad mewartakan kepada para sahabatnya bahwa di benua bawah angin kelak akan muncul sebuah negeri bernama Samudra.

Ketika Samudra telah berdiri, segera berita itu terdengar ke Mekah. Syarif Mekah memerintah Syekh Ismail, seorang ulama dan sufi terkemuka, agar berlayar ke Samudra bersama 70 pengikutnya untuk mengislamkan raja Samudra. Dalam pelayaran ke Samudra mereka singgah di Mangiri, yang sultannya keturunan Abubakar Siddiq, sedangkan Abu Bakar telah turun tahta menjadi sufi. Abu Bakar Siddiq lalu ikut berlayar ke Samudra bersama Syekh Ismail.

Sebelum kapal Syehk Ismail berlabuh di Samudra, Meurah Silu bermimpi berjumpa Nabi Muhammad dan mengajarinya mengucapkan syahadat dan tata cara salat. Setelah diislamkan, Meurah Silu diberi gelar Sultan Malik al Saleh, mirip dengan nama Sultan Saljug yang masyhur merebut Anatolia, Turki, dari kaisar Byzantium pada abad ke-12 M, yaitu Malik Syah. Setelah itu seluruh rakyat Samudra berbondong-bondong memeluk agama Islam. Setelah itu Malik al Saleh membuka negeri baru, sebuah kota yang strategis, sebagai pelabuhan dagang di Selat Malaka, diberi nama Pasai mengikuti nama anjing kesayangannya yang berhasil menangkap seekor pelanduk ketika negeri baru itu mulai dibuka.

Tidak lama setelah itu, Malik al Saleh mengawini putri sultan Peurlak bernama Putri Ganggang. Dari perkawinan itu lahir seorang laki-laki, Malik al Zahir. Sultan Malik al Saleh wafat pada 1297 M. Pada batu nisan makamnya dipahatkan syair yang indah dalam bahasa Arab karangan Ali bin Abi Thalib.

Tampuk pemerintahan berpindah ke Malik al Zahir. Pada masa pemerintahan Malik al Zahir inilah Ibn Batutah, musafir Arab dari Tangier dua kali mngunjungi Pasai dalam lawatannya menuju Cina, 1316 M. Selain mencatat raja di kerajaan yang disinggahi itu alim dan bijaksana, ia pun menulis bahwa pendidikan Islam sangat maju dan banyak sekali ulama bermazhab Syafi’i dari negeri Arab serta cendekiawan Persia berdatangan dan tinggal lama untuk mengajar di negeri tersebut.

Malik al Zahir digantikan kedua putranya: Malik al Mahmud yang memarintah Samudra, dan Malik al Mansur yang memerintah Pasai. Di bawah pemerintahan mereka, Pasai bertambah makmur dan maju. Raja Siam yang mendengar berita itu merasa iri dan marah. Lantas ia membawa tentara lautnya menyerbu Pasai. Karena ketangguhan angkatan laut Pasai, tentara Siam dikalahkan dan dihalau dari perairan Selat Malaka tanpa pernah kembali lagi untuk menyerang Pasai.

Setelah penyerangan Siam itu terjadilah serangkaian peristiwa yang mencoreng nama baik kerajaan tersebut dan menyebabkan kejatuhannya. Hal itu bersumber dari ulah penguasa Samudra Pasai sendiri.

Pada suatu hari, adik Sultan Malik al Mansur bertamasya dan melalui depan istana abangnya. Ketika itu Sultan Malik al Mahmud sedang berpergian ke pantai. Sebenarnya, mentrinya telah berupaya mencegah Sultan Malik al Mahmud agar tidak ke pantai, karena mentri itu tahu bahwa adik sultan akan melalui depan istana dalam perjalanan tamasyanya. Mentri itu memperoleh firasat akan terjadi peristiwa yang bisa mendatangkan fitnah.

Ketika Sultan Malik al Mansur melewati jalan di depan istana abangnya, seorang perempuan cantik mucul dari istana. Malik al Mansur terpikat pada wanita itu dan sangat birahi. Lantas dengan paksa perempuan itu dibawanya pulang ke istananya. Mendengar berita itu Malik al Mahmud murka dan mencari jalan bagaimana bisa membalas dendam. Suatu hari ia undang sang adik mengahdiri sebuah pesta. Dalam pesta itu Malik al Mansur dibekuk, dan dipenjarakan ke tempat terpencil. Mentri yang mendampingi Malik al Mansur dipenggal kepalanya.

Tidak berapa lama, sultan Malik al Mahmud pun sadar bahwa perbuatannya keliru. Dia lantas menyuruh Tun Perpatih Tulus Agung menjemput Malik al Mansur pulang. Di tengah perjalanan, setelah berziarah ke makam mentrinya yang dihukum mati oleh kakaknya, Malik al Mansur jatuh sakit dan menghembuskan nafas penghabisan di situ juga.

Setelah Sultan Malik al Mahmud wafat, tahta kerajaan jatuh ke tangan putranya, Sultan Ahmad Permadala Permala. Sultan ini sangat menyukai perempuan dan mengawini wanita kapan saja di mau. Dia dikarunia 30 anak. Lima di antaranya seibu dan sebapa, yaitu Tun Berahim Bapa, Tun Abdul Jalil, Tun Abdul Fadhil, Tun Medan Peria, dan Tun Takiah Dara. Tun Berahim Bapa terkenal karena keperwiraannya dan ketangkasannya di medan perang. Tun Abdul Fadhil sangat alim dan gemar mempelajari ilmu agama. Tun Abdul Jalil seperti ayahnya. Dua adik mereka, Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara, sangat cantik. Sultan Ahmad sangat birahi kepada dua putrinya itu dan memberi tahukan niatnya akan mengawini dua putri kandungnya tersebut.

Tun Berahim Bapa mendengar berita itu. Segera ia bawa lari kedua adiknya ke Tukas. Sultan Ahmad murka. Berbagai cara dilakukan sultan untuk membunuh putra sulungnya itu, namun selalu gagal. Sultan bertambah murka setelah mengetahui bahwa putranya itu berseda gurau dengan seorang dayang cantik bernama Fatimah Lampau. Pada suatu kesempatan Sultan Ahmad mengajak Tun Berahim Bapa bertamasya dan memberi makanan yang beracun. Karena tidak mau durhaka kepada ayahnya, Tun Berahim Bapa memakan juga makanan itu walaupun tahu dua adik perempuannya yang dia bawa lari mati karena makan racun. Dia pun mati, jenazahnya dimakamkan di Bukit Fadhillah.

Kezaliman Sultan Ahmad tidak berkurang karenanya, dia nekat membunuh Tun Abdul Jalil hanya karena putranya ini dicintai oleh Putri Gemerancang, anak Ratu Majapahit. Ketika Putri Gemerancang tiba di Pasai dan mendengar kematian kekasihnya, dia pun berdoa supaya mati dengan cepat dan kapalnya tenggelam. Terjadilah yang diharapkan itu. Ini menyebabkan raja Majapahit menyerang Pasai. Karena panglima perangnya yang handal, Tun Berahim Bapa, telah tiada, Pasai pun kalah. Dengan penuh penyesalan Sultan Ahmad melarikan diri ke Menduga.

Setelah itu cerita adu kerbau Jawa dan Minangkabau, dan kerbau raja Majapahit kalah melawan kerbau Patih Ketamanggungan dari Minangkabau, uraian diakhiri dengan daftar negeri-negeri Melayu yang ditaklukan oleh Majapahit.

Perkiraan Waktu
Pada umumnya naskah lama tulisan tangan yang sampai kepada kita bukanlah naskah induk, melainkan naskah salinan. Naskah-naskah itu lazim tidak mencantumkan, baik nama pengarang aslinya maupun tahun penyusunannya. Untuk memperkirakan masa penyusunan sebuah naskah, peneliti naskah lama pada umumnya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Cap kertas,
Pada kertas yang digunakan penulis atau penyalin naskah sering terdapat semacam gambaran yang membayang, yang disebut cap kertas. Misalnya, kertas berukuran folio yang capnya menggambarkan seekor singa yang beridiri di atas sebuah kotak yang bertulisan VRYHEID, menurut Churchill bahwa kertas yang seperti itu dibuat pada tahun 1785 M. Perkiraan seperti itu dapat dilakukan terhadap naskah yang menggunakan kertas. Naskah-naskah lontar atau yang menggunakan alas tulis yang lain tidak dapat diperlakukan demikian. Lagi pula, yang dapat diperkirakan hanya batas awal penulisan, bukan titik waktu yang tertentu.

2. Peristiwa sejarah
Sering terjadi bahwa seorang tokoh sejarah atau sebuah peristiwa sejarah disebut-sebut dalam suatu naskah. Dengan demikian, penyebutan waktu hadirnya tokoh itu atau terjadinya peristiwanya tidak sesuai benar dengan rekaman sejarah yang objektif, tetapi tokoh atau peristiwa itu baru dapat disebut-sebut setelah ada atau terjadi. Itu berarti bahwa naskah tersebut pasti disusun setelah tokoh atau peristiwa itu muncul dalam sejarah, tidak mungkin sebelumnya, sehingga ada batas awal.

3. Ejaan
Ejaan juga dapat digunakan sebagai batasan penentu masa penyusunan atau penyalinan sebuah naskah. Naskah-naskah berbahasa Melayu dengan bertulisan Jawi dari kurun waktu tertentu, misalnya, mencantumkan tasydid di atas huruf yang mengikuti suku kata berbunyi e pepet, misalnya, berrindu. Piniadaan konsonan dasar menghasilkan bentuk-bentuk, seperti menengar, juga merupakan gejala ejaan yang menandai kurun waktu tertentu.

4. Pada bagian naskah salinanan ada penambahan kolofon yang memuat nama penyalin dan tempat serta tanggal penyalinan diselesaikan. Apabila dalam kolofon tanggal itu ditulis secara lengkap sampai dengan angka tahunnya, lazimnya digunakan tarikh Hijriah.

Pada sebagian naskah memang ada dicantumkan tanggal yang lengkap, para pembaca tidak segera terbayang masanya karena dewasa ini orang tidak lagi terbiasa menggunakan tarikh Hijriah dalam perhitungan waktu. Oleh karena itu, angka tahun Hijriah oleh para peneliti naskah lama dikonversikan menjadi angka tahun Masehi. Namun, ada juga yang sekaligus mencantumkan tanggal menurut perhitungan tarikh Hijriah dan Masehi.

Kapan Hiakayat Raja-Raja Pasai itu ditulis ? Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan sejak awalnya kerajaan Samudra Pasai dengan rajanya Malikul Saleh, dan hingga berakhirnya kerajaan Pasai di bawah pemerintahan Raja Ahmad yang porak-poranda diserang oleh laskar Majapahit. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang pertama dikarang, sekurang-kurangnya segera setelah Pasai ditaklukan oleh Majapahit, karena hikayat ini tidak lagi menceritakan tentang Raja-Raja Pasai setelah kalah diserang oleh Majapahit. Kapan Majapahit menaklukan Pasai ? Hikayat Raja-Raja Pasai sama sekali tidak menyebutkan angka tahun, kecuali cerita penyerangan Majapahit ke Pasai. Pada akhirnya naskah terdapat kalimat sebagai berikut: bahwa ini negeri yang takluk kepada Ratu Majapahit pada zaman pecahnya negeri Pasai, ratunya bernama Ahmad”.

Dalam kitab Negarakertagama gubahan Prapanca tahun 1365, Samudra termasuk daerah-daerah yang ditaklukan oleh Majapahit. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penaklukan Pasai oleh Majapahit terjadi sebelum tahun 1365. Namun, G.E. Marrison berpendapat bahwa invansi Majapahit ke Pasai terjadi pada tahun 1377, lebih lambat dari waktu ditulisnya kitab Negarakertagama. Seandainya pendapat Marrison benar, tentu nama-nama Samudra tidak terdapat dalam daftar nama-nama negeri yang takluk kepada Majapahit di dalam Negarakertagama tahun 1365. Namun, Sir Richard mengatakan bahwa sangat mungkin Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis pada abad ke-15, antara tahun 1350 dan 1500.

Manuskrip Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat di London, satu-satunya manuskrip yang ada, yaitu berupa salinan dari satu naskah kepunyaan Kiai Suradimenggala, Bupati Sepuh di Demak, salinan itu selesai dikerjakan pada 21 Muharram 1230 H atau 1825 M. Sir Ricard berpendapat bahwa tahun Hijriah yang tertera di sana adalah tahun 1230 H, sehingga menurutnya salinan itu selesai pada tahun 1814 M. Dr. Roolvink membacanya 1235 H dan kemungkinan ini yang lebih tepat, dan tanggal itu sesuai dengan hari Selasa, 9 November 1819. Timbulnya perbedaan tersebut, karena anggka yang terakhir yang tertulis dengan huruf Arab dalam salinan itu dapat diragukan, mungkin dapat dibaca 0 dan mungkin juga 5, hingga menyebabkan timbulnya bacaan yang berbeda.

Kepengarangan
Konsep pengarang dalam sastra lama tidak dapat dipersamakan dengan konsep pengarang dalam sastra modern. Pangarang karya sastra modern jelas orangnya: nama tercantum pada halaman kulit, dan dialah yang memegang hak cipta atas karangannya itu. Tanpa pengetahuan dan izinnya karyanya tidak boleh dikutip dan diperbanyak, apalagi diubah-ubah, walaupun itu semua dilakukan orang dengan maksud mempopulerkannya dan menyempurnakannya. Sebaliknya, pengarang karya sastra lama hanya sedikit yang dikenal.

Pengarang karya sastra lama tidak biasa mencantumkan namanya jelas-jelas pada halaman kulit, pada awal atau akhir kisahnya. Karena yang penting karangan itu sendiri, bukan siapa pengarangnya. Lagi pula, karya itu bukan milik individu pengarangnya, melainkan milik bersama. Individualisme kepengarangan baru dikenal setelah kedatangan orang Barat.

Orang yang bertembungan dengan sebuah karya sastra berhak dan cenderung mengubahnya, mengurangi bagian-bagian tertentu atau menambah episode-episode yang dianggapnya akan menambah kesempurnaan karya tersebut, termasuk mengubah gaya bahasa penyajiannya. Oleh karena itu, yang berlaku sebagai pengarang bukan hanya pengarang aslinya, yang sudah jarang diketahui orang, melainkan juga orang yang membawakannya (tukang cerita) dan para penyalinnya. Meskipun tidak sebagai penggubah langsung, dalam hal ini tidak boleh dilupakan peran khalayak pendengar atau pembaca. Pengubahan karangan tidak jarang disesuaikan dengan selera khalayak pendengan atau pembacanya, baik yang mengenai bentuknya maupun tentang isinya. Demikian pula panjang pendeknya karangan serta urutan peristiwa dalamnya sering ditentukan dengan memperhatikan keinginan pendengar atau pembaca.

Pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai belum dikenal. Dalam hal ini berkata C. Hooykaas: “Amatlah sayang, bahwa hampir semuanya naskah-naskah Melayu itu dalam masa bertahun-tahun amat banyak berubah, dan bahwa kita sedikit sekali tahu tentang nama, kedudukan dan zaman pengarangnya….” Akan tetapi, meskipun nama pengarangnya tidak diketahui, sekurang-kurangnya dengan meneliti isi naskah-naskah tersebut dapat juga diketahui fungsi, tugas, dan zaman pengarang yang dipancarkan oleh pola kebudayaan zaman itu. Oleh karena itu, mengapa Hikayat Raja-Raja Pasai itu dikarang perlu ditinjau latar belakang tempat Hikayat Raja-Raja Pasai ditulis. Apabila diikuti uraian pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai dapat disimpulkan bahwa pengarangnya adalah termasuk orang dalam kalangan istana Samudra Pasai yang bertugas menyusun kronika dan daftar silsilah mengenai kerajaan itu. Pada saat itu tujuan pengarang adalah memancarkan cahaya yang diinginkan keluarga raja. Dengan uraian penulis yang memberikan tempat sakral kepada Sultan Malik al Saleh, pendiri Kerajaan Samudra Pasai, tampak ada kultus raja di samping usaha pengarang melukiskan kebesaran negerinya sebagai negeri pilihan Tuhan.

Pengaruh kebudayaan Islam sangat kentara, tidak saja karena naskah itu banyak mengandung kata-kata Arab, tetapi isinya bertujuan menyebarkan dan memperteguh kepercayaan agama Islam dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya, apabila diperhatikan nasihat yang panjang lebar dari Sultan Malik as Saleh dan Sultan Malik al Mahmud sebelum kedua baginda mangkat, sangat mungkin pengarang Hikayat Raja-Raja Pasai bermaksud hendak memberikan sifat pragmatis dari hikayat itu supaya dapat menjadi tauladan bagi raja-raja yang berikutnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa Sultan Malik al Mahmud pada suatu hari sadar bahwa ia telah mengirimkan ke pembuangan saudaranya Sultan Malik al Mansur, ia berkata:
“Wah terlalu ahmak bagiku karena perempuan seorang saudaraku kuturunkan dari atas kerajaannya dan mentrinya pun kubunuh”, maka baginda menyesallah lalu ia menangis maka baginda pun bertitah pada seluruh ulubalangnya: “pergilah kamu segera mengambil saudaranya itu karena aku terlalu sekali rindu dendam akan saudaraku”.

Karya Sastra dalam Pandangan Ilmu Sejarah
Dalam kesusastraan Indonesia Lama terdapat sejumlah naskah yang oleh Winstedt dikategorikan ke dalam Malay Histories, misalnya, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Silsilah Melayu, dan Bugis. Istilah Malay Histories masih dipermasalahkan, terutama oleh kalangan sejarawan, walaupun karya-karya sastra tersebut menampilkan tokoh-tokoh yang namanya sangat dikenal dalam sejarah. Namun, belum memenuhi persyaratan untuk menjadi karya sejarah, seperti ketepatan waktu, kronologis, dan kebenaran faktual tidak diperhatikan. Dalam karya sastra tersebut banyak sisipan mitos, dongeng, legenda, menyebabkan sejarawan menghadapi kesulitan untuk menemukan fakta kesejarahannya, sehingga tidak dapat sepenuhnya dijadikan sebagai sumber sejarah.

Karya-karya kesusastraan tersebut memang tidak sepenuhnya dimaksudkan sebagai rekaman sejarah untuk dijadikan acuan penyusunan sejarah yang kritis. Karya-karya tersebut lebih tepat disebut sebagai karya sastra sejarah atau karya sastra yang bertema sejarah. Ada beragam prosa dengan judul yang memuat kata sejarah: Sejarah Melayu, Sejarah Raja-Raja Riau; kata hikayat seperti pada Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Banjar, Hikayat Aceh, dan Hikayat Maulana Hasanuddin; kata silsilah seperti pada Silsilah Melayu dan Bugis. Ada pula yang beragam puisi, yaitu syair, seperti Syair Singapura Dimakan Api dan Syair Himop. Dari judulnya dapat diperkirakan bahwa isinya berkaitan dengan suatu kurun waktu tertentu, peristiwa tertentu, atau tokoh tertentu di dalam sejarah. Adapun tujuan penyusunannya pada umumnya seperti yang konon dititahkan oleh Sultan Abdullah Ma’ayah Syah kepada Bendahara Paduka Raja,

Bahwa beta minta perbuatan hikayat pada Bendahara, peri peristiwa dan peraturan segala raja-raja Melayu dengan istiadatnya sekali, supaya diketahui oleh segala anak cucu kita yang kemudian daripada kita, diingatkannya oleh mereka itu, syahdan beroleh faidahlah ia daripadanya.

Fakta Historis dalam Hikayat Raja-Raja Pasai
Mengenai pernyataan yang dikemukakan oleh penulis Hikayat Raja-Raja Pasai tentang sejarah Samudra Pasai hingga penyerangan Majapahit, harus dibandingkan dengan beberapa pembuktian lain, yaitu dengan bekas-bekas peninggalan masa tersebut, sehingga dapat dipisahkan mana yang historis dan yang bukan historis. Motif-motif yang legendaris pada mulanya ada juga yang ada faktanya yang kongkrit. Misalnya, mythe asal mulanya Kerajaan Samudra Pasai dapat menceritakan kepada kita bahwa memang ada fakta-fakta yang kongkrit, mengenai didirikannya Samudra itu. Motif mythis-legendaries itu menjadi dongeng, karena pada waktu peristiwa itu terjadi belum terdapat kodifikasi sehingga semakin jauh dengan peristiwa terjadinya itu semakin timbullah segala macam dongeng yang semakin lama semakin dilebih-lebihkan oleh cerita turun-temurun, terutama untuk mendewa-dewakan raja pendiri kerajaan atau raja yang pertama sekali memeluk agama Islam itu. Keadaan itu, seperti disebutkan pada awal naskah:
Alkisah peri mengatakan cerita raja yang pertama masuk agama Islam ini Pasai, maka ada diceritakan oleh orang yang punya cerita ini negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang pertama membawa iman akan Allah dan akan Rasul Allah.

Sebagai contoh, dalam Sejarah Melayu sama sekali tidak disebutkan Malikul Mahmud yang oleh Hikayat Raja-Raja Pasai disebutkan sebagai anak Malikul Zahir dan cucu Malikul Saleh. Ayah Sultan Ahmad menurut Hikayat Raja-Raja Pasai adalah Malikul Mahmud, sedangkan menurut Sejarah Melayu adalah Malikul Zahir.

Untuk menilai mana antara kedua sumber itu yang mendekati kebenaran, dapat dipergunakan sumber lain yang dapat dipercaya, yaitu sebuah makam yang terindah dari peninggalan Samudra Pasai. Makam itu terbuat dari batu pualam kepunyaan seorang raja putri, menurut Snouck Hurgronje adalah Bahiyah namanya, namun menurut penelitian lain namanya Nahrasiyah. Nisannya bertulisan Arab dengan bahasa Arab, dalam bahasa Indonesia berbunyi:

Ini makam seorang wanita yang bercahaya dan suci, baginda yang terhormat, yang meninggal, yang diampunkan dosanya, raja di atas segala raja…dan yang menghidmatkan agama Islam ialah Nahrasiyah anak Sultan Al Sahid Zainul Abidin, anak Sultan Ahmad, anak Sultan Muhammad anak baginda Malikul Saleh. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan ampunan Tuhan dosanya, meninggal dengan rahmat Allah pada hari Senin, empat belas bulan Zulhijjah tahun 811 hijriah Nabi saw.

Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam hal ini geneologi Sejarah Melayu yang lebih dapat diterima. Hal itu, karena ada pembuktian makam yang mendukung geneologi tersebut.

Penutup
Hikayat Raja-Raja Pasai tidak disusun dengan tujuan menyajikan rekaman sejarah dalam arti yang modern walaupun tokoh-tokoh yang ditampilkan, peristiwa-peristiwa yang dikisahkan, dan latar tempat yang digunakan pernah ada dan terjadi. Hikayat Raja-Raja Pasai tidak dapat berfungsi sebagai sumber informasi kesejarahan yang akurat, tetapi dapat menjelaskan pandangan orang-orang Pasai dan nilai-nilai yang berlaku pada masa itu.

Pengetahuan tentang situasi kesejarahan pada waktu penyusunan sebuah karya sastra sangat membantu dalam usaha memahami makna karya itu bagi penyusunan dan khalayak pendukungnya. Hikayat Raja-Raja Pasai digubah untuk menegakkan Kerajaan Pasai melalui penggambaran sifat-sifat terpuji Sultan Malik as Saleh. Selain itu, juga menggambarkan sifat-sifat jelek penguasa selanjutnya dan akibat dari perbuatan jeleknya itu. Hal itu, dimaksudkan untuk menjadi pelajaran bahwa setiap kezaliman itu akibatnya tidak baik.

Sumber: Artikel ini disalin dari blognya: Sudirman [http://dirmanmanggeng.blogspot.com/]. Sudirman atau Dirman Manggeng adalah Penulis & Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh, Wil. Kerja Prov. Aceh-Sumut. Disalin ulang semata-mata untuk tujuan mensosialisasikan, mengenalkan sejarah, budaya Aceh di mata dunia.

Ceurita (Cerita)

SI TOENTONG GAPU

Tipu muslihat, kapanpun dan dimana pun selalu mebawa petaka bagi pelakunya.
Sesuatu yang didapatkan melalui ketidakbenaran, apalagisampai merugikan orang lain
pasti hanya akan membawa bencana. Berikut ini adalah satu dari sekian banyak
cerita yang menyodorkan hikmah dibalik keburukan dan kesabaran serta interpretasi
akan ganjarannya.

Meunurot haba jameun, dile udep saboh keuluarga. Lam nyan na sidroe ayah geuhoi Sarong, na sidroe poma ngon limong droe aneuk, dua droe inong, lhee droe agam. Nyang tuha geuboh nan Mariam, nyang keudua nan jih Si Rajali, keulhee Si Baka, keupeut Si Salam, nyang tulot geubri nan Si Safa. Keu udep Siuroe-uroe gobnyan meulampoh bak bineh rumoh, salangkan eungkot geukawee bak krueng to rumohnyan teuma.
Si Mariam leupah brok rupa. Idong jih lagee peuleupeuek u, bibi jih teubai, kulet jih itam lagee punggong kanot, peurangeu jih pih saban brok ngon rupa. Sapeue han ditem, bah that ka geuyue lee ma jih pih han dileungoe. Sabab nyan jih digala “Si Toentong Gapu.”
Ayah ngon poma sep weueh hatee bak geupikee si Mariam, seula-en rupa ngon akai brok, jih pih kuat that seumajoh, kayem that jipeuabeh teumon bu adoe-adoe jih. Ateuh hai nyan, jih han dithee droe bak keulakuan jahe. Peulom adak jikheun keu droe jih, sang hana laen leubeh tari di bak droe jih lam donyanyoe. Lam haba jih, sang singoh na sidroe Raja neuteuka keunan, neutueng jih, geuba u meuligoe keujeut peurumoh Raja. Hana buet laen nibak meucet langet saban uroe. Rayeuk that lumpoe juet keu putroe.
Meupaloe, buet Si Toetong Gapu maken peususah ureung chik. Na padup thon lheueh nyan, teudeungo haba na sidroe Raja muda seudang neuteuka u gampong nyan. Teudeungoe keuh bak Si Toetong Gapu habanyan buno, kon wayang seunang hatee jih, “nyoe beutoi lagee lon pinta, Raja nyan teuka keumeung jak tueng lon jak u meuligoe neuk dipeusunteng jeut keu putroe,” nyan keu haba jih bak ureueng gampong.
Rombongan Raja pih jiteuka. Ubee gampong ka geupeungui panji keu geusambot Raja baro nyan. Raja troh ngon ulee balang, meuntroe, ngon dayang-dayang meuligoe. Raja geusambot lee keuchik, peutua adat ngon awak gampong seureuta. Tiba-tiba, Si Toetong Gapu maju u keu Raja “Ampon Tuanku, hana salah lhee, lon keuh putroe nyang Raja mita nyan” peugah jih.
Raja muda hireuen, hana meuphom peu meukeusud Si Toetong Gapu. Sabab Raja kon mita putroe, gobnyan ka meutunangan ngon Putroe Canden di Kuala. “Soe inong nyoe?” tanyong Raja.
“Ampon Tuanku, nyan inong pungoe, harap Tuanku bek teusinggong” jaweub Peutua Adat.
“Peu mantong na ureng chik jih?” tanyong Raja lom.
“Mantong Tuanku,” seuot Keuchik teuma.
“Ci neuhoi keuno,” pinta Raja
Kon wayang susah Apa Sarong dek peurangaianeuk jih. Dikeu Raja jipeutoh peurangai brok Si Toetong Gapu lagee sebenajih. Gobnyan lakee supaya Si Toetong Gapu geuba u istana geupeujeuet keu pembantu di Meuligoe. Bak akhee, Si Toetong Gapu geuba u meuligoe ateuh pertimbangan mentroe.
Di Meuligoe, bak si uroe, Si Toetong Gapu geucrong ie bak mon untok geupasoe ie lam mundam bak bineh reunyuen. Jikalon bayangan sidroe putroe leupah ceudah, jipikee nyan droe jih. “Bethoi that ceudah rupa lon, sunggoh hana adee Raja geupeugot lon lageenyoe hi,” peugah Si Toetong Gapu lam hatee.
Tima diseumpom beukah dua, ngon bagah jijak ubak Raja. “Pat cit ie hai Toetong Gapu?” tanyong Raja.
“Peu neupikee get that hi sidroe putroe angkot2 ie?” tanyong Si Toetong Gapu ngon beungeh, “tima ka lon peubeukah.”
Raja meupikee siat leuhnyan geu seuot, “beta nyang salah, tapi putroe han salah angkot ie, enteuk meunyoe guci ka peunoh, neu ek keuno u meuligoe.” Si Toetong Gapu dijok lom tima kulet.
Watee Si Toetong Gapu geucrong ie, leumah lom bayangan putroe meungui subang, paon ngon gleueng gaki, tapi mantong cit geupikee nyan bayangan droe jih. Jiseumpom lom tima nyan. Tapi han ditem beukah. Dihoi lee Si Toetong Gapu asee istana geuyue priek tima hana cit ditem beukah, Si Toetong Gapu meuhila-hila ngon asee buno.
Teukhem Putroe Canden kalon peurangoe Si Toetong Gapu dari ateuh bak geulima bak bineh mon nyang bayangan jih leumah lee Si Toetong Gapu buno. Baroe jih sadar peu yang teujadi buno. Tapi niet brok pih teuka teuma. Jih kueneuk tipee putroe Canden.
Ngon narit mameh Si Toetong Gapu lakee putroe nyan tron, “ so nan tuan putroe nyang ceudah rupa nyoe, keuno neutron, bek duek bak bineh cabeueng, adak roet soe peu-ubat.”
“Nan hamba Putroe Canden, han hamba tron seugolom rombongan troh u meuligo Raja Sedang.”
Si Toetong Gapu hana putoh asa, dirayu jih putreo troh item tron. Watee ka troh u baroh, Si Toetong Gapu geupeuleueh bajee putroe dituka ngon pakaian jih. Laju dipeu’ek u Meuligoe.
Singkat ceuritra, Si Toetong Gapu meunikah ngon Raja. Han jiteupeu nyan Si Toetong Gapu.
Watee mak meugang troh, Raja geublo sie, llheue that. Jimeuheuet that pajoh masakan putroe. Bandum sie diantat bak Si Toetong Gapu. Sabab jih han jeuet peulaku, nyang tuleueng jireuboh, nyang asoe nyan keuh jiboh u likot meuligoe. Watee pajoh bu, teuntee raja bingong, hireuen pakon nyang na bak meja cit tuleueng sagai. Han jitanyong jiet bek weueh hatee putroe.
Lheueh nyan raja meukeulileng, teucom bhee gule mangat that bak saboh jambo. Oh troh u likot meuligoe teucom bee gule mangat that lam jambo bak bineh nyan. Han teutee Raja laju tamong, lam jambo nyan geukalon na meumacam-macam gulee teuhidang. Habeh hireuen Raja Seudang.
“Jeuet lon cuba masakan gata?” kheuen Raja bak po jambo nyan.
“Silahkan, meunyoe Tuan meuheuet, sie lon teumee di likot meuligoe, putroe ka geuboh bunoe.
Meurasa that raja pajoh bu di sinan. Lheuehnyan buno, raja geutanyong bak po jambo “so seubeunajih droneuh nyoe, Toetong Gapu?”
“Lon tuan nyoe Putroe Canden, lon ka dipengeuet lee si Toetong Gapu”
Raja beungeh kon wayang lee, gobnyan leupah murka, hana laen watee lee Toetong Gapu geuseret u penjara. Toetong Gapu harus meutanggong jaweueb bak mandum nyang ka geupeuget keu Putroe Canden. Seudangkan Putroe Canden di ba tamong lam meuligoe, u teumpat nyang seubeuna.
Nyan keueh sipeuet ureueng nyang meucita-cita tapi hana sesuai ngon kada jih. Dipaksa droe jih hana meuceureuemen Bak dudoe doe keudroe cit nyang meunanggong akibat jih.

Jika menanam kebaikan
Maka akan menuai kebahagiaan
Jika menanam keburukan
Maka akan menuai petaka

TEUNGKU ABDURRACHMAN MEUNASAH MEUCAP (1920-1949)

TEUNGKU ABDURRACHMAN MEUNASAH MEUCAP (1920-1949)

Pada awal abad XX, di Jawa dan daerah-daerah lain di Nusantara termasuk daerah Aceh, mulai timbul gerakan nasionalis dalam bentuk organisasi-organisasi moderen yang berada di bawah pimpinan para Cendekiawan Indonesia. Melalui organisasi-organisasi ini mereka (Cendekiawan Indonesia) berusaha mengantisipasi tindakan-tindakan pemerintah kolonial Belanda yang menekan atau menindas bangsa Indonesia di samping juga berusaha untuk meningkatkan derajat dan martabat bangsa sehingga dapat bebas dari belenggu penjajahan. Namun gerakan-gerakan yang timbul di daerah Aceh pada awal abad XX itu dapat dikatakan unik bila dibandingkan dengan di daerah-daerah lain. Karena di samping munculnya gerakan Nasionalis dalam berbagai organisasi sosial politik seperti di daerah-daerah lain, juga masih ada aksi-aksi perlawanan yang dilakukan dalam bentuk fisik atau berperang secara bergerilya yang terdapat di hampir seluruh wilayah Aceh.

Semenjak berdamainya Sultan Muhammad Dawod Syah (1903) yang merupakan Sultan Kerajaan Aceh terakhir, daerah-daerah Aceh secara De Jure telah dinyatakan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bagian dari wilayah Nederlandsch Indie (Hindia Belanda). Dalam melakukan pemerintahannya di Aceh, pemerintah kolonial Belanda membagi daerah Aceh menjadi dua bagian, yaitu pertama yang disebut Gouvernement Gebied (daerah gubernemen) yang diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda dan kedua disebut Zelfbestuurgebied (derah pemerintahan sendiri) yang diperintah secara tidak langsung. Daerah-daerah ini disebut landschap (kenegerian), dipimpin oleh para Uleebalang (hulubalang) yang telah menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Hindia Belanda atau bagi mereka yang telah menandatangani Korte Verklaring (perjanjian singkat) dengan Belanda. Kedua daerah ini dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda disebut Gouvernement Atjeh en Onderhorigheden) Gubernemen Atjeh dan daerah takluknya), yang dipimpin oleh seorang Gubernur.

Bersamaan dengan pengaturan sistem pemerintahan, pemerintah kolonial Belanda dalam rangka pelaksanaan Etische Politiek (politik etis) dan politik pasifikasi memperkenalkan pula beberapa budaya barat seperti sistem pendidikan moderen, pengobatan moderen, komunikasi/transportasi, irigasi kepada rakyat Aceh. Dengan demikian, meskipun pada mulanya apa yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda itu sulit diterima, namun dalam perkembangan dan kenyataannya, berbagai unsur budaya barat itu terserap juga ke dalam masyarakat Aceh. Akibatnya timbul gejala adanya kegoncangan sistem tata nilai masyarakat Aceh. Ada masyarakat yang menerima dan mendukung sistem barat tersebut, seperti ikut bekerja dalam struktur birokrasi pemerintahan kolonial Belanda, menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah yang dikelola oleh pemerintah, yang menerima sistem pengobatan moderen dan sebagainya. Di samping itu juga ada masyarakat baik di kalangan Uleebalang, ulama dan rakyat yang terus melanjutkan perang gerilya. Mereka tidak menerima sistem pendidikan Belanda, menolak sistem pengobatan moderen dan tetap bertahan dengan sistem tradisional.

Namun demikian di samping adanya segi-segi yang dianggap tidak membawa kebaikan bagi masyarakat Aceh, ada pula segi-segi positifnya. Diantaranya ialah lahirnya sekelompok kaum cendekiawan Aceh hasil didikan barat, lancarnya hubungan dengan luar daerah sehingga telah membuka cakrawala pikiran masyarakat Aceh secara lebih luas. Kaum cendekiawan atau terpelajar ini mengerti bahwa mereka atau rakyat Aceh senasib dengan rakyat di daerah-daerah lain. Akibat lebih lanjut yaitu, mereka menjadi lebih sadar akan tanggung jawabnya terhadap tanah air, bangsa dan agama serta lebih mengerti mengenai taktik dan strategi perjuangan untuk mencapai cita-cita, yaitu bebas dari belenggu penjajahan atau merdeka. Hal inilah yang mendorong mereka untuk mendirikan berbagai organisasi sosial politik di Aceh. Diantara organisasi ini ada yang bersifat nasional. Dalam upaya untuk mengimbangi sekolah-sekolah bikinan pemerintah kolonial, mereka juga mendirikan sekolah-sekolah swasta seperti sekolah Belanda dan memodernisir sistem pendidikan tradisional yang disebut dayah ke sistem yang moderen yang dinamakan madrasah. Ini berarti di kalangan masyarakat Aceh pada awal abad XX telah mulai tumbuhnya kesadaran nasional.
Dengan demikian selama periode kebangkitan nasional (1900/1942) di daerah Aceh, aksi menentang atau melawan kekuasaan kolonial Belanda berlangsung melalui dua jalur; yaitu, pertama melalui perlawanan secara fisik, berperang secara gerilya dan kedua melalui jalur pergerakan nasional yang ditandai dengan tumbuhnya berbagai organisasi sosial dan politik serta sekolah-sekolah swasta/madrasah yang modernis. Selanjutnya apa yang dilakukan oleh rakyat Aceh pada awal abad XX seperti juga dilakukan oleh rakyat di daerah lain di Indonesia telah membuahkan hasil yaitu hengkangnya pemerintah kolonial Belanda dari bumi Indonesia, sehingga akhirnya tercapai Indonesia Merdeka dan daerah Aceh seperti juga bekas wilayah Hindia Belanda lainnya, menjadi bagian dari wilayah negara Republik Indonesia.

II
Di antara organisasi sosial politik yang lahir dan berkembang di Aceh pada akhir perempatan pertama abad XX yaitu Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Organisasi ini lahir dari hasil keputusan musyawarah ulama seluruh Aceh yang diadakan pada tanggal 5 s/d 8 Mei 1939, bertepatan dengan hari peringatan lahirnya (maulid) Nabi Muhammad S.A.W tanggal 12 Rabi’ul Awal 1358 H, di Kampus Madrasah Al-Muslim Peusangan, Matang Glumpang Dua (Onderafdeeling Bireun, Aceh Utara). Penggagas atau pengambil inisiatifnya ialah: Teungku Abdurrachman Meunasah Meucap dengan mendapat restu dan perlindungan dari Teuku Chiek Muhammad Johan Alamsyah, Uleebalang Peusangan. Adapun pengurus pertama yang berhasil disusun pada waktu itu, terdiri dari Tgk. M. Daud Beureueh dan Tgk. Abdurrachman Meunasah Meucap sebagai ketua dan wakil ketua, Setia Usaha (Sekretaris) I dan II : Tgk. M. Nur El-Ibrahimy dan Tgk. Ismail Yakob, Bendahara T. M. Amin dan Komisaris-komisaris ialah : Tgk. Abd. Wahab Keunalo-Seulimum, Tgk. Syekh Abd Hamid Samalanga, Tgk. Usman Lampoh Awe, Tgk. Yahya Peudada, Tgk. Mahmud Simpang Ulim, Tgk. Ahmad Damhuri Takengon, Tgk. M. Daud, Tgk. Usman Azis. Berhubung ketua I bertugas di Sigli pada Madrasah Sa’adah Abadiyah Blang Paseh, maka untuk sementara waktu, ditetapkan pengurus PUSA berkedudukan di Sigli.

PUSA merupakan sebuah organisasi kedaerahan yang dalam berbagai geraknya tampak watak Aceh yang khas. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila organisasi ini dalam waktu yang relatif singkat sudah meluas ke seluruh daerah Aceh dan menjadi milik masyarakat. Apabila Tgk. Muhammad Daud Beureueh atau pengurus PUSA lainnya mengadakan perjalanan keliling untuk propaganda sampai ke daerah pesisir Barat Aceh selalu mendapat sambutan yang meriah. Hanya dibeberapa tempat saja, yaitu dalam beberapa wilayah di pesisir Selatan mungkin karena corak Minangkabau-Tapanulinya kuat, di sini gerakan PUSA tidak banyak memperoleh pengikutnya. Di samping itu sebagian besar para Uleebalang, pada awal pendirian PUSA di daerahnya; termasuk Tuanku Mahmud (anggota Volksraad), yang begitu besar simpatinya kepada gerakan ini. Bahkan ia telah diangkat menjadi pelindung PUSA seluruh Aceh. Tampaknya dengan lahirnya PUSA, pergerakan nasional di Aceh telah menemukan bentuknya sendiri, dalam pengertian sebagian besar pemimpin pergerakan di daerah ini telah berhasil dipersatukan dalam organisasi tersebut.
Adapun maksud dan tujuan dari pergerakan PUSA, seperti tercantum dalam anggaran dasarnya, adalah:
a. Untuk menyiarkan menegakkan dan mempertahankan Syiar Agama Islam.
b. Menyatukan paham pada penerangan Hukum.
c. Memperbaiki dan menyatukan leerplan-leerpan (Kurikulum) Pelajaran Agama di sekolah-sekolah Agama.
d. Mengusahakan untuk mendirikan Perguruan Islam dan mendidik pemuda-pemuda serta putri-putri Islam dalam keagamaan.

Kalau diperhatikan dari apa yang tertulis itu, tampaknya PUSA tidak bergerak dalam bidang politik. Kelihatan bahwa pada mulanya tujuan organisasi ini dibentuk antara lain untuk menyiarkan, menegakkan, dan mempersatukan syiar Islam yang suci, terutama di tanah Aceh. Berusaha sedapat mungkin mempersatukan paham ulama-ulama Aceh dalam menerangkan hukum-hukum dan berusaha memperbaiki dan mempersatukan leerplan (kurikulum) sekolah-sekolah agama di seluruh Aceh. Tetapi ternyata dalam praktek, sejak kongres pertama tahun 1940 mulai kelihatan secara samar-samar bahwa PUSA telah mengarah ke politik. Benih-benih permusuhan terhadap Belanda sungguh-sungguh ditanamkan, terutama kepada pemuda melalui organisasi kepanduannya, Kasyafatul Islam (KI), sehingga pada gilirannya kelak gerakan ini telah menjadikan dirinya sebagai wujud gerakan anti pemerintah Belanda yang cukup membahayakan di Aceh.

Dalam perkembangannya PUSA telah berhasil pula memperjuangkan adanya Mahkamah Agama di Aceh yang pada masa Jepang dinamakan Syukyo Hooin (Mahkamah Agama). Setelah masa pendudukan Jepang diubah namanya menjadi Dewan Agama Islam dan yang menjadi pimpinannya Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap. Sesudah diadakan Pejabat Agama Daerah Aceh yang dikepalai oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh, Dewan Agama Islam dihapus dan Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap diangkat menjadi Kepala Pejabat Agama Islam Keresidenan Aceh.

Pada saat pembentukan Propinsi Sumatra Utara pertama kali dan pejabat agama berubah strukturnya, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dicalonkan menjadi kepala bagian tata hukum pada Jabatan Agama Sumatra Utara, namun ia dalam keadaan sakit dan beristirahat di Takengon.

Selain sebagai penggagas organisasi PUSA yang merupakan salah satu organisasi pergerakan di Aceh, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap juga sebagai tokoh pembaharu pendidikan agama. Kiprahnya ini dapat dilihat sejak beliau memulai karirnya sebagai pendidik pada tahun 1920, yaitu sebagai pengajar di Dayah Cot Meurak dan Dayah Ulee Ceue, Samalanga. Setelah mendapatkan pengalaman sebagai pengajar pada Dayah-Dayah tersebut pada tahun 1926 Teungku Abdurrahman membuka sebuah Dayah di kampung kelahirannya Meunasah Meucap. Karena kepopulerannya Teungku Abdurrahman selaku tokoh yang memiliki pengetahuan yang luas tentang agama, maka dayah ini dikunjungi oleh banyak murid yang ingin menimba ilmu daripadanya. Mereka yang datang ini berasal dari berbagai daerah di Aceh. Karenanya kampung Meunasah Meucap menjadi ramai dengan murid-murid yang datang belajar ke Dayah tersebut. Hal inilah kemudian yang menyebabkan panggilan Teungku Abdurrahman populer dengan sebutan Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap atau Teungku Meunasah Meucap. Meskipun para pelajar di Dayah Meunasah Meucap telah menaruh kepercayaan dan merasa puas dengan apa yang telah diajarkan oleh gurunya kepada mereka, tetapi Teungku Abdurrahman sendiri belum puas dengan ilmu yang telah dimilikinya. Oleh karenanya setelah tiga tahun menjadi guru di Dayahnya, Teungku Abdurrahman mengambil keputusan untuk belajar kembali pada Dayah Cot Meurak, yang kemudian diikuti pula oleh hampir sebagian besar muridnya pindah belajar ke Dayah Cot Meurak tersebut.

Akibat pengaruh dari kehadiran pendidikan Barat di Aceh yang kemudian diterima oleh masyarakat Aceh, telah menimbulkan kegelisahan pada figur Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap. Beliau melihat dan menyadari bagaimana pola pendidikan agama yang sudah ada di Aceh bila dibandingkan dengan sistem pendidikan yang dimiliki oleh pemerintah Belanda. Untuk hal ini beliau sering mendiskusikannya dengan ulama Aceh lainnya. Dari hasil-hasil diskusi itu, timbullah gagasan dari Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap untuk merombak atau memperbaharui sistem pendidikan agama di Aceh, dari sistem Dayah yang tradisional ke sistem madrasah yang moderen dengan meniru beberapa model dari pendidikan Belanda. Ide ini pada mulanya kurang mendapat sambutan dari sebagian ulama. Hal ini antara lain disebabkan karena pada waktu itu masih banyak orang yang menganggap bahwa segala sesuatu yang berbau “Belanda”, haram hukumnya.

Ada beberapa sebab yang mendorong Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap berhasrat merubah sistem pendidikan dari bentuk Dayah ke bentuk pendidikan madrasah atau sekolah. Di antaranya adalah saran dari ulama-ulama yang datang berdiskusi dengannya, terutama Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Ayah Hamid Samalanga serta anjuran dari guru-guru sekolah umum (volkschool). Selain itu, ia berpikir bahwa untuk membentuk kader-kader yang berilmu pengetahuan, tidak cukup dengan hanya pengetahuan agama saja, tetapi juga harus mengetahui ilmu pengetahuan umum.
Ide Teungku Abdurrahman mulanya hampir gagal karena kurangnya fasilitas dan dana, terutama bangunan fisik sekolah. Namun uleebalang setempat, yaitu Teuku Chiek Muhammad Johan Alamsyah membantu segala macam fasilitas yang dibutuhkan untuk mendirikan lembaga pendidikan itu. Pada tanggal 24 November 1929 dibentuklah sebuah syarikat yang diberi nama Syarikat Al-Muslim Peusangan, untuk mengelola sekolah yang akan didirikan. Ketua Syarikat itu adalah Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap sendiri., sekretaris Nurdin, dan selaku penasihat adalah uleebalang Peusangan, Teuku Chiek Muhammad Johan Alamsyah.

Pada akhir tahun 1929 syarikat ini membangun 2 buah kelas tempat belajar murid-murid Madrasah Al-Muslim Peusangan. Tempat ini kemudian menjadi cikal bakal dan tonggak sejarah Madrasah Al-Muslim Peusangan. Adapun guru-guru pertama yang mengajar pada lembaga pendidikan Al-Muslim pada waktu itu antara lain: Teungku Habib Mahmud, Teungku Ridwan, Teungku Abed Pante Ara, Teungku Abbas Berdan, Teungku Ibrahim Meunasah Barat, Teungku Hasan Ibrahim Awe Geutah, serta Teungku Abdullah Musa sebagai pemimpin kepanduan. Sedangkan Teungku Abdurrahman sendiri sebagai inspektur yang sewaktu-waktu menggantikan mengajar jika ada guru yang berhalangan hadir.

Pada tahun 1931 lembaga pendidikan Al-Muslim mulai membangun gedung permanen untuk tempat pendidikan. Namun sebelum pembangunan gedung tersebut selesai, Teungku Abdurrahman pergi ke Sumatra Barat untuk meninjau perkembangan pendidikan di sana yang sudah lebih maju, seperti Sumatra Thawalib, Kulliyatul Muballighin Padang, Islamic College Bukittinggi dan Diniyah Putri Kayu Tanam. Tujuan Teungku Abdurrahman selain untuk meninjau sistem pendidikan atau sistem belajar, juga untuk mengambil contoh bangunan gedung Al-Muslim yang akan dibangun di Aceh.
Tidak lama kemudian, Madrasah Al-Muslim berkembang ke daerah lain dengan mendirikan cabang-cabang madrasah. Cabang-cabang madrasah tersebut antara lain di Cot Meurak Bireun, Cot Batee, Balai Setui Jangka, Bugak, Krueng Baro, Uteun Gathom, dan Lueng Leubu.

III
Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap lahir di kampung Meunasah Meucap, Kecamatan Peusangan, Matang Glumpang Dua (sekarang bagian wilayah Kabupaten Bireun). Ia adalah putra dari Teungku Muhammad Hanafiah yang lebih terkenal dengan nama panggilan Teungku Let Yah yang menjabat sebagai Teungku Imum di Kampung Meunasah Meucap. Tahun kelahiran Teungku Abdurrahman tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan pada tahun 1897 Masehi atau bertepatan dengan tahun 1316 Hijriah. Nama yang diberikan orang tuanya adalah Abdurrahman. Tetapi sesudah beliau memiliki pengetahuan agama (alim) dan dihormati karena jasa-jasanya dalam mengembangkan pendidikan agama, orang mulai menyebut dengan merangkaikan nama kampung di belakang namanya, sehingga panggilannya menjadi Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap. Hal seperti ini di Aceh lazim digunakan seperti juga Teungku Muhammad Daud Beureueh, Teungku Chik Di Tiro, Teungku Chik Pante Kulu, Teungku Hasballah Indrapuri dan lain-lain. Bahkan ada yang tidak menyebut nama aslinya lagi, tetapi cukup hanya menyebut nama tempat tinggalnya atau nama tempat ia mengajar seperti Teungku Meunasah Meucap atau Teungku Di Matang Glumpang Dua.

Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap mempunyai empat orang istri dan tujuh orang anak. Adapun nama-nama istrinya adalah yang pertama Fatimah binti Haji yang dianugerahi empat orang anak, satu anak laki-laki dan tiga putri. Nama putra-putrinya adalah Siti Ramlah, Muhammadar, Azizah, dan Zubaidah. Istri kedua bernama Fadilah yang melahirkan seorang putra yang bernama Afifuddin. Istri ketiga bernama Aisyah yang juga melahirkan seorang putra yang bernama Fakhri. Sementara istri keempat bernama Fatimah. Dari istrinya ini Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap juga mendapatkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Khairuddin.

Sebagaimana lazimnya anak-anak yang dilahirkan dari keluarga ulama dan dalam suatu masyarakat yang Islami seperti masyarakat Aceh, Abdurrahman semasa kecilnya bersama anak-anak sekampungnya belajar pendidikan agama (mengaji Al Qur’an, belajar kitab-kitab agama) di kampungnya yang kebetulan orang tuanya sendiri adalah Teungku Imum dan guru agama di kampungnya tersebut. Di samping belajar pendidikan agama, Abdurrahman oleh orang tuanya Teungku Muhammad Hanafiah juga diajarkan bahasa Jawo (bahasa Melayu). Pelajarannya meliputi Malasailal Muhtadi, Bidayatul Mujtahid, Miftahul Jannah, Shiratul Mustaqim, Sabilal Muhatadie, Majmuk, dan Furuk Masail.
Ketika berumur 15 tahun (tahun 1912) Abdurrahman meninggalkan kampung halaman dan berangkat ke Ulee Ceue Samalanga Kabupaten Bireun untuk belajar pendidikan agama di Ulee Ceue Samalanga selama dua tahun. Pada tahun 1915 Abdurrahman pindah belajar ke Peudada (Kabupaten Bireun) pada Teungku Raden Peudada selama satu tahun dan tahun 1916 pindah lagi belajar ke Cot Meurak Bireun pada Teungku Haji Muhammad Amin. Di tempat ini ia belajar sangat tekun dan relatif lama yaitu sampai 13 tahun lamanya.
Sementara itu Abdurrahman berguru pula ke Tanjungan Samalanga, Kuta Blang Samalanga, ke Garut (Kabupaten Pidie) yang kemudian melanjutkan pendidikan ke Dayah di Lhokseumawe di mana keseluruhannya berjumlah tiga tahun lamanya.

Setelah menimba ilmu agama pada beberapa teungku di Aceh, Abdurrahman masih ingin memperdalam ilmu dalam bidang ilmu falak. Beliau mendengar bahwa di Sumatra Timur ada seorang ulama besar yang mahir dalam bidang ilmu falak yaitu Syeikh Hasan Ma’shum, maka pada tahun 1929 dengan tiga orang temannya yaitu Teungku Ahmad Lampupok Indrapuri, Teungku Arifin Samalanga, dan Teungku Muhammad Husen Niron Sibreh Kecamatan Suka Makmur Aceh Besar. Teungku Abdurrahman beserta tiga orang temannya ini selanjutnya berangkat ke Sumatra Timur menuju Tanjung Pura ibukota Kerajaan Langkat. Di sana mereka menemui Syeh Usman, Qadli Sultan Langkat untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka yaitu ingin memperdalam ilmu falak.

Syeh Usman menyuruh Teungku Abdurrahman dan tiga orang temannya menemui kepala sekolah. Namun kepala sekolah tidak dapat menerima mereka dengan alasan karena umur mereka sudah tidak sebaya dengan pelajar-pelajar yang sudah ada dan kedua, mereka dianggap sudah dapat mengajar di sekolah tersebut. Kepala sekolah menganjurkan kepada Teungku Abdurrahman dan tiga temannya supaya berguru kepada tuan Syeh Usman di Medan. Anjuran ini dituruti, sehingga mereka belajar ke Medan. Sesampai di Medan ternyata Tuan Syeh Usman tidak memberi waktu khusus. Teungku Abdurrahman disuruh mengikuti pelajaran bersama pelajar-pelajar lainnya. Sesudah dicoba ternyata pelajaran yang diberikan masih rendah, lalu Teungku Abdurrahman beserta tiga temannya memutuskan untuk kembali ke Tanjung Pura. Di Tanjung Pura, mereka tinggal kurang lebih enam bulan. Di sini Teungku Abdurrahman memperhatikan cara belajar dengan memakai bangku dan papan tulis (secara klasikal), yang jauh lebih efektip dibandingkan dengan cara berhalqah di Dayah. Sepulangnya dari Langkat, Teungku Abdurrahman timbul hasrat untuk mengajar cara sekolah di Dayahnya.

Teungku Abdurrahman adalah seorang ulama yang pergaulannya luas, wawasannya tidak saja di kalangan ulama Dayah, tetapi juga dengan guru-guru Volkschool dan Vervolgschool yang ada di Keude Matang Geulumpang Dua, di antaranya Teungku Nurdin dari Sumatra Utara, Teungku Sutan Mangkudum berasal dari Sumatra Barat, Djakfar Lagutan berasal dari Mandailing Sumatra Utara, Guru Husein Samalanga, dan beberapa orang lainnya.

Dari pergaulannya itu, Teungku Abdurrahman mendapatkan informasi tentang kemajuan agama di luar Aceh. Sistem pendidikannya telah dijalankan melalui sistem sekolah. Tidaklah mengherankan Teungku Abdurrahman adalah seorang ulama Dayah yang dapat menerima ide baru untuk merubah sistem pengajaran agama dari sistem pengajaran tradisional Dayah ke sistem sekolah/madrasah.
Ketika usianya mencapai 52 tahun beliau menderita sakit dan sebagaimana telah disebutkan harus beristirahat di Takengon. Ternyata sakitnya ini tidak sembuh-sembuh hingga akhirnya beliau berpulang kerakhmatullah pada hari Kamis tanggal 24 Maret 1949 di tempat kediamannya Kampung Meunasah Meucap Kecamatan Peusangan. Jenazahnya atas saran masyarakat Peusangan dikebumikan di belakang gedung Perguruan Al-Muslim Peusangan Matang Glumpang Dua Kabupaten Bireun.

IV
Biografi merupakan salah satu bentuk karya sejarah yang mendeskripsikan aktivitas individu dalam waktu tertentu. Jika penulisan sejarah lebih menekankan pada aspek tertentu misalnya politik, ekonomi, agama, atau budaya, maka biografi lebih memfokuskan penulisannya pada peran individu dalam pergumulan hidup untuk mewujudkan ide, aktivitas dan karya yang ia lakukan.

Seperti karya tulis sejarah lainnya, biografi juga mengandung nilai-nilai edukatif, sarat dengan pesan-pesan pendidikan bagi generasi mendatang. Melalui biografi, pembaca akan menemukan makna hidup “perjuangan dan pergumulan anak manusia dengan nasibnya” dalam dimensi waktu dan ruang tertentu. Dengan demikian, penulisan biografi menjadi sebuah pekerjaan penting dan perlu dilakukan dalam rangka proses transformasi nilai-nilai edukatif bagi generasi selanjutnya.

Dari apa yang telah diutarakan pada bagian-bagian di atas dapat diketahui bahwa sosok Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap adalah tokoh terkenal pada perempatan pertama abad XX di Aceh. Ketokohan ini telah terlihat di bidang pergerakan dan bidang pendidikan. Karenanyalah maka derap langkah pergerakan nasional yang bermula di pulau Jawa pada perempatan pertama abad XX telah bergema pula di daerah Aceh. Kalau di Jawa Dr. Wahidin Sudiro Husodo telah memprakarsai lahirnya organisasi Budi Utomo, maka di Aceh Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap telah pula menggagas lahirnya suatu organisasi pergerakan yang cukup populer dalam sejarah yaitu PUSA. Demikian juga di bidang pendidikan Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dengan ide-idenya telah berusaha merubah sistem pendidikan agama di Aceh dengan melakukan pembaharuan sistem pengajaran pada lembaga pendidikan agama, dari bentuk Dayah yang tradisional ke bentuk madrasah yang moderen.

Dengan melihat peranan dan ketokohannya tersebut diharapkan kepada generasi muda agar aktivitas Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dapat dijadikan sebagai suri tauladan dalam upaya meningkatkan kualitas diri agar berguna bagi bangsa dan negara. Mengingat begitu besar jasanya terhadap dunia pendidikan dan kiprahnya dalam pergerakan nasional (politik), maka disarankan kepada pemerintah agar dapat memugar makam Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap. Selain itu, juga perlu ditulis suatu biografi yang komprehensif tentang figur Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap. Karena dengan demikian generasi muda dan generasi yang akan datang dapat lebih mengenal sosok dan pribadi Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap. Dan yang lebih mustahak lagi ialah mensejajarkan beliau dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional sebagai pahlawan bangsa.

Daftar Pustaka
Alfian (ed.) Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. (Jakarta: LP3ES, 1977).
Ali Hasjmy. Ulama Aceh: Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa (Jakarta: Bulan Bintang, 1997).
Ibrahim Alfian, T. “Modern Education in Aceh, A Premilinary Note”, Sixth International Conference on Asian Histrory, IAHA, Yogyakarta, 1974.
______________. Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh. (Banda Aceh: Depdikbud, Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh, 1982).
______________. Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah. (Banda Aceh: PDIA, 1999).
Ismuha. “Teungku Meunasah Meucap Sebagai Pendidik dan Ulama”. Dalam Santunan No. 33 tahun 1977.
_______. “Sejarah Perkembangan Pendidikan Agama di Aceh”. Prasaran Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh. (Banda Aceh: MUI Aceh, 1978).
Nur El Ibrahimy, M. “Penyeragaman Kurikulum dan Penegerian Sekolah-sekolah Agama di Aceh”. Dalam Santunan No. 94 Februari 1984.
Piekar, A.J. Atjeh en de Oorlog Met Japan. (Den Haag, Bandung: W. Van Hoeve, 1949).
Rusdi Sufi . Peranan Tokoh Agama dalam Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950: di Aceh (Jakarta: Depdikbud, 1997).
Shaleh, Hasballah. “Teungku Meunasah Meucap”. Dalam Santunan No. 16 Februari 1978.
Siegel, James. The Rope of God. (Berkeley: University of California Press, 1969).
Suny, Ismail. Bunga Rampai Tentang Aceh. (Jakarta: Bhratara, 1980).

Rabu, 06 Juli 2011

Antropologi Psikologi


Bab I
PENDAHULUAN
A.    Hakikat Ilmu Antropologi Psikologi
Antropologi Psikologi (Psycological Anthropology) adalah subdisiplin ilmu antropologi. Ilmu antropologi psikologi adalah ilmu yang menjembatani kebudayaan dan kepribadian, yang menjadi fokus dari dua ilmu yang berbeda (antropologi dan psikologi), yang sebenarnya sangat erat hubungannya.
Antropologi dan psikologi adalah subdisiplin ilmu antropologi. Nama subdisiplin ilmu antropologi ini, sebenarnya nama baru dari ilmu yang dahulu dikenal dengan dengan nama Culture dan Personality (kebudayaan dan kepribadian), atau kadang juga disebut Ethno-psychology (psikologi suku bangsa). Subdisiplin ini sejak lahirnya sudah bersifat antardisiplin. Hal ini disebabkan karena bukan saja teori, konsep, serta metode penelitiannya dipinjam dai berbagai disiplin seperti antropologi, psikologi, psikiatri, dan psikoanalisa; melainkan juga para pendirinya berasal dari disiplin yang bermacam-macam, sebelum mereka menjadi ahli antropologi. Mereka itu antara lain adalah Margaret Mead (ahli antropologi), Abram Kardiner (ahli psikiatri), W.H.R. River (ahli psikologi), Erik H. Erikson (ahli psikoanalisa neo freudian), dan lain lain. Berdasarkan tokoh-tokoh yang berasal dari berbagai disiplin ilmu menunjukan bahwa di sanalah ilmu antropologi budaya dan sosial dapat berhubungan dengan ilmu psikologi kepribadian, psikologi perkembangan, ilmu psikiatri, dan psikoanalisa secara sangat akrab dan produktif.
Beberapa peneliti berusaha melakukan penelitian yang berkenaan dengan antropologi psikologi. Menurut Singer penelitian antropologi psikologi dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok permasalahan besar,yaitu:
1. Kelompok hubungan kebudayaan dengan sifat pembawaan manusia (human nature).
2. Kelompok hubungan kebudayaan dengan kepribadian khas kolektif tertentu (typical personality), dan
3. Kelompok hubungan kebudayaan dengan kepribadian individual (individual personality).
Dari ketiga kelompok permasalahan besar itu timbul beberapa pokok permasalahan penelitian lainnya, yaitu:
a.    Hubungan antara perubahan kebudayaan dengan perubahan kepribadian, dan
b. Hubungan kebudayaan dengan kepribadian abnormal.

B. Sejarah Perkembangan Ilmu Antropologi Psikologi
Ada dua salah anggapan yang harus dikoreksi sehubungan dengan sejarah perkembangan ilmu antropologi psikologi: a) menganggap ilmu Antropologi Psikologi adalah subdisiplin baru dari ilmu Antropologi Umum; b) menganggap ilmu Antropologi Psikologi adalah suatu ilmu yang diciptakan oleh sarjana Amerika Serikat saja.
Jika lebih tepat lagi, lahir ilmu ini sudah sejak diadakan ekspedisi Cambridge ke selat Torres pada 1898 (Hunt, 1967: ix).
Yang paling penting bagi perkembangan ilmu Antropologi psikologi adalah Spengler, karena ia adalah teoritikus pertama yang telah mengajukan untuk pertama kali berpendapat tentang peminjaman unsur-unsur kebudayaan secara selektif, yakni suatu bangsa jika meminjam unsur kebudayaan lain akan memilih yang sesuai dengan kebudayaannya sendiri. Jika kurang sesuai, unsur kebudayaan asing tersebut akan dirombak sesuai dengan kebudayaan pribuminya.

C. Penelitian Antropologi Psikologi di Indonesia
Penelitian antropologi psikologi di Indonesia sedikitnya dibagi menjadi dua masa, yaitu: 1) sebelum perang dunia kedua, dan 2) setelah perang dunia kedua.
1. Masa Sebelum Perang Dunia Kedua
Penelitian antropologi psikologi di Indonesia, telah dimulai jauh sebelum orang di AS dan Inggris (antara 1920-1935) memulainya. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan seorang ahli antropologi Belanda bernama A.W. Niewenhuis terhadap sifat pembawaan manusia daro beberapa suku bangsa di Indonesia. Akan tetapi penelitian antropologi psikologi di Indonesia secara intensif bukanlah dilakukan oleh orang Belanda tersebut, melainkan oleh orang Amerika yang sekaligus merintis antropologi psikologi di negara mereka bahkan juga di dunia. Mereka itu adalah Cora Dubois dan Margaret Mead yang dibantu dengan Gregory Bateson. Tujuan penelitian Margaret Mead dan Gregory Bateson adalah untuk mengetahui kepribadian khas orang Bali, dengan jalan mempelajari cara pengasuhan anak di desa Bayung Gede.
2. Masa Setelah Perang Dunia Kedua
Setelah usai perang dunia kedua, topik akulturasi dan kontak sosial telah mendapat perhatian besar dari para ahli antropologi, terutama agi mereka yang mengadakan penelitian di daerah Pasifik dan Indonesia. Hampir semua kepustakaan di mengenai akulturasi di Indonesia berkesimpulan, fenomena akulturasi di Indonesia adalah juga krisis sosial. Ahli antripologi Belanda, J. Van Baal, misalnya menganggap krisis sosial karena usaha pihak Indonesia untuk menyesuaikan diri mereka dengan zaman baru. Utnuk mencapai itu orang-orang Indonesia harus mengubah dasar pandangan hidup serta dasar cara berfikir kunonya ke yang bersifat modern. Bagi J. Van Baal, proses akulturasi bukan hanya merupakan suatu proses masuknya unsur kebudayaan asing ke dalam kebudayaan pribumi semata-mata, melainkan juga merupakan suatu proses tambahan dan penyesuaian diri kembali dari cara hidup pribumi ke cara hidup modern.
Penelitian antropologi psikologi uang dilakukan ahli antropologi berkebangsaan Indonesia sendiri masih sedikit sekali, namun hasilnya cukup menarik. Dua orang ahli antropologi lulusan Universitas Indonesia misalnya, dalam rangka penulisan skripsi mereka telah mengadakan penelitian di bidang antropologi psikologi.


D. Peranan Penelitian Antropologi Dalam Pembangunan Indonesia
Penelitian Antropologi Psikologi di Indonesia ,empinyai peranan penting dalam pembangunan bangsa, karenadapat memberi bahan keterangan untuk kepentingan juga sebagai bahan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dalam arti sebagai individu sekaligus makhluk sosial yang merupakan kesatuan bulat, yang harus dikembangkan secara imbang, selaras, dan serasi (lihat Buku I: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, 1978: 41).
Metode penelitian yang dipergunakan untuk penelitian terdebut, adalah seperti apa yang telah dikembangkan ahli-ahli Antropologi Psikologi AS Florence R. Kluckkhohn dan Clyde Kluckkhohn, yang dapat dibaca dalam buku Variations in Value Orientations (Kluckkhohn & Strodbeck, 1961). Penelitian Koentjaraningrat itu sampai saat 1986 masih terus dilanjutkan dan belum diterbitkan.  Koentjaraningrat telah pula mencoba untuk meneliti nilai-nilai budaya yang terkandung dalam folklor suku bangsa masing-masing.

Bab II
BEBERAPA TEORI DAN KONSEP ANTROPOLOGI PSIKOLOGI
A.      Beberapa Teori Pembawaan Manusia
1)      Teori Seksualitas Kanak-kanak Sigmund Freud
Tahap Oral
Perasaan seksual anak yang pertama kali muncul adalah ketika sang anak mengemut puting payudara ibunya. Pada tahap yang sangat dini dan dimulai sejak anak dilahirkan hingga sekitar usia satu tahun ini , ibu merupakan objek seksual sang anak. Periode ini pun kemudian berlanjut pada tahap seksualitas masa kecil dimana sang anak akan terkesan akan penginderaan tubuhnya sendiri yang ditandai dengan kebiasaan bayi mengemut banyak bagian tubuhnya terutama jempolnya sendiri. Kebiasaan mengemut jempol dan benda-benda lain yang menempel di bagian tubuhnya seperti baju yang ia pakai dan sebagainya ini adalah merupakan kelanjutan dari mengemut puting susu ibunya. Emutan ini bersifat ritmis dan seringkali juga disertai dengan gesekan. Freud mengatakan bahwa hal ini akan mengarah pada masturbasi. Kegiatan ini sangat mengasyikan dan nyaman serta sering kali mengantar sang bayi pada tidur nyenyaknya.
Tahap Anal
Tahap ini berlangsung antara umur 1 hingga 3 tahun yang oleh Freud disebut sebagai fase latihan kamar kecil yakni fase ketika sang anak belajar untuk mengendalikan kandung kemih dan isi perutnya. Menurut Freud pada tahap ini anak-anak akan merasa sangat bangga karena bisa menghasilkan kotorannya sendiri. Ketika menjalani latihan kamar kecil ini, anak-anak seringkali memegang-megang kotorannya sendiri, karena ia ingin menikmati kesenangan erotis ketika mampu menghasilkan kotoran secara pribadi.
Tahap Phallic
Tahap ini berlangsung antara umur 3 hingga 5 tahun. Sekarang genital menjadi zona erogen dan anak mulai melakukan masturbasi. Zona genital anak kecil oleh ibunya sering dicuci, digesek dan sebagainya ketika sehabis buang kotoran atau pun mandi yang tanpa disadari oleh ibunya bahwa ketika terjadi gesekan, bilasan dan sebagainya ini membuat sang anak merasa nyaman dan terangsang. Dan dengan segera sang anak pun kemudian mencoba untuk melakukannya sendiri dengan gesekan tangan atau dengan merapatkan paha. Disamping perpindahan zina rangsangan yang mengarah ke zona genital, pada masa ini pun menurut Freud semua anak pada tahap ini khusus untuk anak perempuan merasakan ‘penis envy’ yaitu sebuah kecemburuan kepada anak laki-laki yang memiliki penis. Para anak perempuan melihat diri mereka sendiri telah dikebiri oleh orang tuanya. Dalam tahap ini juga berkembang kompleks Oedipus yakni sang anak akan jatuh cinta pada ibunya sendiri dan menjadi cemburu terhadap ayahnya serta ingin membunuh serta menyingkirkan ayahnya agar tak menghalanginya.
Tahap Latensi
Menurut Freud, perasaan dari tahap Oedipal akhirnya ditekan dan dorongan dorongan seksual mereda hingga tibanya masa pubertas.
Tahap Genital
Tahap terakhir pada perkembangan seksual pun adalah tahap genital ini yang berlangsung sejak pubertas dan seterusnya. Pada tahap ini terjadi pembaharuan terhadap minat seksual dan objek yang baru pun ditemukan untuk pelampiasan dorongan seksnya.
2)      Teori Gejala Akil Balig Margaret Mead
 Menurut hasil penelitian, Mead berkesimpulan bahwa para gadis di Samoa tidak mengalami gejala akil baligh, karena keluarga orang samoa buka termasuk keluarga inti, sehingga seorang anak tidak selalu harus berhubungan terus-menerus dengankedua orangtuanya, tetapi juga mendapat kesempatan untuk berhubungan secara bebas dengan anggota kerabatnya yang lain. Penelitiannya di Papua, Mead berkesimpulan bahwa perbedaan sifat-sifat kepribadian atau temperamen antar laki-laki dan wanita tidak bersifat universal, karena dalam kebudayaan Arapesh tidak ada perbedaan temperamen antar laki-laki dan perempuan, keduanya mempunyai kepribadian yang halus, lembut, dan pasif. Sebaliknya pada masyarakat Mundugumor, kedua jenis kelamin mempunyai kepribadian yang kasar, keras, dan agresif seperti yang dimiliki laki-laki pada umumnya masyarakat Eropa-Amerika. Pada masyarakat Tchambuli, kaum wanita pada umumnya berkepribadian kasar, keras, dan aktif, dan melaksanakan tugas berat, sedangkan laki-laki sebaliknya.


B.     Benerapa Teori Kepribadian Khas Kolektif Tertentu
1)      Teori Pola Kebudayaan Ruth Benedict
Teori Pola Kebudayaan (Pattern of Culture) dapat juga disebut sebagai teori konfigurasi kebudayaan, teori mozaik kebudayaan, teori representation colletive, atau teori etos kebudayaan. Teori benedict dapat diringkas sebagai berikut: “Di dalam setiap kebudayaan ada aneka ragam tipe temperamen, yang telah ditentukan oleh faktor keturunan (genetic) dan kebutuhan (konstitusi), yang timbul berulang-ulang secara universal. Namun setiap kebudayaan hanya memperbolehkan jumlah terbatas dari tipe temperamen tersebut berkembang. Dantipe-tipe temperamen tersebut hanya yang cocok dengan konfigurasi dominan. Mayoritas dari orang-orang dalam segala masyarakat akan berbuat sesuai terhadap tipe dominan dari masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena temperamen mereka cukup plastis untuk dibentuk tenaga pencetak dari masyarakat. Ini adalah apa yang disebut tipe kepribadian normal. Benedict berpendapat bahwa tidak ada kriteria yang shahih(valid) mengenai tipe kepribadian “normal” dan “abnormal”. Suatu kepribadian dianggap normal apabila sesuai dengan tipe kepribadian yang dominan, sedangka tipe kepribadian yang sama jika tidak sesuai dengan kepribadian yang dominan akan dianggap abnormal alias tidak normal atau penyimpangan (derivant).
2)   Teori Gaya Hidup Petani Desa Robert Redfield
Menurutnya masyarakat di kelompokkan menjadi 3 bagian:
a.       Folk, masyarakat primitif yang belum memiliki kebudayaan;
b.      Person society, masyarakat petani desa yang memiliki ketergantungan dengan masyarakat kota;
c.       Urban society: ketergantungan pada masyarakat desa, kebudayaan kompleks, mengenal peradanab.

3)   Teori Kepribadian Status Ralph Linton
Kepribadian status adalah seperangkat kepribadian tipikal yang sesuai dengan status seseorang di dalam masyarakatnya. Status tersebut berkaitan dengan pekerjaannya. Seorang pribadi yang menduduki status sosial harus mengembangkan sikap dan emosi yang sesuai dan berguna bagi status tersebut.
Pribadi-pribadi yang dapat membawakan kepribadian statusnya dengan baik dan tepat, adalah orang yang penyesuaian dirinya baik.
4)   Teori Struktur Kepribadian Dasar Kardiner Linton dan DuBois
Struktur Kepribaduian Dasar ini sebenarnya adalah alat penyesuaian diri individu, yang umum bagi semua individu di dalam suatu masyarakat.
Yang termasuk dalam struktur kepribadian dasar adalah: (1) teknik berfikir (technique of thinkings), misalnya apakah ilmiah atau animistis; (2) sikap terhadap benda hidup atau mati (attitude toward objects), misalnya menerima atau menolak, tergantung dari pengalaman sewaktu masih kanak-kanak (anak yang semasa kecilnya dikejami ibunya, setelah dewasa akan menolak wanita misalnya); (3) sistem keamanan dan kesejahteraan (security system), yang dapat dinilai dari kecemasan (axciety) dan kekecewaan karena ketidak berdayaan (frustration) sewaktu masih kanak-kanak (seorang anak yang semasa kanak-kanaknya selalu dalam keadaan kelaparan, akan menjadi orang yang bersifat hemat setelah dewasa misalnya); dan pembentukan super ego, atau bagian dari kepribadian dari individu yang terbentuk dengan jalan mengambil-alih pandangan hidup dari orang tuanya (Kardiner, 1961: 230).
5)      Teori Kepribadian Rata-rata DuBois
Teori Kepribadian Rata-rata timbul sebagai akibat penelitian ai pulau Alor yang dilakukan Cora DuBois.
Terjadinya tipe kepribadian rata-rata, menurut Cora DuBois, adalah sebagai hasil saling pengaruh-mempengaruhi antara kecenderungan dan pengalaman dasar, yang ditentukan oleh proses fisiologis neurologis. Tipe kepribadian rata-rata pada umumnya ada pada kolektif manusia dalam usaha menghadapi lingkungan kebudayaan, yang menolaknya, mengarahnya, dan memuaskan segala kebutuhan.


6) Teori Kepribadian Orang Modern Alex Inkeles
Menurut ia tujuan utama pembangunan ekonomi adalah memungkinkan setiap orang untuk mencapai suatu taraf hidup yang layak. Namun pada akhirnya ide pembangunan mengharuskan adanya perubahan watak manusia—suatu perubahan yang merupakan alat untuk mencapai tujuan yang berupa pertumbuhan yang lebih lnjut lagi, dan bersamaan itu juga merupakan tujuan besar proses pembangunan itu sendiri. Perubahan watak tersebut adalah perubahan dari yang tradisional menjadi yang modern. Apa yang dimaksud dengan manusia modern itu? Dan apa yang membuatnya modern?
o Pertama, peerubahan dari manusia yang leih tradisional menjadi manusia yang modern, seiring berarti melepaskan cara berfikir dan berperasaan.
o Kedua, sifat yang membuat seorang menjadi modern itu tidak sering tampak sebagai suatu ciri yang netral, tetapi merupakan ciri dari orang barat pada umumnya yang hendak dipaksakan pada orang lain, untuk menjadikan mereka sama seperti orang barat tersebut.
o Ketiga, tidak berguna atau cocok bagi kehidupan dan keadaan dari mereka.
Ciri khas orang modern ada dua, yaitu:
 Pertama ciri luar, mengenai lingkungan alam. Seperti;URBANISASI, PENDIDIKAN, politikasi, komunikasi massa dan industrialisasi.
Kedua ciri dalam, yaitu mengenai sikap, nilai dan perasaan. Seorang baru dapat menjadi modern apabila telah mengalami perubahan ciri dalam, dari yang tradisional menjadi modern.
7)  Teori Determinisme Masa Kanak-kanak Dalam Hubungan Kajian Watak Bangsa
Selama Perang Dunia ke II banyak antropolog Amerika dan Inggris, di antaranya Margaret Mead, Geofrey Gorer, Gregory Bateson dan Ruth Benedict diperbantukan pada pemerintah. Mereka mencoba untuk merumuskan konsep watak bangsa (national character) dari beberapa negara, seperti Uni Soviet, Rumania, Thailand dan Jepang.
Kesukaran yang dihadapi ialah sulit mengadakan perjalanan ke negara-negara yang akan diteliti karena situasi perang. Karenanya, cara yang dilakukan adalah mewawancarai orang-orang yang tinggal di AS, dan mengadakan studi literatur. Selain itu mempelajari sejarah Jepang, dan mencoba melihat dunia seperti yang diamati orang Jepang. Metode semacam itu dapat disebut meneliti suatu kebudayaan dari kejauhan. Dari penelitian tersebut dihasilkan beberapa teori, antara lain :
a.       Hipotesa Latihan Buang Air Besar Geofrey Gorer
Tahun 1943 Gorer menerbitkan artikel berjudul “Themesin Japanese Culture” yang mengungkapkan keterpukauan perhatian berlebihan dari orang Jepang terhadap upacara kerapihan dan ketertiban, sehingga dapat dibandingkan dengan sifat gangguan jiwa compulsive neurotic (gangguan jiwa yang berbuat sesuatu di luar keinginannya) yang menghinggapi beberapa penduduk di Eropa.
Hipotesa : Penyebab utama gangguan jiwa tersebut adalah latihan buang air besar (toilet training) yang diperoleh semasa kanak-kanak.
Menurut Gorer, dibalik sifat orang Jepang yang rapih dan tertib itu ada keinginan tersembunyi untuk berbuat agresif. Upacara yang bersifat teliti merupakan penyaluran dari dorongan hati yang berbahaya (dangerous urge) itu.
Sifat agresif yang terpendam itu akibat kebencian sewaktu bayi yang dipaksa melakukan sesuatu yang tidak dimengertinya, karena harus mengendalikan otot lubang dubur. Kebencian itu akan tetap merupakan sebagian dari kepribadiannya setelah dewasa nanti. Dalam keadaan normal, rasa kebencian tersebut tak tersalurkan dan ditekan. Akibatnya, jika ada peluang sifat agresif itu akan meletup kuat sehingga dapat bertindak kejam dan sadistis.
                    Kritik : Menurut Robert N.Bellah, penyebab terbentuknya sifat tertib      dan rapih orang Jepang ialah kode Samurai (samurai code) yang berkembang sejak zaman Tokugawa, dan mempengaruhi masyarakat melalui gerakan keagamaan. Kode Samurai ini dapat dibandingkan dengan Etika Protestan yang mempunyai ciri sifat suka bekerja keras dan pengingkaran pada kenikmatan diri (self denial).
b.      Hipotesa Pembedungan Anak Geogrey Gorer
Penelitian ditekankan pada praktek pengasuhan anak orang Rusia. Hasilnya memperoleh “kunci” dari watak mayoritas orang Rusia (The Great Russian Character) yang berupa pembedungan (swaddling), sehingga timbul sifat manic depressive masal pada orang Rusia dewasa pada umumnya.
Hipotesa : Penyebab utama gangguan jiwa tersebut adanya kekangan fisik semasa kanak-kanak melalui praktek pembedungan.
Menurut Gorer, pembedungan ini sangat menghambat gerak-gerik si anak dan juga ekspresi emosionalnya melalui seluruh tubuhnya. Sifat depressive timbul sebagai akibat terkekang perasaan selama dibedung sehingga frustasi dan putus asa. Sifat manic timbul waktu anak dilepas bedungnya, sewaktu disusui dan memperoleh kasih ibunya. Itulah sebabnya di satu sisi orang Rusia senang pesta bermabuk-mabukan (orgiastic feast), tapi di sisi lain merasa sedih dan berdosa sehingga sering mengadakan pengakuan dosa atas dosa yang tidak mereka lakukan.
Generalisasi kepribadian tipikal orang Rusia ini hanya berlaku pada orang Rusia dari golongan petani dan kaum buruh saja. Pada bangsa lain yang juga mempraktekan pembedungan tidak sampai mengakibatkan manic depressive, karena (1) cara pembedungan beraneka ragam, (2) lama pembedungan tidak sama.
Kritik : Menurut Bertram D.Wolfe, pengakuan dosa dilakukan pula oleh para pendeta Katolik Roma di Cekoslovakia kepada penguasa komunis. Jadi bukan dibedung, tapi mungkin dari tekanan dan siksaan kejam dari pihak penguasa totalitarian. Di Rusia banyak kaum intelek tidak pernah dibedung, tapi mengakui kesalahan yang tidak mereka lakukan dengan harapan agar diperingan hukuman.
Hikmah : (1) hipotesa Gorer yang menganggap bahwa 5 sampai 6 tahun pertama dari kehidupan seorang anak penting bagi pembentukan kepribadian dewasanya kelak, kini banyak dianut para ahli yang mempelajari perkembangan anak, (2) walau banyak kelemahan, hipotesa ini penting karena dapat dijadikan permasalahan untuk diuji di lapangan.
c.       Konsep Schismogenesis Gregory Bateson
Setelah PD II berakhir, para antropolog yang telah bekerja bagi pemerintah AS tetap meneruskan penelitiannya mengenai watak bangsa (national character) dengan suatu proyek penelitian yang disebut Contemporary Culture. Metode penelitian yang digunakan tetap sama, yaitu Study Culture from Distance. Adapun pendekatan teoritisnya adalah gabungan dari teori Freud tentang pentingnya pengasuhan anak, dan metode penganalisaan yang dikembangkan Gregory Bateson yang disebut konsep Schismogenesis (concept of schismogenesis), yaitu penelitian mengenai dua kutub yang kontras (bipolar interaction).

Konsep Schismogenesis

Schismogenesis adalah suatu proses pembedaan dalam norma-norma kekhasan pribadi sebagai akibat interaksi antara individu-individu yang terus menerus secara bertimbun banyak. Menurut Bateson, masyarakat di dunia berbeda dalam sifat pola interaksi bipolar tersebut. Dengan meneliti cara khas hubungan antar pribadi (interpersonal) dan antar kelompok (intergroup relationship) dapat menyimpulkan watak tipikal suatu masyarakat.
Seorang individu belajar dengan jalan mengambil alih pola watak (characteristic pattern) dari hubungan peran (role) dalam masyarakat tempat ia dilahirkan. Misalnya, seorang anak dalam hubungannya dengan orang tuanya akan berperan sebagai pihak yang menggantungkan diri (dependence), sedangkan orang tua sebagai pihak yang memberi bantuan (succoring).
Berdasarkan konsep Schismogenesis, bila kita hendak meneliti pola watak suatu suku bangsa, maka kita harus melihat interaksi bipolarnya. Interaksi bipolar untuk hubungan orang tua – anak misalnya dapat bersifat sebagai ; penguasa (dominance) – yang dikuasai (submission) memberi bantuan (succorance) – menggantungkan diri (dependence) mempertontonkan diri (exhibitionism) – menjadi penonton (spectatorship).

8)      Teori Watak Bangsa
a.      Teori Watak Bangsa Dipandang Sebagai Watak Kebudayaan
Teori ini berasumsi bahwa kesamaan sifat di dalam organisasi intra-psikis individu anggota suatu masyarakat tertentu, yang diperoleh karena mengalami cara pengasuhan yang sama di dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Ini berarti bahwa di dalam setiap kebudayaan, suatu kepribadian tipikal (kepribadian kolektif) disalurkan kepada kaum mudanya, sedikit banyak sesuai dengan konfigurasi yang dominan di dalam kebudayaan bersangkutan.
b.      Teori Watak Bangsa Dipandang Sebagai Watak Masyarakat
Teori watak masyarakat yang mengikuti tentang transmisi kebudayaan, juga menjelaskan fungsi-fungsi sosio-historikal tipe kepribadian tersebut. Penjelasan ini menghubungkan kepribadian tipikal dari suatu kebudayaan pada kebutuhan kolektif masyarakat. Unsur watak bersama tersebut membentuk watak masyarakat dari masyarakat tersebut.
c.       Teori Watak Bangsa Dipandang Sebagai Watak Kesukuan dan Kepribadian dari Kelompok-kelompok Masyarakat
Teori watak suku (kepribadian dari kelompok masyarakat) yang berpendapat bahwa terdapat perbedaan keprinadian tipikal kelompok masyarakat yang berbeda seperti petani desa, para birokrat, komunitas perkotaan dan pedesaan. Berdasarkan kajian para ahli, ditemukan suatu bentuk menonjol yang tidak dapat dianalisis menjadi data individu sehingga dikategorikan sebagai kerakteristik uatama dari kesatuan sosial.
d.      Teori Watak Bangsa Dipandang Sebagai Kepribadian Rata-rata
Teori Kepribadian Rata-rata dimaksudkan sebagai penyempitan teori watak bangsa. Menurut para ahli bahwa watak bangsa seharusnya disamakan dengan struktur kepribadian rata-rata. Kesesuaian dengan kehendak masyarakat atau kecocokan dengan pola kebudayaan tidak usaha merupakan defenisi dari watak bangsa.

C.       Beberapa Teori Mengenai Kepribadian Individual
Dengan pengetahuan kondisi umum psikologi masyarakat yang ingin dibangun tersebut dapat mempermudah dalam penentuan prioritas pembangunan serta penyesuaian proses pembangunan dengan karakteristik masyarakat. Sebenarnya metode ini sudah lama digunakan ketika era kolonialisme. Ketika itu yang digunakan adalah catatan-catatan etnografi yang menjadi dasar pengetahuan karakteristik wilayah dan masyarakat yang akan dijajah. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ilmu antropologi memang berasal dari kepentingan kolonialsme yang banyak membawa kesengsaraan. Namun, secara ilmu pengetahuan perkembangan itu membawa dampak positif dalam pembentukan tradisi keilmuan yang baru, yaitu yang berorientasi pada masyarakat.
                Watak suatu bangsa begitu kompleks karena tersusun dari berbagai watak manusia yang mungkin bisa saja sama, tetapi terdapat suatu poin di mana mereka memiliki identitas yang jelas tentang suatu hal yang bersifat umu dalam masyarakat mereka. Misalnya, etnis Jawa yang terkenal dengan kelemahlembutannya, ramah tamahnya, dan lain-lain, kemudian orang Batak dengan watak keras dan tegas, dan sebagainya. Dalam bab ini disebutkan bahwa:
Linton yang juga berpendirian bahwa tiap kebudayaan mempunyai kepribadian umum, menyatakan bahwa kepribadian umum adalah sejumlah ciri watak yang kadang-kadang seluruhnya dan ada kalanya hanya sebagian berada dalam jiwa dari sebagian besar warga dari suatu masyarakat. Hal itu disebabkan karena selain ditentukan oleh bakatnya sendiri, kepribadian individu juga ditentukan oleh latar-belakang kebudayaan dan sub-kebudayaan dari lingkungan sosial di mana individu itu dibersarkan.
Berbagai macam teknik digunakan dalam menganalisis kepribadian umum suatu masyarakat. Bahkan beberapa ahli mengadopsi metode dari ilmu lain terutama psikologi untuk mendapatkan apa yang ingin dicari penliti. Di awal perkembangannya, teknik pengamatan menjadi metode yang khas dalam mengamati watak masyarakat, contohnya Ruth Benedict yang meneliti etos kebudayaan di suku Zuni (Indian), Dobu (Papua Nugini), dan Kwakuitl (Kanada); Malinowsky yang meneliti masyarakat Trobriand; dan Margareth Mead yang tertarik dengan perbedaan psikologi pria dan wanita di suku Arapesh, Mundugumor dan Tchambuli. Kemudian mulai tradisi baru antropologi yang berdasarkan teknik eksak dipelopori oleh Ralph Linton. Lalu ada pula studi data pengalaman individu yang melihat kepribadian suatu bangsa dari rekaman-rekaman sejarah yang kemudian dianalisis untuk menentukan alur kepribadiannya. Yang sekarang banyak dikenal dengan biografi.
Teknik-teknik dalam antropologi-psikologi merupakan sutu teknik yang menggabungkan antara analisis individual dan kolektif, karena suatu masyarakat tidak mungkin lepas dari pengaruh individu-individu di dalamnya. Oleh karena itu, kompleksitas dalam analisis diperlukan untuk menguak susunan psikologis suatu masyarakat yang membentuk watak masyarakat.
Pengetahuan ini berguna dalam menelaah latar belakang psikologis suatu masyarakat, sehingga pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan dapat terlaksana. Pembangunan berbasis masyarakat menciptakan masyarakat berdaya dan berbudaya. Keberdayaan memungkinkan suatu masyarakat bertahan dan mengembangkan diri untuk mencapai kemajuan. Sebagian besar masyarakat berdaya adalah indifidunya memiliki kesehatan fisik, mental, terdidik, kuat dan berbudaya. Membudayakan masyarakat adalah meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi tidak mampu lepas dari kemiskinan, kebodohan, ketidaksehatan, dan ketertinggalan. Untuk mendorong masyarakat berdaya dengan cara menciptakan iklim atau suasana yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Pengembangan daya tersebut dilakukan dengan mendorong, memotivasi, dan membangikitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki masyarakat. Penguatan tersebut meliputi penyediaan berbagai masukan serta membuka akses pada berbagai peluang yang ada. Masyarakat menjadi pelaku utama pembangunan, dengan inti pemberdayaan adalah manejemen kearifan lokal komunitas menuju kesejahteraan bersama. Pemberdayaan ini merupakan sarana ampuh untuk keluar dari kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan menuju kesejahteraan bersama.


Bab III
BEBERAPA METODE PENELITIAN ANTROPOLOGI PSIKOLOGI
A.    Metode-metode Etnografis
(1)   Metode wawancara
Wawancara etnografi merupakan jenis peristiwa percakapan (speech event) yang khusus. Metode wawancara merupakan metode untuk memperoleh data dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada informan.
a. Jenis-jenis Wawancara
1. Wawancara berencana, yaitu wawancara yang dilaksanakan melalui teknik-teknik tertentu, antara lain menyusun sejumlah pertanyaan sedemikian rupa dalam bentuk angket questioner.
2. Wawancara tidak berencana, yaitu wawancara yang tidak direncanakan secara sistematis dan tidak menggunakan pedoman wawancara. Wawancara ini dilaksanakan untuk memperoleh tanggapan tentang pandangan hidup, system keyakinan, atau keagamaan.
Metode wawancara tidak berencana masih terbagi lagi menjadi 2 macam yaitu :
a.    Wawancara terfokus (focused interview), yaitu terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak berstruktur, tetapi terpusat pada satu pokok.
b. Wawancara bebas (free interview), yaitu pertanyaan yang tidak terpusat, melainkan dapat berpindah-pindah pokok pertanyaan.
Adapun jika dilihat dari bentuk pertanyaannya, kedua wawancara di atas dapat dibagi lagi menjadi 2 kategori yaitu :
1. Wawancara tertutup, yaitu terdiri dari berbagai pertanyaan yang jawabannya terbatas. Terkdang pilihan jawaban hanya berbentuk “ya” dan “tidak”.
2. Wawancara terbuka, yaitu pertanyaan yang jawabannya berupa keterangan atau cerita yang luas.

(2)   Metode Pengamatan
Metode observasi disebut juga metode pengamatan lapangan. Metode ini dilakukan melalui pengamatan inderawi., yaitu dengan melakukan pencatatan terhadap gejala-gejala pada objek penelitian secara langsung dilapangan.
Pada metode ini pengumpulan data dilakukan dengan mencatat semua kejadian atau fenomena yang diamatai ke dalam catatan lapangan ( field notes ).
a.       Jenis-jenis metode pengamatan
Ada tiga macam jenis pengamatan, yaitu :
1.    Pengamatan biasa
Pengamatan yang dilakukan tanpa terlibat atau kontak langsung dengan informan yang menjadi sasaran penelitiannya.
2. Pengamatan terkendali
Konsepnya hampir sama dengan pengamatan biasa. Akan tetapi perbedaanya pada metode ini peneliti terlebih dahulu memilih secara khusus calon informan sehingga mudah untuk diamati.
3. Pengamatan terlibat
Atau bisa disebut pengamatan partisipasi, yaitu metode di mana selain mengamati, peneliti juga ikut terlibat dalam kegiatan yang berlangsung serta mengadakan hubungan emosional dan soial dengan para informannya. Metode yang dalam bahasa Jerman disebut “verstehen” ini merupakan metode paling umum digunakan dalam penelitian etnografi.
4. Pengamatan penuh
Yaitu penelitian mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang sedang diteliti. Peneliti sudah diterima dan masuk ke dalam struktur masyarakat yang diamatinya. Dalam kondisi seperti ini, peneliti dapat dengan mudah bergaul.

B.     Metode Ilmu Sosial Lainnya
(1)   Metode Pengimpulan Data Riwayat Hidup Individu
Tujuan penelitian Antropologi Psikologi dengan mempergunakan metode pengumpulan dan menganalisa riwayat hidup untuk memperdalam pengertian dari si peneliti terhadap masyarakat di mana tokoh-tokoh itu hidup.
Metode analisa riwayat hidup individu sangat berguna bagi penelitian antropologi psikologi, antara lain:
a)      Data riwayat hidup individu penting bagi si peneliti, untuk memperoleh pandangan dari dalam mengenai gejala-gejala sosial dalam suatu masyarakat melalui pandangan dari para warga sebagai partisipan dari masyarakat yang bersangkutan.
b)      Data riwayat hidup individu penting bagi si peneliti, untuk mencapai pengertian mengenai masalah individu warga masyarakat yang suka berkelakuan lain.
c)      Data riwayat hidup individu penting bagi si peneliti, untuk memperoleh pengertian mendalam tentang hal-hal psikologis yang tak mudah diamati dari luar, atau dengan metode wawancara berdasarkan pertanyaan langsung.
d)     Data riwayat hidup individu penting bagi si peneliti, untuk mendapat gambaran yang lebih mengenai detail dari hal yang tidak mudah akan diceritakan dengan metode wawancara berdasarkan pertanyaan langsung.
(2)   Metode Penggunaan Test-test Proyeksi
a.    Test Rorschsch
b.    Test Apersepsi Tematik
c.    Test Proyeksi untuk Penelitian Antropologi Psikologi
(3)   Metode Mencatat Mimpi
(4)   Metode Survei Lintas Budaya
(5)   Metode Mempergunakan Folklor Sebagai Bahan Penelitian Antropologi Psikologi