"WELCOME IN MY BLOG"

Selamat Datang di Blog Saya Semoga Pengunjungan Anda ke Blog Saya Bisa Memberikan Manfaat untuk Anda dan Terimakasih atas Kunjungannya

Rabu, 06 Juli 2011

AGAMA-AGAMA TRADISIONAL ORANG BATAK


PENDAHULUAN

Setiap perkembangan masa kini tidak dapat dilepaskan dari dasar pengembangannya pada masa lampau. Khususnya untuk Batak hal itu sangatlah penting artinya, karena sekalipun mereka terpisah, dasar-dasarnya tetap sama.
Prinsip kebersamaan yang dijujung tinggi oleh suku Batak dalam konteks patriarchal alkitabiah, jelas mempunyai unsur-unsur positif yang dapat dikembangkan secara maksimal kalau dikerjakan bersama-sama. Kerjasama itu perlu,
Karena permasalahan yang di hadapi adalah adat yang mendasari tingkah laku bangsa Batak dan selama seratus tahun lebih juga telah menjadi sistem.
            Mudah-mudahan dengan adanya sedikit makalah ini bisa memberi sedikit pengetahuan kepada kita terhadap suku Batak, dan bermanfaat ilmu yang kita pelajari dan bisa kita aplikasi dalam masyarakat yang fanatic terhadap suku Batak.















Bab I
Metologi Batak dan Jenjang Kehidupan Manusia Zaman Keberhalaan
A.  Manusia dalam  mitologi batak
1.    Catatan Etnografis
Secara genealogis-antropologis, asal-usul suku batak yang bermukim di bagian utara dan barat laut pulau sumatera terdiri dari enam suku atau cabang, yaitu suku Karo, Pakpak atau Dairi, Simalungun, Toba, Angkola dan suku Mandailing. Yang masing-masing punya bahasa atau dialek sendiri. Suku batak dimasukkan dalam rumpun melayu yang menamakan dirinya bahasa Indonesia.[1] Arti batak sampai sekarang belum dapat dijelaskan secara past da memuaskan. Menurut J. Warneck, batak berarti “Penunggang Kuda yang lincah”, tapi menurut H.N.van der tuuk, batak berarti “kafir”, sedangkan tokoh-tokoh yang lain mengartikannya “budak-budak yang bercap atau ditandai”.
Di Indonesia terdapat berbagai macam suku. Bahkan di indonesialah terdapat suku yang paling banyak dan beragam. Tapi suku batak ini lain halnya dengan suku-suku lain yang relative mudah menerima dan mennyesuaikan keadaan dengan pengaruh-pengaruh yang dating dari luar, baik secara antropologis maupun cultural, seperti halnya dalam bahasa. Maka suku batak termasuk suku yang paling sukar menerima pengaruh dari luar. Bahkan sampai pertengahan abad ke-19,mereka masih tetap dengan norma-norma yang telah mereka warisi.
Menurut beberapa prasasti peninggalan zaman Adityawarman abad ke-14, sekelompok murid dan pengikut aliran Mahayana telah memasuki daerah pedalaman Sumatera Utara dan mereka menetap di sana, di tengah-tengah daerah pegunungan. Oleh sebab itu, di daerah pedalaman itu terdapat pengaruh agama Mahayana, yang murid-muridnya oleh dunia pengetahuan masa kini diakui sebagai nenek moyang suku batak yang kini mendiami daerah itu.[2]
Sifat tertutup orang batak mulai terbuka ketika penyerbuan dan pendudukan islam di bagian selatan daerah batak pada tahun 1830-an, yang kemudian disusul dengan masuknya reinse Zending ( Rheinische Missionsgesselschaft; RMG; badan penginjilan dari jerman ) pada tahu 1861, hampir bersamaan dengan permulaan masa pendudukan belanda secara bertahap atas daerah Batak.
Suku batak sudah mempunyai kebudayaan sendiri dan juga telah memiliki keterampilan yang tinggi. Ada beberapa benda yang di anggap berpengaruh dalam kehidupan orang-orang batak, ada yang sangat berpengaruh dalam khidupan orang-orang batak yaitu aksara batak sendiri.hanya dengan membaca dan memahami aksara batak ini orang dapat mengetahui keanehan-keanehan dan keganjilan-keganjilan yang terdapat dalam jampi dan mantra datuk batak. Namun sangat disayangkan karena penulisan hukum batak, syair,pantun,umpama,dongeng dan silsilah batak yang sangat penting kedudukannya dalam budaya batak tidak dituangkan dalam bentuk tulisan. Sebenarnya orang-orang barat telah mencoba melakukan penulisan itu namun gagal, cerita-cerita peninggalan nenek moyang yang mereka dapatkan tidak ditulis sesuai aslinya, banyak yang diubah sehingga tidak lagi memberikan gambaran keotentikannya mengenai budaya dan filsafat barat itu sendiri. Ukiran-ukiran serta pahatan pada rumah orang batak sangat indah dan menggambarkan kepekaan rasa pengukirnya. Begitu juga dengan hasil tempaan para pandai besi dan para penenunnya. Semua ini membuktikan bahwa suku batak sangat menekuni pekerjaannya dengan mengandalkan pengetahuan da perasaan artistic yang dimilikinya. Dalam masalah pengolahan tanah oang batak bisa dikatakan cukup berhasil, karena dengan lahan yang bisa dijadikan pertanian,perkebunan cukup terbatas namun pada masa perang mereka tetap mempertahankan hidupnya denga hasil tanamannya sendiri.
Selain itu, masyarakat batak juga memiliki jiwa patriot dan sudah mengenal rabuk sejak lama. Sehingga sebagaimana orang-orang yang memiliki jiw keprajuritan dan gemar berkelahi, dalam soal pertikaian antar kelompok atau golongan mereka sangat cepat menggunakan senjata api. 
2.    Mitologi Tentang Lahirnya Suku Batak
Di sebelah barat laut Danau Toba terdapat gunung Pusuk Buhit, yang menurut mitologi orang batak itu adalah tempat asal suku Batak. Pada dasarnya sejak zaman keberhalaan orang-orang batak tela percaya kepada Allah yan Maha Esa, yang disebut Mulajadi Na Bolon. Yang menjadi awal dari segala yang ada, Dialah yang maha tinggi, Allah yang oleh suku batak dipercayai Allah dari segala yang Ilah yang menjadikan langit,bumi dan segala isinya,yang secara terus-menerus memelihara hidup ini, dia juga yakin bahwa Mulajadi Na Bolon berasal dari yang tiada dan siggasananya yang berada di atas langit ketujuh.
Orang-orng batak sangat percaya dengan doa pemujaan yang artinya yaitu;” Allah Yang Maha Agung,Yang tiga Rupa Yang Menguasai tiga kehidupan, Yang berkuasa atas tiga kerajaan yang berada di langit yang tujuh tingkat dan berada pada tujuh tingkat dan tujuh awan.
Tujuh tingkat itu menurut orang-orang  batak  memiliiki makna yang berbeda, yaitu pada langit tingkat pertama adalah tempat bagi mereka yang selama hidupnya selalu mengerjakan salah. Di tingkat kedua itu adalah tempat bagi mereka yang mencopet dan mencuri. Pada tingkat ketiga yaitu tempat para pemfitnah dan para pendusta. Dan pada langit keempat itu adalah tempat dari para penipu,pemecah belah persatuan dan pemberontak. Dari langit tngkat satu sampai empat itu semuanya dihuni oleh orang-orang jahat sedangkan tempat bagi orang-orang baik itu disediakan hanya dalam satu tingkat yaitu tigkat kelima. Sedangkan pada langit keenam itu merupka tempat khhusus, disana berdiri sebatang pohon yang memegang peranan penting dalam kehidpan orang-orang batak. Di sanalah roh-roh sebelum menjelma menjadi manusia itu memilih nasibnya sendiri. Ketentuan nasib merupakan filsafat hidup suku batak, yang diwarisi dari zaman keberhalaan nenek-Moyangnya. Di langi ketujuh yaiu langit tertinggi  bertahta mulajadi Na Bolon, Sang Awal Yang Maha Tinggi. Di sana dikelilingi dewa-dewa, raja-raja, dan pembesar-pembesar dunia ini.
3.    Dewa-dewa Dalam Mitologi Suku Batak
Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa suku batak telah mempercayai akan adanya legenda-legenda tentang kejadian manusia pertama. Di antaranya adalah yang paling terkenal yaitu cerita yang disajikan oleh W.M. Hutagalung dalam buku Pustaha taringot tu tarombo ni bangso batak (Pustaka tentang silsilah suku batak). Di dalam buku itu terdapat tentang pembuatan bumi, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia pertama yang menjadi nenek moyang suku batak. Diadalam buku ini di jelaskan beberapa tokoh dewa-dewa yang berpengaruh dalam proses terciptanya kehidupan, tumbuh-tumbuhan,hewan serta manusia pertama itu.
4.    Makna Sahala
Dalam filsafat batak terdapat istilah sahala, yang sangat besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup suku batak. Kalau diartikan menurut penafsiran J. Warnek, sahala adalah kewibawaan, kemewahan, kemuliaan dan kekuasaan. Tetapi sahala lebih tepat disejajarkan atau di anggap analog dengan perkataan “mana”. Sperti yang dikatakan Codrington dalam bukunya tentang ilmu pengeahuan etnologi bangsa-bangsa Polinesia-Melanesia.
Pada intinya seluruh upaya dan daya orang batak tertuju pada pengembangan dan penyempurnaan sahala. Sahala mencakup kewibawaan, kekayaan harta benda turunan, keberanian, kegagahan, kecerdasan, kecerdikan, kemahian bicara, keluhuran budi, rasa keadilan, kesaktian dalam ilmu ghaib, pengetahuan yang luas, dan lain sebagainya.
Orang akan diakui mempunyai sahala apabila dia sanggup membangun sebuah kampong baru, menang berjudi, menang berperang, menang berperkara dalam soal yang sebenarnya tidak wajar dia menangkan.
Dengan berbagai cara orang berusaha mendapatykan sahala. Supaya mereka mejadi orang terhormat dan kawin dengan anak-anak orang ber-sahala. Menurut adat-istiadat Batak suami wajib bersikap lebih hormat dan takut kepada sanak saudara laki-laki istri daripada keluarganya sendiri, karena berkat sahala pihak istrilah mereka mungkin memperoleh keteturunan. Oleh sebab itu suami wajib berusaha supaya dia disenangi oleh keluarga lelaki istrinya yang disebut hula-hula, supaya sahala mereka turun padanya.
Pada kenyataannya, kedua belah pihak selalu saling memberihadiah atau subangan, tetapi yang diberikan oleh pihak hula-hula dianggap memiliki tuah yang nilainya lebih tinggi. Pem berian pihak hula-hula, disebut ulos, dalam pengertian yang berbeda dengan artinya yang biasa, sedang pemberian pihak boru, anak perempuan yang sudah kawin, disebut piso-piso. Piso berarti pisau atau pedang. Menurut Van Ossenbruggen arti dan makna pemberian piso itu, pemberian ini melambangkan kepatuhan.[3]
Pemberian pihak hula-hula, yang disebut ulos, biasanya diterjemahkan dengan kain. Sebenarnya terjemahan itu kurang lengkap, karena sekalipun ulos berarti kain, dia adalah jenis kain yang memiliki kekhususan tersendiri. Oleh sebab itui, ulos pemberian hul-hula harus dibedakan dengan ulos adatyang mempunyai warna dan corak tertentu. Menurut kepercayaan suku Batak, ulos tersebut memiliki kekuatan magis. Pada kesempatan-kesempatan tertentu, hula-hula wajib memberi ulos kepada pihak boru dengan cara menyelimutipunggung pihak boru.
Dalam keadaan mandul, suami-istri bersangkutan pertama-tama wajib pergi mengunjungi pihak hula-hula, sebab menurut keyakinan suku Batak, kemandulan itu terjadi karena sahala hula-hula belum iklas atau belum sepenuhnya merestui perkawinan mereka. Pada kesempatan itu, pihak boru wajib menyembah minta maaf supaya hula-hula sudi memberkatinya.
Pada saat istri mengandung atau setelah melahirkan anak, pihak boru kembali mengantarkan makanan kepada pihak hula-hula dan memohon agar sahala hula-hula melindungi anak itu dari pengaruh-pengaruh jahat. Setelah semua selesai, maka sahala hula-hula telah mengayomi pernikahan boru dan akan melindunginya dari godaan-godaan jahat.
Dengan demikian, tambah jelaslah bahwa hula-hula memang andalan dalam hidup boru karena dialah yang member sahala sehingga pihak boru memperoleh turunan serta alat atau sarana untuk dapat lebih baik menghidupi anak-istrinya. Karena itu mudah dimengerti bahwa hula-hula harus dihormati.
Masalah anak dalam pikiran suku Batak sangatlah penting. Jumlah anak dianggap sangat mempengaruhi sahala orang tua. Kalau anak banyak, bertambah besar sahala-nya. Dengan demikian kemandulan istri dipandandang sebagai sesuatu yang merendahkan martabat sang suami, dan bila diantara anak-anaknya tidak ada laki-laki, hal itu akan dipandang sebagai suatu penghinaan yang menodai martabat pihak suami dan keluarganya.
Dengan demikian hanya anak laki-laki yang diharapkan dapat memelihara kelangsungan serta mempertahankan dan mengembangkan sahala keluarga serta kampungnya. Jikalau mati tanpa anak laki-laki, tali turunannya atau akarnya tiada, hidupnya dianggap tidak berfaedah.[4]
5.             Sistem Patriarkhal
Beberapa ahli etnologi berkata bahwa pada mulanya sistem matriarchal yang berlaku dalam masyarakat Batak.[5] Hal itu oleh M. H. Nasution dengan tegas  ditolak dalam disetasinya.[6] Penulis juga berpendapat demikian dan kiranya tidak perlu diuraikan .
Seorang bapak dianggap akan terus hidup dalam turunnya laki-laki, seperti yang dijeskan di bagian-bagian terdahulu. Anak perempuannya, oleh perkawinan menjadi anggota marga suaminya. Oleh sebab itu, dalam adat Batak hanya anak laki-laki saja yang secara sah menjadi ahli waris. Dia yang punya hak penuh atas semua peninggalan orangtuanya. Anak perempuan hanya menerima ulos, suatu pemberian untuk dibawa pergi pada saat ia kawin dan mengikuti suaminya. Ulos itu menjadi miliknya dan milik anak cucunya.[7] 
Jika anak laki-laki kawin, dia harus segara memisahkan dapurnya dari dapur orangtuanya. Dia harus berusaha mendirikan sebuah keluarga yang dapat dijadikan cikal-bakal sebuah perkampungan baru untuk dia dan anak-cucunya. Hasilnya ialah, di tiap-tiap daerah akan ditemukan satu marga sebagai penguasa dan marga lain yang tinggal di sana—umumnya mempunyai hubungan ke keluargaan dengan marga penguasa karena perkawinan (boru), berfungsi sebagai rakyat.[8]
B.  Jenjang Kehidupan Di Zaman Keberhalaan
Sejak dalam kandungan, anak sudah ada dalam ancaman roh-roh jahat. Untuk melindungi kandungannya, sang ibu harus melakukan berbagai ragam pantangan. Dia tidak boleh mengerjakan sesuatu setengah-setengah, seluruhnya harus diselesaikan sendiri supaya dia tidak memperoleh “anak sebelah”.[9] Dengan berbagai cara manusia berusaha supaya roh-roh jahat berbaik dengannya. Namun bila usaha itu terasa kurang atau tidak berhasil, mereka akan menggunakan mantra penolak roh-roh jahat supaya ibu dan anak terlindung dari celaka. Pada saat ibu melahirkan, penjagaan terhadap ibu dan anak diperketat karena pada saat itu roh-roh jahat akan mengganas. Untuk itu diminta bantuan datu yang memiliki ilmu penolak bala untuk melindungi dan meringankan penderitaan sang ibu yang melahirkan.
Tingkat kehidupan anak manusia berikutnya adalah, pada saat dia diberi nama. Ujar-ujar yang umum dikenal, seperti What is in a name atau Name ist Schall und Rauch, nama hanyalah bunyi dan angin lalu, tidak dapa dibenarkan dalam kerangka budaya batak. Nama adalah bayangan dari pribadi atau cita-cita orang yang menyandangnya dan merupakan bagian intrinsik dari kepribadiannya. Oleh sebab itu untuk memilih nama, jalan hidup anak itu perlu disingkap dan itulah yang diharapkan dari datu.
Bagi para datu, mengetahui nama orang yang dihadapi sangatlah penting artinya. Karena tanpa mengenal namanya, dia tidak mungkin dapat membantu atau menaklukkannya dengan ilmunya.
Dari uaraian di atas dapat dimengerti bahwa pemberian  sebuah nama dalam adat-istiadat Batak mempunyai arti yang penting. Untuk member nama pada seorang bayi, harus dicari hari yang baik. Pada kesempatan itu akan ditanyakan kepada datu, apakah nama yang dipilih oleh orangtua dan keluarga sudah sesuai dan patut untuk anak itu.

C.   Kosmologi Masyarakat Batak
Antara berpuluh-puluh suku kaum bangsa Melayu di Nusantara, masyarakat Batak adalah yang paling unik dengan sejarah budaya dan agama yang melingkarinya. Keunikan ini bukan sahaja kerana masyarakat Batak disinonimkan sebagai ‘masyarakat Kanibal’ tetapi kerana masyarakat Batak mempunyai budaya dan tamadun yang tinggi disebalik amalan kanibalistik.
Tradisi masyarakat Batak di Nusantara mempunyai sejarah yang lama, menjangkau jauh sehingga lebih kurang 300 SM hingga 600 SM, bertumpu di Sumatra, Indonesia. Pada peringkat awal (abad pertama) Sumatra di kenali sebagai Swarnabumi (bumi emas) oleh pedagang India – sejajar dengan penjumpaan emas di sini. Minat pedagang India terhadap emas menyebabkan pedagang-pedagang ini berbaik-baik dengan masyarakat pribumi – Batak. Dari semasa kesemasa, adat dan budaya pedagang India dihamparkan kepada masyarakat Batak yang menerimanya dengan mudah. Dalam sedikit masa, budaya masyarakat Batak banyak meresap budaya dan adat Hindu.
Sehingga kini masyarakat Batak paling banyak terdapat di Sumatra, terutamanya di kawasan Tapanuli. Disamping Sumatra masyarakat Batak juga menghuni kawasan-kawasan lain Nusantara, terutamanya Pulau Jawa dan kepulauan lain Indonesia, Semenanjung Malaysia, Singapura, Sabah, Sarawak, Brunei, Filipina, Sulawesi dan sebagainya. Pola pergerakan masyarakat Batak dari Sumatra ke kawasan-kawasan lain di Nusantara dipengaruhi oleh dua faktor. Pertamanya, kedatangan penjajah barat ke Nusantara pada abad ke-17 dan keduanya, ‘adat merantau’ yang merupakan sebahagian daripada budaya masyarakat Batak.
Sebagai konsekuen penjajahan, sebilangan masyarakat Batak menjadi hamba abdi yang dijual dalam pasaran. Pada abad ke 19, penjualan hamba Batak adalah ghalib di Sumatra dan Nusantara umumnya. Lebih kurang 300 hingga 600 hamba Batak dijual di Singapura dan Pulau Pinang setiap tahun oleh Inggeris. Apa yang menarik ialah hamba-hamba Batak ini dijual oleh masyarakat Batak sendiri kepada Inggeris di Sumatra yang kemudiannya dijual di tempat-tempat lain.
Hasil daripada proses migrasi hamba Batak, berkembanglah populasi Batak di Malaysia, terutamanya di kawasan Utara Semenanjung Malaysia. Diskripsi fizikal masyarakat Batak yang gelap, berbadan tegap dan berambut kerinting dapat dikesan di Utara Semenanjung sehingga kini.
Namun dari segi keagamaan dan kepercayaan, masyarakat Batak di Malaysia sudah terpisah sama sekali daripada ikatan adat dan kepercayaan masyarakat Batak di Sumatra yang masih bersifat animistik dan Javaistik. Superioriti ‘adat’ digantikan dengan ‘agama Islam’ bagi masyarakat Batak di Malaysia. Natijahnya, corak hidup dan pemikiran masyarakat Batak di Malaysia, baik di Pulau Pinang, Perak, Pahang mahupun Kelantan tidak lagi merefleks budaya dan adat masyarakat Batak asal dari Sumatra.
Kajian ini menumpu kepada gambaran kosmologi Batak Sumatra, sebagai representatif masyarakat Batak Nusantara. Kosmologi masyarakat Batak di Malaysia adalah tidak lain daripada kosmologi Islam.
Berbalik kepada perkembangan budaya Batak. Menurut Edwin M. Loeb dalam bukunya ‘Sumatra : Its History and People’, masyarakat Batak mewarisi tradisi yang berupa adunan budaya setempat dengan agama-agama besar dunia yang merebak ke kawasan ini sejak abad pertama lagi. Hinduisme, Buddhisme, Islam, Kristianiti dan Taoisme, semuanya sampai ke Sumatra dahulu sebelum merebak ke tempat-tempat lain di Indonesia dan kepulauan Melayu yang lain.
Kehadiran budaya Hindu pada persekitaran abad pertama disusuli dengan kedatangan agama Buddha yang bersinskrit dengan agama Hindu dan kepercayaan lokal. Kemasukan Islam pada persekitaran abad ke 8 hingga 13 makin merencahkan lagi agama masyarakat Batak dan Sumatra umumnya, yang sudah sedia bersinskrit dengan unsur-unsur lokal, Hinduisme dan Buddhoisme. Hasilnya, lahirlah ‘adat’, fenomena yang penting dalam kehidupan masyarakat Batak berbanding epistomologi agama.
Adalah tidak keterlaluan untuk dinyatakan bahawa masyarakat Batak secara umumnya memperolehi hampir kesemua fahaman spiritualnya dari India, terutamanya Hinduisme. Fahaman Hindu- Batak (pengadunan Hinduisme dengan kepercayaan lokal) kemudiannya merebak ke tempat-tempat lain di Indoensia.
Kata Loeb, antara beberapa elemen Hindu yang terdapat dalam kepercayaan Batak ialah idea ‘Pencipta’ dan ‘ciptaan’, stratifikasi syurga (langit), kebangkitan syurga (langit), nasib atau kedudukan roh selepas seseorang meninggal dunia, pengorbanan binatang, dan shamanisme (trans atau rasuk) sebenar-benarnya.
Fahaman keagamaan masyarakat Batak dapat dibahagikan kepada 3 bahagian: Kosmologi dan kosmogoni – dunia Tuhan (kedewaan) Konsep penduduk asal tentang roh. Kepercayaan tentang hantu, iblis dan nenek moyang.
Stratifikasi fahaman agama seperti di atas mirip kepada salah satu daripada fahaman Hindu. Orang Batak membahagikan kosmologinya kepada 3 bahagian. Bahagian atas adalah tempat bagi Tuhan dan Dewa. Bahagian tengah (dunia) untuk manusia dan bahagian bawah (bawah bumi) untuk yang mereka yang telah
mati – hantu, syaitan, iblis dan sebagainya.
Masyarakat Batak mempercayai kewujudan banyak Tuhan. Tuhan yang paling besar atau tertinggi kedudukannya ialah ‘Mula djadi na bolon’ – permulaan awal dan maha, atau ‘dia yang mempunyai permulaan dalam diriNya’. Konsep ini mempunyai persamaan dengan konsep ‘Brahman’ atau kala purusha Hindu.
‘Mula djadi na bolon’ berbentuk personal bagi masyarakat Batak dan tinggal di syurga yang tertinggi. Ia juga dihadiri oleh atribut-atribut ‘maha kebal’(immortality) dan ‘maha kuasa’ (omnipotence), justeru berupa pencipta segala-galanya dalam alam termasuk Tuhan. Dalam kata lain Mula djadi na bolon hadir dalam segala ciptaan.
Bersama-sama konsep Muladjadi na bolon – Tuhan Yang Maha Besar, masyarakat Batak secara pragmatiknya akrab dengan konsep Debata na tolu (Tiga Tuhan) atau apa yang dipanggil Tri-Murti atau Trinity dalam kosmologi Hindu.
Tiga prinsipal yang mewakili Debata na tolu ialah Batara Guru, Soripada dan Mangalabulan. Batara Guru disamakan dengan Mahadewa (Shiva) manakala Soripata disamakan dengan Maha Vishnu. Hanya Mangalabulan mempunyai sejarah kelahiran yang agak kabur dan tidak memperlihatkan persamaan dengan imej-imej kosmologi Hindu.
Antara tiga pinsipal ini, Batara Guru mempunyai kedudukan yang tinggi dan utama dikalangan masyarakat Batak, kerana sifatNya sebagai pencipta dan pada masa yang sama, hero kebudayaan yang mengajar kesenian dan adat kepada masyarakat Utara Sumatra ini.
Mangalabulan sebaliknya adalah prinsipal yang agak kompleks kerana disebalik merahmati dan menunaikan kebaikan dan kebajikan, Mangalabulan juga melakukan kejahatan atas permintaan, lantas menjadi Tuhan pujaan dan penaung bagi perompak dan pencuri – penjenayah secara umumnya.
Disamping tiga prinsipal utama ini – Debata na tolu, masyarakat Batak juga mempunyai banyak debata atau Tuhan yang lebih rendah stratifikasinya, misalnya debata idup (Tuhan Rumah), boraspati ni tano (spirit bumi/tanah) dan boru saniang naga (spirit air), Radja moget pinajungan (penjaga pintu syurga), Radja Guru (menangkap roh manusia) – tugasnya sama seperti malaikat Izarail dalam epistomologi Islam atau Yama dalam Hinduisme.
Debata adalah derivasi Sanskrit, deivatha. Dalam epistomologi Batak, debata mewakili Tuhan.Masyarakat Batak, seperti masyarakat Hindu, menerima kehidupan dalam nada dualiti. Kebaikan dan kejahatan saling wujud dalam kehidupan, dengan kebaikan menjadi buruan ultimat manusia.
Prinsipal jahat bagi masyarakat Batak ialah Naga Padoha, prinsipal yang terdapat pada aras paling bawah dalam hieraki tiga alam – iaitu di bawah bumi. Bersama-sama Naga Padoha ialah cerita bagaimana anak Batara Guru, Baro deak pordjar yang enggan mengadakan hubungan dengan Mangalabulan di langit, turun ke lautan primodial (sebelum bumi dicipta). Apabila Batara Guru mengetahui insiden ini, dia menghantar segenggam tanah melalui burung layang-layang yang diletakkan pada lautan primodial. Hasilnya terjadilah bumi. Kemudian, dicipta pula tumbuhan, binatang dan haiwan. Hasil daripada hubungan anak Batara Guru dengan seorang hero dari langit (dihantar oleh Batara Guru) lahir generasi manusia.
Naga Padaho yang asalnya berkedudukan di lautan primodial telah disempitkan kedudukannya kerana pembentukkan dan perkembangan bumi dari semasa ke semasa. Kerana kesempitan ini, setiap pergerakkan Naga Padaho mengakibatkan gempa bumi. Mitologi ini selari dengan konsep fatalistik Batak bahawa dunia akan hancur pada satu masa nanti, apabila Naga Padaho berjaya membebaskan diri daripada himpitan Batara Guru.
Lee Khoon Choy, dalam bukunya Indonesia Between Myth and Reality mempunyai cerita asal usul dunia yang berbeza. Menurut Lee, pada awalnya terdapat satu Tuhan iaitu Ompung Tuan Bubi na Bolon – Tuhan omnipresent dan omnipotent. Ompung bermakna ‘moyang’. Semasa dia, Ompung Tuan Bubi na Bolon bersandar pada sebatang pohon banyan (beringin atau wiringin), ranting yang reput patah dan jatuh ke dalam laut. Ranting reput ini menjadi ikan dan hidupan air yang lain. Kemudian jatuh lagi ranting dan terciptalah serangga. Ranting ketiga yang jatuh membentuk binatang seperti rusa, monyet, burung dan sebagainya. Ini disusuli dengan penciptaan kerbau, kambing, babi hutan dan sebagainya.
Hasil daripada perkhawinan dua ekor burung yang baru dicipta iaitu Patiaraja (lelaki) dan Manduangmandoing (perempuan) bermulanya kelahiran manusia daripada telur Manduangmandoing ketika berlakunya gempa bumi yang dasyat.
Meskipun berbeza dengan Loeb, mitos asal usul yang dibawa oleh Lee memperlihatkan persamaan pada dasarnya- asal usul manusia daripada telur dan pengaruh gempa bumi (karenah Naga Padoha). Dilihat dari mata kasar, kisah asal usul ini berupa mitos yang tidak dapat diterima akal tetapi kekayaan mitos ini ialah, ia juga berupa alegori yang kaya dengan persoalan mistisisme, apabila dilihat dari perspektif intrinsik – hampir sama seperti peperangan dalam Mahabaratha dan Ramayana. Apabila dikiaskan dengan mistisisme Hindu-Buddha, Naga padoha adalah tidak lain daripada Kundalini yang berkedudukan di tengah-tengah jasad manusia (dekat anus).
Dalam epistomologi Vaishnava (salah satu daripada aliran Hindu), avatara Maha Vishnu – Krishna Paramatma berlawan dengan Naga Kaliya, yang akhirnya tunduk kepada Krishna Paramatma. Secara intrinsik, alegori ini mengisahkan kejayaan Krishna Paramatma menawan nafsu (dilambangkan oleh naga/ular). Kalau Naga Padoha adalah Kundalini, bumi adalah jasad mansia, manakala Batara Guru adalah roh atau debata atau tondi yang hadir bersama-sama manusia apabila dicipta. Simbologi Naga (Ular) dalam mitologi Batak adalah universal sifatnya. Dalam epistomologi agama-agama Semitic, kita dapati watak ular diberikan pewarnaan hitam(jahat). Kisah pembuangan Adam dan Hawa (Eve) ke bumi adalah akibat hasutan ular terhadap Hawa yang kemudiannya menggoda Adam dengan kelembutannya.
Ironinya, masyarakat Batak percaya suatu masa nanti dunia akan hancur apabila Naga padoha bangun memberontak. Tetapi, selagi rahmat dan bimbingan Batara Guru masih ada pada manusia, selagi itu mereka akan dapat menundukkan Naga Padoha dan hidup dalam harmoni. Tidak hairanlah sekiranya Batara Guru menjadi debata paling popular bagi masyarakat Batak dan Indonesia umumnya.
Koding, seorang lagi sejarahwan berpendapat terdapat banyak elemen identikal diantara mitologi Batak dengan Hindu. Boru deak pordjar – anak Batara Guru adalah Dewi Saraswati dalam Hinduimse. Batara Guru di samakan dengan Mahadewa (Shiva) dan juga dengan Manu – manusia pertama di bumi. Brahma dipersonifikasikan dengan watak Svayambhu – dia yang wujud daripada dirinya sendiri.
‘Telur dunia emas’ dari mana asalnya Svayambhu sebagai Brahman dan mencipta manusia dan Tuhan (tradisi Hindu), diubahsuai dalam mitologi Batak kepada tiga biji telur, dari setiap satunya lahir satu Tuhan. Justeru, ayam (manuk) yang melahirkan telur ini dianggap utama dalam kedudukan mitologi spiritual masyarakat Batak. Telur manuk (ayam) ini, dalam tradisi Tantrik dipanggil salangram atau speroid kosmik. ‘Roh’ adalah elemen terpenting agama dan adat masyarakat Batak. Konsep supernatural (mana) pula, hampir-hampir tidak wujud di sini. Konsep yang dominan dikalangan masyarakat Batak ialah tondi. Menurut Warneck, otoriti unggul kajian tentang masyarakat Batak, tondi ialah ‘spirit’ (tenaga halus), ‘roh manusia’, ‘individualiti manusia’ yang wujud sejak manusia berada dalam rahim ibunya lagi. Pada ketika ini ia menentukan masa depan anak yang bakal dilahirkan itu.
Tondi wujud hampir kepada badan dan sesekala meninggalkan badan. Peninggalan tondi menyebabkan orang berkenaan jatuh sakit. Justeru itu, pengorbanan dilakukan oleh seseorang untuk menjaga tondinya agar sentiasa berada dalam keadaan baik .Semua orang mempunyai tondi tetapi kekuasaan tondi berbeza daripada seorang dengan seorang yang lain. Hanya tondi tokoh-tokoh besar dan utama kedudukannya dalam masyarakat mempunyai sahala – kuasa supernatural (luar biasa atau semangat/keramat). Rasional kepada perbezaan ini sama dengan konsep fatalistik Hindu, yang beranggapan bahawa segala kecelakaan hidup telah ditetapkan sebelum lahir lagi dan tidak boleh dihindari. Kerana kelahiran adalah dalam kedudukan yang baik maka tondinya juga akan berada dalam kedudukan yang baik (berkuasa).
Bilangan tondi yang terdapat pada seseorang bervariasi daripada satu dan tujuh. Sebahagian masyarakat Batak percaya bahawa setiap orang hanya mempunyai satu tondi manakala sebahagian lain mengangkakan tujuh tondi bagi setiap individu.
Konsep lain berkaitan dengan tondi ialah begu (hantu atau iblis).
Begu ialah tondi orang mati. Bukan semua tondi adalah begu . Tondi yang natural tanpa perkaitan dengan kejahatan dikenali sebagai samaon. Setapak lebih tinggi daripada samaon ialah semangat atau debata (sama tahapnya dengan Tuhan) yang bervariasi mengikut fungsi dan kekuasaannya. Shamanisme – tradisi menurunkan roh atau tondi orang yang sudah mati kedalam tubuh orang lain (yang masih hidup) yang dilakukan semata-mata untuk berkomunikasi dengan roh orang-orang yang sudah mati adalah tradisi yang paling popular di Utara Sumatra. Shaman (orang yang dituruni tondi atau ‘si baso’) terdiri daripada kedua-duanya, lelaki dan perempuan. Masyarakat Batak primitif yang tidak akrab dengan shamanisme (terutamanya di kepulauan Barat Sumatra) bergantung kepada dukun (seer – bahasa Inggeris atau ‘kavi’ – bahasa Sanskrit). Bezanya dukun dengan shaman, tondi (juga debata dan spirit) berkomunikasi secara personal dengan dukun. Dukun kemudian akan menyampaikan mesej wujud halus (tondi, debata dan spirit) atau mengubat pesakit mengikut pesanan wujud halus.
Shaman pula hanya berfungsi sebagai media untuk membolehkan tondi berkomunikasi dengan orang-orang yang ingin berurusan dengannya. Perhubungan ‘tondi’ dengan orang yang memanggilnya adalah langsung, berbeza dengan hubungan melalui dukun (orang ketiga).
Dukun Batak biasanya lelaki dan dikenali sebagai datu. Meskipun dukun Batak tidak mempunyai satu sistem atau institusi bagi melatih datu – kelompok masyarakat ini menjadi penjaga dan bertanggungjawab memperturunkan ritual esoterik dan pembelajaran (spiritual) Hindu dan lokal dari generasi ke generasi. Seperkara yang menarik pada amalan masyarakat Batak ialah konsep melihat kehidupan pada detik ‘kini dan sini’(here and now). Mereka percaya tondi yang ada pada mereka perlu dijaga dan dihidupi dengan sebaik-baiknya di sini (dunia) dan kini (sekarang). Mereka tidak menunggu bagi masa akan datang untuk mendapat balasan. Konsep ini meskipun boleh dilihat dari perspektif eksistensialis, juga boleh dilihat dari sudut mistisisme.
Hampir kesemua aliran mistis (biar agama apa sekalipun) menekankan umatnya agar menghidupi kehidupan dengan sebaik mungkin. Biasanya, jalan tengah digunakan, yakni bukan bersandar kepada semalam yang sudah berlalu dan esok yang belum pasti, tetapi menghidupi detik-detik kini dalam nada ke’sahaja’an. Konsep roh di kalangan masyarakat Batak berligar kepada ‘tenaga’ atau ‘kuasa’. Tenaga ini sekiranya berada dalam keadaan harmonis akan membawa kepada kebaikan. Sebaliknya kalau dihampakan atau dimurkakan, akan memberi kesan buruk kepada kehidupan manusia dan alam.
Meski banyak mendapat pengaruh agama Hindu, kepercyaan masyarakat Batak mempunyai elemen lokalnya yang tersendiri seperti konsep tondi. Tondi masyarakat Batak tidak boleh disempitkan sebagai aura – lilitan tenaga yang sentiasa ada dikeliling manusia. Malah tondi juga tidak boleh dirumuskan sebagai roh yang terdapat dalam jasad manusia. Tondi adalah adunan beberapa fahaman daripada beberapa tradisi yang kemudiannya membentuk tradisi kosmologi Batak yang unik.[10]

Bab II
Pelebegu

Pelebegu; paham animisme di Tanah Karo
Pelebegu adalah agama asal suku Batak sebelum kedatangan Islam dan Kristian ke tanah Batak. Malah dikatakan agama Pelebegu adalah perintis kepada agama Parmalim yang telah diasaskan oleh Sisingamangaraja XII dengan pelopornya Guru Somalaing.
Agama Pelebegu dianuti oleh masyarakat Mandailing, Angkola, Karo dan Pakpak sebelum Islam disebarkan ke seluruh Sumatera Utara. Di tanah Karo agama ini disebut Perbegu.
GURU SOMALAING PARDEDE dilahirkan di Huta Lumban Jabi-jabi Balige Raja pada tahun 1832, beliau adalah pomparan dari RAJA TOGA LAUT PARDEDE, yang sejak terjadinya perang Batak beliau telah berjuang pada jaman perjuangan RAJA SISINGAMAGARAJA XI dan XII dalam menentang masuknya penjajah/tentara Belanda ke tanah Batak, Pemerintah Belanda dalam perang 11 hari di Habinsaran dengan persenjataan lengkap pada tahun 1896 berhasil menangkap Guru Somalaing Pardede dan diasingkan ke Pulau Jawa,
Pada masa mudanya Guru Somalaing Pardede di dalam era perjuangan Raja Sisingamangaraja XI beliau menjabat sebagai Menteri Penerangan merangkap Panglima Perang (1857) yang pada waktu itu mulailah berdatangan bangsa asing yang disebut “si bontar mata” dengan berbagai maksud terutama ingin berjumpa dengan Raja Sisingamangaraja XI antara lain : H. N.Van der Tuuk dan Dr. Frans Junghun, akan tetapi karena Raja Sisingamangaraja XI tidak bersedia maka Guru Somalaing lah yang diutus untuk menemui dan menemaninya, kemudian pada tahun 1862 seoerang pendeta dari Zending Barmen Dr. I. L. Nommensen juga telah pernah bertemu dengan Guru Somalaing dan berkat penjelasan yang dapat diterima dan bukan untuk menjajah tanah Batak dan disamping faham yang dibawakan Nommensen tidak bertentangan dengan faham mensianistis, kemudian dilihat kebangsaan Nommensen berasal dari Jerman maka dianya dapat bertemu dengan Raja Sisingamangaraja XI dan menhadiahkan seekor kuda putih, imbalan yang diterima Nommensen subuah “tahul-tahul” atau tempat air minum terbuat dari kayu warna coklat.
Begitu juga kedatangan 2 orang tamu dari Arab bernama : Mhd. Thoib dan ABD. Asan Aqda (1863) melalui hubungan dengan Guru Somalaing telah pernah bertemu dengan Raja Sisingamangaraja XI, mereka memberikan kenang-kenangan berupa sebilah pedang dan manik-manik,sememntara imbalannya diberikan “tahul-tahul” dan kemenyan.
Dari hubungan ini dapatlah dinyatakan bahwa suku Batak telah lama berhubungan dengan bangsa asing, terutama bagi Guru Somalaing Pardede telah mulai mantap dengan berbagai bahasa asing apalagi jika dikaitkan lagi pada pergaulannya dengan seorang bangsa Roma bernama Modigliani yang tahu berbagai bahasa dan berbagai sejarah kebangsaan.
Perang Padri yang dicampuri Pemerintah Hindia hinga meluas ke daerah-daerah, daerah Mandailing (Tapsel) kemudian ke daerah Batak (Taput) dengan jalan memerangi padri-padri memasuki daerah-daerah Batak hingga menimbulkan gangguan keamanan terutama bagi faham masianistia dengan suatu paksaan mengakibatkan timbulnya perpecahan-perpecahan bagi suku batak.
Tindakan penjajah Belanda didalam memecah belah suku menimbulkan amarah yang tak terhingga bagi pengerak masianistis, terutama Guru Somalaing sebagai tokoh utama pada faham masianistis terpaksa menyusun barisan dalam menentang penjajahan Belanda.
Pada tahun 1863 Gr.Somalaing berserta pasukannya mulai melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, yang pertama di daerah Humbang hingga kedaerah Toba lewat pertempuran sengit di Tarabunga Balige.
Wafatnya Raja Sisingamangaraja XI dengan mengalihkan kekuasaan kepada Omp. PULO BATU SINAMBELA menjadi Raja Sisingamangaraja XII pada tahun 1864 yang dikukuhkan di Lumban Jabi-jabi Balige Raja lewat pencabutan pedang “Gaja Dompak” sebagai syarat apakah bisa atau tidak, dan jika bisa dicabut pedang tersebut dari sarungnya maka dianyan berhak untuk mengantikan kedudukan sebagai Raja Sisingamangaraja XII, dan hal ini Omp. Pulo Batu dapat melakukannya dengan mudah.
Acara pengukuhan secara adat Batak yang dipimpin oleh Gr.Somaliang dengan didampingi Raja-raja bius Si bagotni pohan dan tidak ketinggalan Omp. TOGA MARTAHAN SILALAI selaku tokoh ke dua penggerak masianistis. (lihat pada buku beschikking Controleur van Toba hal.126 secara kollektif, disebut kampung Lumban Jabi-jabi Balige Raja/Kampung marga Pardede Toga Laut tempat dikukuhkannya Omp. Pulo Batu Sinambela menjadi Raja Sisingamagaraja XII).
Terpilihnya Omp. Pulo Batu Sinambela menjadi Raja Sisingamangaraja XII sekaligus menyusun departemennya yang pada waktu itu Guru Samalaing diangkat menjadi Menteri Penerangan merangkap Panglima Perang dibantu oleh Omp. Jumollang Tampubolon berkuasa di Toba Hasundutan sampai daerah Humbang, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh masianistis yang diangkat menjadi Menteri yang berkuasa di berbagai daerah.
Berhubungan dengan semakin pesatnya perkembangan usaha-usaha pemerintah Belanda untuk perlombahan-perlombahan dalam pemerintahan di desa-desa, paja, rodi, dll semakin menekan rakyat sehingga meninbulkan memuncaknya amarah bagi Guru Somalaing, ini di buktikan dengan perang di Lumban Gorat Balige sehingga tentara Belanda morat-marit dan melarikan diri kearah Humbang lewat Pegunungan.
Kegigihan Tentera Batak dalam mempertahankan Tanah Batak walaupun sejengkal tidak diperbolehkan untuk dijajah pemerintah Belanda, hal ini pemerintah Belanda terpaksa mengajukan perdamaian terhadap Raja Sisingamangaraja XII (1865) sehingga Raja Sisingamangaraja memanggil seluruh menteri-menterinya untuk mengadakan “ria” (musyawarah) hasil Musyawarah menerima diadakannya perundingan, waktu itu utusan pihak pemerintah Belanda dipimpin oleh Kapten Loi Van Dalem, namun karena hasil perundingan yang sifatnya menyebelah dan diangap merupakan penekanan maka dengan tegas perdamaian yang hanya menguntungkan pihak pemerintah Belanda ditolak mentah-mentah.
Kapten Loi Van Dalem selaku utusan Brigader Jendral Van Heutz yang berkedudukan di Aceh merasa tersinggung akibat tolakan perdamaian dari tokoh-tokoh masianistis tersebut terpaksa mengirimkan tentara dari Aceh langsung dikomando Kapten Loi Van Dalem untuk memerangi orang Batak yang tidak tunduk kepada Pemerintah Hindia Belanda .
Pasukan Hindia Belanda yang digerakkan dari Aceh itu, mendapat perlawanan ditengah perjalanan oleh pejuang-pejuang dari Aceh, oleh Panglima Polin dari Aceh sengaja mengirim kurirnya Panglima Muhammad Daut ke tanah Batak untuk memberi tahukan adanya pasukan Belanda bergerak menuju tanah Batak, Palingma Muhammad Daut yang dikenal sebagai ahli misiu disamping sebagai kurir juga ditugaskan mendmpingi tentara Batak yang di Pimpin Gr.Somalaing, perperangan terjadi dengan tekat bagi tentara Batak yang bersemboyan “tumagon mate unang pado dijajahsibontar mata” yang pengertiannya lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup dijajah Belanda bermata putih, semboyan ini meningkatkan semangat juang bagi tentara Batak, tepatnya pada Tgl.11 Juni1865 terjadi perperangan sengit di Desa Silangit hingga tentara Belanda dapat dipukul mundur dan tidak sedikit kerugian yang dialaminya, menurut buku G.A.Wilken menyatakan bahwa tentara Belanda yang pertama sekali perang terbesar dihadapi.
Kolonial Belanda melihat pasukannya dapat dipukul mundur tentara Batak mengakibatkan terpusatnya perhatian Brigadir Jendral Van Heutz ke tanah Batak tentang bagaimana rupanya kegarangan tentara Batak itu, hal ini kembali digerakkannya tentara Belanda secara besar-besaran yang dipimpin oleh Kapten Turman CO dengan dibantu Letnan Satu Johansen dan Letnan Dua Cherman Jacob.
Sementara tentara Batak setelah mendengar informasi gerakan pasukan Belanda secara besar-besaran maka Gr.Somaliaing terpaksa mendatangkan bantuan dari Aceh dan Padang, masing-masing bala bantuan dari Aceh dipimpin oleh Panglima Abu Raksa Muda, dan bantuan dari Padang dipimpin oleh Panglima Sutan Khadir Hamjah.
Pada tanggal 23 September 1865 terjadi perperangan di tiga penjuru antara lain, di Silangit, di Lumban Julu, dan di Habinsaran, perperangan besar ini mengambil banyak korban di kedua belah pihak, dimana dari pihak tentara Belanda Letnan Cherman Jacob tewas pada pertempuran di Lumban Julu, sedangkan dari pihak pasukan tentara Batak Japallongos selaku pembantu Gr.Somalaing ikut tewas, dan Omp Jumollang Tampubolon pembantu Panglima Omp.Toga Martahan dapat ditangkap dan dieksekusi di Balige.
Letnan Johansen yang pernah menjadi wakil Kapten Tack di Kartasura dengan pengalamannya di Jawa itu memperbuat suatu taktik busuk mengajukan suatu perundingan kepada Gr.Somalaing dengan menyodorkan pangkat untuk diangkat sebagai Raja Jaihutan berkuasa di Toba Holbung, hal ini dengan tegas ditolak Gr.Somalaing karena jika diterima kedudukan itu hal ini dianggap perbuatan ini adalah suatu penghianatan yang tidak dapat diampuni, apa lagi perjuangan Tentara Batak langsung digerakkan Gr.Somalaing selaku tokoh masianistis.
Suatu kejutan bagaikan Guntur disiang bolong, Pemerintah Belanda dengan taktik liciknya mengadakan perpecahan dan mengadu domba tokoh-tokoh Batak dengan jalan mengangkat beberapa Orang yang berpengaruh dari suku Batak menjadi Raja Jaihutan, diantaranya termasuk adik kandung Gr.Somalaing (lihat beschikking Cotroleur van Toba no.126/1894. secara kollektif) hal ini adalah suatu pukulan bagi Gr.Somalaing mengingat tawaran itu disodorkan kepada adiknya dan diterimah, ini secara jelas untuk memerangi perjuangan Abang kandungnya selaku tokoh penggerak masianistis, inilah yang menjadi kejutan bagi dirinya.
Bukan hanya disini saja, akan tetapi yang paling menyakitkan lagi adalah terjadinya penganiayaan saudara-saudara turunan Raja Toga Laut dan penguasaan kampung lumban jabi-Jabi selaku kampung kelahiran Gr.Somalaing, sehingga dengan segera Gr.Somalaing terpaksa mengumpul kan tokoh-tokoh suku batak khususnya Raja-raja bius Sibagot ni pohan untuk mengadakan “ria” atau musyawarah disuatu tempat ditepi pantai Danau Toba, yang hasil ria melahirkan suatu janji dengan tekat terus perang melawan penjajah walaupun siapa orangnya.(tempat melaksanakan musyawarah tersebut namanya dijadikan menjadi “Janjimaria”, sampai kini nama kampung itu tetap masi ada di Balige).
Hasutan-hasutan Belanda terhadap suku Batak menimbulkan terjepitnya gerakan tentara Batak yang dipimpin Gr.Somalaing, apa lagi penghianat-penghianatpun bertambah banyak sehingga dengan waktu 15 hari berperang, antara lain, 4 hari perang di Lumban Julu dan 11 hari Perang di Habinsaran, mengakibatkan banyaknya korban dari pasukan Batak dan masyarakat, terutama Panglima Muhammad Daut, Panglima Sutan Khadir Hamjah, Raja Si jorat, Parringis Tambunan, Raja Gontam Naipospos, Sarbut Mataniari, Omp. Holbung Manurung, Liap Sirait, dan banyak lagi tokoh-tokoh masianistis yang tidak disebutkan namanya tewas pada perang 15 hari itu, sementara itu yang dapat dibekuk atau ditangkap adalah : Gr.Somalaing Pardede diasingkan ke pulau Jawa, Panglima Abu Raksa Muda diasingkan ke Pulau Jawa, Omp. Toga Martahan Diasingkan ke pulau Nias, Pallat Simanjuntak diasingkan ke pulau Nias, Omp. Sondang Pardede Diasingkan ke ? namun menurut informasi yang diperoleh dari Letnan Herman Lodewik di Sibolga menyatakan dianya diasingkan ke Suriname, dan banyak lagi yang diasingkan ke berbagai daerah kepulauan di Indonesia ini.
Berhasilnya Guru Somalaing dan kawan-kawannya di lumpuhkan pihak tentara Belanda, hal ini bukanlah menjadi berahirnya perjuangan dari pejuang suku Batak, apa lagi sewaktu diasingkan Guru Somalaing lewat pelabuhan Sibolga dianya masi sempat berpesan kepada pemuda-pemuda suku Batak, dan pesan itu dapat dibuktikan dengan adanya gerakan-gerakan pemuda-pemuda Batak yang dipimpin, ABD. HALIM PARDEDE juga turunan saudara Guru Somalaing pomparan Raja Toga Laut Pardede, UMAR SIMANJUNTAK dari Parsuratan, SAUL SIAHAAN dari Lb. Gorat, HEMOS SIRAIT dan AMAN TIMBUL MANURUNG dari Porsea, LONGGA HUTA JULU dari Laguboti, PONGGUK SITUMORANG dari Lontuk Samosir, dan banyak lagi yang tak disebut nama-namanya yang ikut berjuang melawan penjajah Belanda dalam melanjutkan perjuangan Guru Somalaing.
Dilain pihak setelah terkangkapnya Guru Somalaing Pardede dan Kawan-kawan di Toba Holbung maka tentara Belanda kembali melakukan penyerangan terhadap pasukan Raja Sisingamangaraja XII di Humbang, Namun serangan tentara Belanda itu dapat di lumpuhkan dengan kerugian yang sangat besar dipihak Belanda, dimana Komandan tentara Belanda yaitu Kapten Loi Van Dalem tewas ditangan Panglima Tuan Bosar Siregar dari Sipirok selaku pembantu dan kepercayaan Raja Sisingamangaraja XII.
Melihat kejadian ini Brigadir Jendral Van Heutz sangat marah dengan tekat Raja Sisingamangaraja XII harus dapat di tangkap hidup maupun mati, sehingga sengaja memanggil dan memerintahkan Kapten Ckristovel (terkenal seorang pewira Belanda yang paling kejam) untuk memimpin suatu pasukan tentara Belanda yang paling besar.
Serangan tentara Belanda terhadap Pasukan Raja Sisingamangaraja XII adalah suatu taktik untuk mempersempit gerak juang tentara Batak, hal ini nyata sekali, karena pasukan Batak yang di pimpin langsung oleh Raja Sisingamangaraja XII terpaksa mundur ke daerah perbatasan Humbang dengan Dairi sidikalang.
Taktik yang telah terencana dan diprogramkan lebih dahulu itu dapat di buktikan Kapten Ckristovel, karena menurutnya untuk menangkap hidup atau mati Raja Sisingamangaraja XII adalah lebih dahulu menguasai keluarganya Raja Sisingamangaraja XII, dan secara kejam, setelah dapat ditangkapnya putra-putri yang paling disayangi Raja Sisingamangaraja XII antara lain, PATUAN NAGARI, PATUAN ANGGI, dan putrinya LOPIAN, secara langsung tangan Ckristovel membunuhnya.
Melihat situasi tersebut Raja Sisingamangaraja XII sangat bersedih, sewaktu melihat dan memeluk anaknya satu-persatu, kesempatan inilah Kapten Ckristovel membidikan senjatanya untuk membunuh Raja Sisingamagaraja XII untuk membunuh Raja Sisingamangaraja XII, Gugurnya Raja Sisingamangaraja XII (1907) pasukan Kapten Ckristovel langsung membawa mayat Rj. Sisingamagaraja dan 2 putranya ke Balige dan dimakamkan di Tarutung, kemudian dipindahkan lagi ke Soposurung Balige.
Demikian sejarah ringkas perjuangan Guru Somalaing Pardede yang menurut masyarakat Tapanuli Utara Khususnya Raja Sonakmalela wajarlah bagi Pejuang Gr.Somalaing dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.[11]

Bab III
Kepercayaan Parmalim dan Ajaran-ajarannya

1.    Asal-Usul dan Perkembangan Kepercayaan Parmalim[12]
Parmalim : Parmalim, adalah nama sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan sebagai salah satu agama yang utama dianut di provinsi Sumatera Utara. Agama Parmalim adalah agama asli suku Batak.
Agama ini merupakan sebuah kepercayaan 'Terhadap Tuhan Yang Maha Esa' yang tumbuh dan berkembang di Sumatera Utara sejak dahulukala. "Tuhan Debata Mulajadi Nabolon" adalah pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh "Umat Ugamo Malim" ("Parmalim").
Awalnya, Parmalim adalah gerakan spiritual untuk mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan kuno yang terancam disebabkan agama baru yang dibawa oleh Belanda. Gerakan ini lalu menyebar ke tanah Batak menjadi gerakan politik atau 'Parhudamdam' yang menyatukan orang Batak menentang Belanda. Gerakan itu muncul sekitar tahun 1883 atau tujuh tahun sebelum kematian Sisingamangaraja XII, dengan pelopornya Guru Somalaing.
Nama Parmalim itu berasal dari dua perkataan, yaitu par dan malim. Par dalam bahasa Batak Toba merupakan awalan aktif yang berarti orang yang mengerjakan atau menganut sesuatu. Manakala Malim sendiri berasal dari kata bahasa masyarakat di pesisir pantai yang beragama Islam, baik Melayu ataupun Minangkabau, yang bererti penganut agama Islam.
Kata Parmalim mulai dikenal kitika masa perjuangan penjajahan Belanda yang dipimpin oleh Sisingamaraja XII. Dalam sejarah kelahirannya, Parmalim murupakan organisasi massa yang beraliran dan tumbuh dari keykinan yang secara prinsipil anti penjajahan Belanda. Dalam perjuangan melawan Belanda saat itu, organisasi Parmalim menjadi tumpuan harapan masyarakat agar mereka dapat kembali hidup aman dan tentram, bebas dari penindasan Belanda.
Organisasi ini bekembang di daerah Habinsaran di bawah pimpinan Ompu Lendang. Tetapi menurut keyakinan para pengikut Parmalim, yang pertama kali mendirikan organisasi ini adalah Raja Sisingamaraja XII. Secara resmi, beliau mempergunakan nama Parmalim dalam membina dan membimbing keberagamaan masyarakat.
Raja Sisingamaraja XII membagi pemerintahan dalam tiga organisasi:
1)      Di bidang pemerintahan umum, ia mendirikan organisasi yang disebut Parbaringin;
2)      Di bidang kemiliteran/ ketahanan, ia mendirikan organisasi Parmalim. Secara harfiah Parmalim berasal dari kata-kata Par yang berarti menjadi, mempunyai atau bersifat, dan malim berarti alim, baik, jujur, sempurna. Sehingga Parmalim bisa diartikan sebagai orang yang bersifat alim, jujur, dan sempurna.
Seiring dengan perkembangan zaman, kata ini pun mengalami perubahan makna. Parmalim kemudian dipandang suatu agama asli yang tumbuh dan berkembang di daerah Tapanuli Selatan. Para pemeluk keyakinan ini menyebut dirinya sebagai pengikut Raja Sisingamaraja ke XII. Bahkan mereka meyakini bahwa Raja Sisingamaraja XII adalah termasuk salah seorang Rasul yang diutus Tuhan (Debata Mulajadi Nabolon).
Karena Raja Sisingamaraja XII diyakini sebagai utusan Tuhan, beliau pun menerima Wahyu yang kemudian dibukukan dan diberi nama Pustaha Tumbaga Holing. Buku inilah yang kemudian menjadi kitab suci penganut kepercayaan Parmalim.
Sepeningggalannya Raja Sisingamaraja XII, kepemimpinan Parmalim digantikan oleh seorang ahli warisnya, yaitu Ompu Raja Ommat Manurung. Olehnya nama Parmalim diubah menjali agama Malim/ batak/ Si Raja.
Kemudian pada tahun 1943 kepemimpinan pun beralih kembali ke Raja Guru Kander Manurung. Pada kepemimpinannya di rubah lagi menjadi “Persatuan Agama Malim Batak Indonesia (PAMBI)”.
2.      Pokok-pokok Ajaran Parmalim[13]
a.        Kitab Suci yang Terkandung di dalamnya
Kitab Suci Parmalim disebut Pustaha Tumbaga Holing. Turunnya kitab suci ini sering dengan kelahiran Tuhan Simarimbulu Bosi Nabadia (Nabadia Suci). Menurut keyakinan pengikut Parmalim, kitab ini menempel pada badan Tuhan Simarimbulu.
Beberapa keajaiban terjadi pada saat kelahiran Tuhan Simarimbulu Bosi Nabadia, yaitu suasana gelap-pekat dan sedikit pun tidak ada cahaya. Yang ada hanyalah sinar dari langit yang menyinari badan Tuhan Simarimbulu. Baru saja ia lahir, Simarimbulu lantas duduk sesaat dan kemudian berbicara. Dengan kesaktiannya Pustaha yang semula menempel di badannya dipindahkan kedaun. Pemindahnya berlangsung berkali-kali sehingga terkumpul menjadi satu buku.
Surat pertama yang ada pada buku Pustaha tersebut adalah:
A-Ha-Ma-Na-Ra-Ta-Ba-Sa-Da-Ga-Dja-Ka-Nga-La-Pa
Huruf inilah yang kemudian menjadi abjad bahasa Batak.
b.      Pustaha Tumbaga Holing
Parmalim menyatakan diri sebagai agama asli di Sumatera. Oleh karena itu ia memiliki konsep ajaran yang harus diamalkan oleh para pengikutnya. Ajaran-ajaran tersebut merupakan isi dari kitab Pustaha Tumbaga Holing. Diantaranya adalah:
1.      Agar pemeluknya memuji dan memuliakan kebesaran Tuhan YME. Debata Mulajadi Nabolon, hormat dan patuh kepada Sisingamaraja XII sebagai utusan dan kasih sayang kepada sesame.
2.      Rajin dan giat bekerja untuk kebutuhan hidup di dunia sebagai bekal kekuatan jasmani dan rohani.
3.      Patuh dan taat aturan hukum Parmalim.
4.      Dilarang menghina umat yang hidup melarat, menyesatkan orang buta dan orang bodoh, baik rohani maupun jasmani.
5.      Menghormati kedua orangtua.
6.      Dilarang menghina anak yatim, demikian kepada orangtua yang tidak mempunyai anak/ keturunan.
7.      Dilarang mencuri, menipu, membunuh manusia.
8.      Dilarang berbuat curang, baik di dalam pemikiran maupun perbuatan.
9.      Dilarang berzina.
10.  Diwajibkan bergotong-royong, memh bangun rumah ibadah untuk tempat sembahyang bersama-sama dalam rangka memuji Tuhan Yang Maha Esa, Debata Mulajadi Nabolon,
11.  Dilarang membungakan uang atau sejenisnya, karena itu hasil keuntungan hanya bisa diperoleh dari usaha dagang yang sah dan halal.
12.  Padi di sawah tidak boleh dibungakan, demikian pula padi di lumbung dilarang dilipat-gandakan dengan bunga.
Selain itu di dalam Parmalim ada larangan-larangan di bidang makanan, seperti:
·         Dilarang memakan daging babi, anjing, amprodi, tikus, kucing, dan semua jenis harimau.
·         Jenis unggas (burung), bangau, jenis elang (burung buas), burung enggang, kelelawar dan sejenisnya.
·         Hewan yang sudah sakit.
3.      Upacara Keagamaan dalam Kepercayaan Parmalim[14]
a.        Sembahyang
Praktek peribadatan mereka dilakukan di sebuah rumah yang dinamakan rumah pesakitan atau Pasogit di Porsea. Di rumah persakitan tersebut sembahyang dilaksanakan pada hari sabtu, pukul 12:00 secara bersama-sama dengan dipimpin oleh seorang ahli agama.
Tata cara sembahyang:
·         Sikap duduk bersila pada tikar yang dihamparkan;
·         Pakaian ulas kain Batak;
·         Khusus pria, menutup kepala dengan kain putih/ peci memakai kain sarung;
·         Kaum wanita, memakai kain sarung dan memakai kerudung dari kain putih;
·         Sikap yang hormat dan takzim.
Selain sembahyang yang dilakukan bersama-sama setiap seminggu sekali, dianjurkan pula berdoa di rumah masing-masing paling sedikit tiga kali sehari.
b.        Korban
Sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan yang lain, Parmalim pun memiliki ajaran tentang perlunya korban. Agak susah melacak asal-usul konsep korban ini dalam kepercayaan Parmalim, tetapi yang pasti, mereka melaksanakan korban pada waktu peringatan kebangkitan Raja Sisingamaraja dan hari-hari besar yang lain.
Jenis binatang yang menjadi korban bermacam-macam. Seperti lembu, kerbau, kua, kambing, rusa, dan sejenisnya (horbo, hoda, lembu, rusa, kambing) dan jenis ayam.
4.      Nama-nama Rasul dan Mukjizat[15]
Menurut kepercayaan penganut Parmalim, Raja Sisingamaraja sampai kini masih tetap hidup, ia hanya menghilang dari penglihatan. Tapi jika diminta bantuan oleh penganut Parmalim, kapan saja beliau bisa membantu.
Para penganut Parmalim meyakini tentang mukjizat-mukjizat yang dimiliki oleh Raja Sisingamaraja, diantara mukjizat-mukjizat itu adalah:
1)      Mampu mengobati orang-orang sakit;
2)      Mampu menghidupkan orang yang sudah meninggal;
3)      Menancapkan tongkat, sehingga keluar air yang sampai sekarang menjadi tempat mengambil air minum masyarakat Batak.
Penganut Parmalim mempercayai 44 rasul yang tela diutus. Rasul-rasul ini dikenal juga sebagai raja-raja suci. Rasul-rasul tersebut adalah:

1.       Siberu Mangolai
Namartua
2.       Siraja Hasitongan
3.       Siraja Hasiangan
4.       Raja Manungkun Tua Raja
5.       Siraja Banua
6.       Siraja Partogi
7.       Batara Guru
8.       Harayon Badabulan
9.       Sitolu Sada Suhi
10.    Sada Harayoan
11.    Sungkunan Ruji-ruji
Pangalapan Bahuasui
12.    Siloan Tondi Panuturi Sahala Pangajari
13.    Siraja Parmahan
14.    Tuan Mombang Napitu
15.    Tuhan Simarimbulu Bosi
16.    Siraja Batak
17.    Siraja Abattahi
18.    Siraja Darat
19.    Siraja Mangase
20.    Situan Gading Habonaran
21.    Sibotru Deak Pangujar
22.    Siloang Naguratta
23.    Seberu Surta Malim
24.    Namanyaga Aek Sitio-tio
25.    Hadirion
26.    Siraja Lontung
27.    Raja Uti Nabatia
28.    Siraja Sumba
29.    Raja Narasoan
30.    Guru Tatan Debata
31.    Raja Sisingamaraja I
32.    Raja Sisingamaraja II
33.    Raja Sisingamaraja III
34.    Raja Sisingamaraja IV
35.    Raja Sisingamaraja V
36.    Raja Sisingamaraja VI
37.    Raja Sisingamaraja VII
38.    Raja Sisingamaraja VIII
39.    Raja Sisingamaraja IX
40.    Raja Sisingamaraja X
41.    Raja Sisingamaraja XI
42.    Raja Sisingamaraja XII
43.    Ompu Raja Ommat Guru Mangantar Perang Manurung
44.    Pahlawati Ompu Si Ommat Boru Hesibuan







5.      Sekitar Kontraversi Kepercayaan Parmalim[16]
Mengenai kepercayaan ini ada dua pandangan yang berbeda:
a.        Pondan Pardede, seorang ahli kebatinan yang tinggal di jalan Gudang Tengah.
Medan, berpendapat bahwa, Parmalim bukanlah agama. ia lebih tepat dikategorikan sebagai aliran kebatinan atau kepribadian Batak. Parmalim tidak berbeda dengan Kejawen bagi orang Jawa. Sebuah sistem ajaran yang melengkapi perikehidupan seseorang yang berasal dari tradisi dan suasana lingkungan. Oleh karena itu, menurut Pardede, tidaklah menjadi suatu hambatan bagi seorang Batak yang beragama Islam, Kristen atau agama lainnya menjadi seorang Parmalim.

b.        Raja Guru Kender Manurung, seorang ahli waris raja Sisingamaraja XII. Ketua Organisasi Agama Malim Batak Indonesia
Menurut pandapatnya, Parmalim bukanlah suatu aliran kebatinan sejenisnya. Ia merupakan suatu agama yang dating dari langit dan berasal dari wahyu yang diberikan Tuhan (Debata Mulajadi Nabolon).









Daftar Pustaka

Darol Afia, Neng, 1999, Tradisi dan Keprcayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (ed) Jakarta
Fischer, H. Th, 1952, Inleiding tot the culturele Anthropologie van Indonesie,edisi ke-3, Haarlem
Lumbantobing, Andar, M., 1996, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, cet, 2. Jakarata: Gunung Mulia
Nasution, M. H, 1943, “De Plaats van de Vrouw in de Bataksche Maatschappij”, disertasi, Utrecht
Winkler, J, 1925, Dia Toba-Batak auf  Sumatra in gesunden und kranken Tagen, Ein Beigtra zur Kenntnis des animistischen Heiden tums, Stuttgart
http://rapolo.wordpress.com/2008/05/04/kosmologi-masyarakat-batak




[1]H.Th.Fischer,Inleiding tot the culturele Anthropologie van Indonesie, (Haarlem, 1952), h. 1
[2]J.Winkler, Dia Toba-Batak auf  Sumatra in gesunden und kranken Tagen, Ein Beigtra zur Kenntnis des animistischen Heiden tums, (Stuttgart, 1925), h. 1
[3] Van Ossenbruggen, Het Oeconomisch-magisch Element, h. 19
[4] Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, cet, 2.( Jakarata: Gunung Mulia, 1996), h. 25
[5] Wilken dan Van Ophuysen, Kijkjes in het huiselijk leven der Bataks, h. 24
[6] M. H. Nasution, “De Plaats van de Vrouw in de Bataksche Maatschappij”, disertasi (Utrecht, 1943), h. 15
[7] Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, cet, 2.( Jakarata: Gunung Mulia, 1996), h. 30
[8] Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, cet, 2.( Jakarata: Gunung Mulia, 1996), h. 32
[9] Anak yang cacat, yaitu ia memohon kepada Mulajadi Nabolo supaya dia di kembalikan saja dia ke dalam keadaan yang bernasib sebelah.
[10] http://rapolo.wordpress.com/2008/05/04/kosmologi-masyarakat-batak

[11] Oloan Pardede ( keturunan pardede toga laut )
[12] Neng Darol Afia, Tradisi dan Keprcayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (ed) (Jakarta: 1999), h. 95
[13] Neng Darol Afia, Tradisi dan Keprcayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (ed) (Jakarta: 1999), h. 97
[14] Neng Darol Afia, Tradisi dan Keprcayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (ed) (Jakarta: 1999), h. 98
[15] Neng Darol Afia, Tradisi dan Keprcayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (ed) (Jakarta: 1999), h. 99
[16] Neng Darol Afia, Tradisi dan Keprcayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (ed) (Jakarta: 1999), h. 101

Tidak ada komentar:

Posting Komentar