"WELCOME IN MY BLOG"

Selamat Datang di Blog Saya Semoga Pengunjungan Anda ke Blog Saya Bisa Memberikan Manfaat untuk Anda dan Terimakasih atas Kunjungannya

Rabu, 06 Juli 2011

Mengenal Perjanjian Baru


a.      Pengertian Perjanjian Baru
Jilid kedua dari Alkitab umat Kristen disebut “Perjanjian Baru”. Dahulu juga disebut “Wasiat yang Baru. Adakah artinya: penetapan terakhir saja (wasiat), atau semacam “perjanjian”, iakatan timbal balik antara dua pihak, walaupun tidak setingkat.
Nama “Perajanjian Baru” itu tidak ditemukan dalam Alkitab sendirisebagaimana sebuah kitab. Nama “Perjanjian Baru” itu dibuat sejalan dengan kitab suci umat Israel dan umat Kristen bersama.
Judul “Perjanjian Baru” itu menunjuk kepada isi menyeluruh jilid kedua Alkitab umat Kristen itu. Isinya memang mengenai “Perjanjian Baru”, yang oleh Allah diikat dengan umat manusia melalui Yesus Kristus. Dengan istilah “perjanjian” dimaksudkan hubungan khusus dan tidak wajar yang terjalin antara Allah dan manusia. Alllah bersatu dengan umat manusia demi keselamatannya, berarti: keutuhan dan kebulatan manusia. Hubungan khusus itu dijalin Allah dalam manusia Yesus Kristus.[1]
b.      Pembagian Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru itu terkumpul 27 Karangan.[2]
Saat ini isi Perjanjian Baru terdiri :
  • 4 macam Injil masing-masing karangan Matius, Markus, Lukas dan Yahya, 1 kisah rasul-rasul
  • 14 macam surat Paulus
  • 1 surat Yaakub, 2 macam surat Petrus, 3 macam surat Yahya, 1 surat Yahuda
  • 1 kitab Wahyu kepada Yahya
Melihat tebalnya maka 4 Injil itu hanya merupakan kurang dari separuh isi Perjanjian Baru. Tetapi bagi umat Nasrani 4 Injil itu sama kanoniknya dengan seluruh isi Perjanjian Baru lainnya. Di sini kita sudah lihat Injil sebagai kitab suci daripada Allah telah direndahkan derjatnya disamakan dengan karangan-karangan manusia. Belum lagi kita lihat bagaimana Injil yang empat sebenarnya bukanlah Wahyu murni lagi seperti kitab suci Al-Quran.
c.       Isi Secara Global Perjanjian Baru[3]
Hingga pertengahan abad kedua Masehi secara resmi umat Nasrani belum mempunyai kitab suci lain yang kanonik (pengukur) selain kitab suci Perjanjian Lama (Taurat) orang Yahudi. Bedanya umat Yahudi dan umat Nasrani di kala itu hanyalah bahwa umat Nasrani di samping Perjanjian Lama itu juga mempunyai catatan-catatan ajaran Nabi Isa (ayat-ayat Injil) yang diwariskan oleh murid-murid Nabi Isa dahulu kala dan yang banyak tersimpan dan dipegang oleh jemaah-jemaah Nasrani di Jerusalem, Antiokia, Iskandariah dan tempat-tempat lainnya.
Catatan-catatan itu banyak berbeda satu sama lain dan makin lama makin berbeda, sebab sudah menjadi tabiat alam berita sejengkal jadi sehasta dan yang sehasta jadi sedepa apabila tidak segera diterima dan disatukan dengan resmi.
Masing-masing tempat dengan lingkungan sendiri-sendiri telah mengadakan catatan-catatan tambahan dengan pengaruh lingkungannya sendiri-sendiri pula. Perbedaan-perbedaan catatan menerbitkan perselisihan dan perselisihan-perselisihan itu makin lama makin besar.(Apa isi perselisihan-perselisihan itu kelak akan kita bicarakan dalam sejarah pertumbuhan Trinitas).
Pada awal abad kedua Masehi timbullah keinginan di kalangan ulama-ulama Nasrani untuk menyamakan catatan-catatan Injil yang berbeda-beda itu dalam satu Kitab Suci seperti Perjanjian Lama yang harus diakui sebagai kanun Perjanjian Baru bagi seluruh umat Nasrani. Tentu saja hal ini tidak semudah menyusun Hikayat Seribu Satu Malam yang memuat bermacam-macam cerita itu. Masing-masing jemaah mempertahankan kebenaran catatannya sendiri-sendiri. Tetapi akhirnya orang dapat menyetujui empat macam Injil karangan Matius, Markus, Lukas dan Yahya sebagai Injil yang sah meskipun keempat macam Injil itu sendiri satu sama lain masih banyak berbeda dan bertentangan isinya.
Berkenaan dengan penyusunan Perjanjian Baru ini Dr. H. Berkhof menulis dalam bukunya "Sejarah Gereja" muka 30 sebagai berikut : "Berdasarkan pendirian itu maka pada tahun 150 keempat kitab Injil yang kita kenal, sudah umum diakui "kanonik" (yaitu selaras dengan kanun). Demikianlah pula surat-surat rasul Paulus, dan kitab Kisah Rasul-rasul sebab ditulis oleh murid dan sahabat Paulus, yakni Lukas. Di antara segala "kitab wahyu" yang banyak itu, hanya Wahyu Yahya saja yang dipandang sah, meskipun ada juga yang berkeberatan terhadapnya.
Mengenai surat kiriman hanya secara beransur-ansur tercapai persetujuan, tetapi I Petrus dan I dan II Yahya segera dianggap "rasuli". Surat kepada orang Ibrani lama disangsikan di Barat, kerana tidak dikarang oleh seorang rasul.
Sebaliknya beberapa kitab yang lain dipandang kanonik oleh sejumlah jumaah. Yang dimaksud ialah karangan-karangan "Bapa-bapa Rasuli". Nama ini dipergunakan bagi beberapa pengarang pada zaman kemudian dari rasul-rasul, ialah Clemens, seorang anggota dewan gereja di Roma (tahun 95), Ignatius, Barnabas, Polykarpus, Papias, Hemras dan lain-lain lagi. Tulisan-tulisan bapa-bapa rasuli itu, dan kitab "Didache" ("Ajaran kedua belas rasul"), yang tersiar dan digemari di mana-mana, tidak dimasukkan ke dalam kanun, karena tidak memenuhi syarat-syarat yang terpapar di atas. Umumnya boleh dikatakan bahawa kitab Perjanjian Baru sudah ditetapkan kira-kira pada tahun 200 (secara definitif pada tahun 380)".
Dari tanggal ini kita dapat melihat betapa jauhnya jarak antara masa Nabi Isa dengan masa penyusunan secara definitif dari Perjanjian Baru itu yaitu hampir 400 tahun. Suatu masa yang penuh dengan perdebatan dan kesulitan dalam memilih ayat-ayat yang sah.
d.      Kitab-Kitab Kanon dan Apokrif[4]
Kitab-kitab Kanon
1.      Hanya satu kanon perjanjian baru
Daftar karangan yang termasuk kitab suci PB, seperti selesai terbentuk sekitar tahun 400Mas., disebut “kanon”. Kanon atau daftar itu sudah abad kelima tidak berubah lagi. Dalam rangka Gereja Katolik daftar 27 kitab itu kembali ditetapkan  oleh konsili Florence (th. 1441), konsili Trente (th. 1546), konsili Vatikan I (th. 1870).
2.      Kanon dan kanon
Kata Yunani “kanon” yang berarti gagah dipakai dengan arti “ukuran”. Daftar kitab sebagaimana lambat laun ditetapkan menjadi ukuran; yaitu: guna mengukur kitab-kitab manakah termasuk Alkitab.
3.      Ukuran yang tidak di ukur
Jadi dengan menyusun daftarnya, umat Kristen mengangkat sejumlah 27, isi karangan itu, menjadi ukuran (kanon) iman kepercayaan serta penghayatannya bagi umat selanjutnya. Dalam kitab-kitab itu terungkap iman sejati dari umat pedana, generasi Kristen pertama.
Kitab-kitab Apokrip
Kata Yunani itu sebenarnya berarti: tersembunyi, (karangan-karangan) rahasia, yang hanya dikenal sejumlah kecil orang (kelompok). Tetapi biasanya kata itu dipakai dengan arti: palsu, gadungan, tidak sejati. Kitab-kitab apokrip itu ialah kitab-kitab yang nampaknya Kitab suci, tetapi sebenarnya palsu dan gadungan, kitab-kitab yang tidak diterima umat Kristen sebagai kitab suci.
Dari sekian banyak kitab apokrip yang pernah dikarang yang hanya disebut “injil barnabas”. Malah ada Kaum Muslim yang menganggap “Injil Barnabas” sebagai Injil asli. Sesungguhnya injil itu sebuah karangan dari abad keempatbelas, atau malah abad keenambelas Mas. (th. 1300-1500). Ditulis di Eropa Barat oleh seorang Muslim bekas Kristen. Penulis memakai macam-macam bahan yang diangkat dari mana-mana, sebagian dari injil-injil Kristen.       

e.       Teks-teks dan terjemahan[5]
Adalah salah jika kita mengira bahwa  setelah  disusun, Injil   itu  merupakan  Kitab  Suci  pokok  bagi  agama Kristen, sehingga orang  membaca  dan mempergunakannya sebagai orang Yahudi membaca dan menggunakan Perjanjian Lama. Pada waktu  itu  yang  menjadi  autoritas  adalah tradisi  lisan  yang  membawakan  kata-kata  Yesus  dan ajaran sahabat-sahabatnya. Tulisan pertama yang beredar dan  bernilai  sebelum Injil adalah surat-surat Paulus; bukankah surat-surat itu telah ditulis  beberapa  puluh tahun sebelum Injil?
Kita sudah membicarakan bahwa sebelum tahun 140 tak ada bukti bahwa orang  mempunyai  kumpulan  tulisan-tulisan Bibel, walaupun beberapa  orang  ahli  tafsir  Injil menulis  yang  sebaliknya  daripada  itu.  Kita   harus menunggu   sampai   tahun 170 untuk  melihat  Injil memperoleh kedudukan literatur Kanon.
Pada  tahun-tahun  pertama  setelah   munculnya   agama Kristen,  beredarlah  berrnacam-macam  tulisan mengenai Yesus. Tulisan-tulisan itu tidak dianggap autentik  dan Gereja   memerintahkan   supaya   tulisan-tulisan itu disembunyikan.  Inilah  asal  timbulnya  kata:  apokrif (Injil yang disembunyikan). Dari pada teks tulisan-tulisan tersebut ada sebagian yang  terpelihara baik  karena  mendapat  penghargaan umum, seperti surat atau  ajaran  Barnabas,  tetapi  banyak  lainnya   yang dijauhkan  secara  brutal  sehingga  yang  ada sekarang hanya sisa-sisanya dalam bentuk fragmen. Begitulah yang dikatakan  oleh  Terjemahan  Ekumenik.  Karena dianggap sebagai  penyebab   kesesatan,   maka   tulisan-tulisan tersebut  dianggap tidak ada. Walaupun begitu, karangan seperti Injil orang-orang Nazaret, Injil orang  Ibrani, Injil  orang  Mesir yang diketahui oleh pendeta-pendeta gereja, mempunyai kedudukan  yang  hampir  sama  dengan Injil Kanon. Begitu juga Injil Tomas dan Injil Barnaba.
Diantara  tulisan-tulisan  apokrif  (yang diperintahkan Gereja  supaya  disembunyikan)   banyak   yang   memuat perinci-perinci  yang  bersifat  khayalan,  yaitu  yang dihasilkan oleh imaginasi orang awam.
Banyak  pengarang-pengarang  tentang   Injil   aprokrif menyebutkan  dengan  rasa  puas  paragraf-paragraf yang menertawakan. Akan tetapi  pengarang-pengarang  semacam itu  sesungguhnya  dapat  ditemukan  dalam semua Injil. Kita masih ingat  gambaran  kejadian-kejadian  khayalan yang  oleh  Matius  dikatakan  telah terjadi pada waktu matinya Yesus. Orang dapat menemukan  paragraf-paragraf yang  tidak  serius dalam tulisan-tulisan puluhan tahun pertama daripada agama Kristen;  tapi  perlu  kejujuran untuk mengenal tulisan-tulisan itu.
Terlalu   banyaknya   tulisan-tulisan   mengenai  Yesus mendorong Gereja  yang  sedang  dalam  pengorganisasian untuk   melenyapkannya.  Mungkin  seratus  Injil  telah dimusnahkan. Hanya empat Injil tetap  dipelihara  untuk dimasukkan   dalam   daftar  resmi  naskah-naskah  yang kemudian dinamakan "Kanon."
Pada   pertengahan   abad    II,    Marcion    mendesak pembesar-pembesar   agama  untuk  mengambil  sikap.  Ia adalah musuh yang  sangat  benci  terhadap  orang-orang Yahudi.   Ia   menolak  seluruh  Perjanjian  Lama,  dan tulisan-tulisan yang muncul  sesudah  Yesus  tidak  ada lagi,  yang  nampak  dekat  atau  berasal  dari tradisi Yahudi Kristen. Marcion hanya mengakui  tulisan-tulisan Paulus  dan  Injil  Lukas, oleh karena ia mengira bahwa Lukas adalah juru bicara Paulus.
Gereja memaklumkan bahwa Marcion adalah  orang  murtad, dan  memasukkan  dalam Kanon segala surat-surat Paulus, serta  Injil  Matius,  Markus,  Lukas  dan  Yahya,  dan menambahnya   dengan   beberapa  tulisan  lagi  seperti Perbuatan Para  Rasul.  Meskipun  begitu  daftar  resmi selalu  berubah  menurut waktu selama abad-abad pertama Masehi. Tulisan-tulisan yang  kemudian  dianggap  tidak berharga (apokrif) termasuk dalam Kanon untuk sementara waktu, dan tulisan-tulisan yang  termasuk  dalam  Kanon yang  sekarang  (Perjanjian Baru), pada waktu itu tidak termasuk  di  dalamnya.  Rasa  keragu-raguan  menguasai tulisan-tulisan  tersebut  berlangsung  sampai  Konsili Hippione pada tahun 393 dan Konsili Carthage tahun 397. Tetapi  Injil  empat  selalu  termuat  di  dalam  Kanon Kristen  bersama.  R.P.  Boismard  menyesalkan   sekali hilangnya  literatur  yang  banyak  itu yang diputuskan oleh Gereja  sebagai  apokrif,  oleh  karena  literature tersebut  mempunyai  nilai sejarah yang besar, Boismard sendiri dalam bukunya Ringkasan  empat  Injil'  menilai tulisan-tulisan  yang hilang itu sama pentingnya dengan Injil yang empat yang resmi. Buku-buku  tersebut  masih ada  dalam perpustakaan-perpustakaan pada akhir abad IV M.
Abad IV adalah waktu pemberesan yang serius.  Manuskrip Injil  yang  komplit  dan yang tertua ditulis pada abad itu. Dokumen-dokumen sebelum itu, papirus-papirus  abad III, satu papirus yang mungkin berasal daripada abad II hanya mengandung  fragmen-fragmen.  Dua  manuskrip  tua dari  kulit  adalah  manuskrip Yunani dari abad IV. Dua manuskrip tersebut adalah: Codex  Vatikanus  yang  kita tak tahu tempat penggaliannya, disimpan di Perpustakaan Vatikan dan  yang  satu  lagi,  Codex  Sinaitikus  yang terdapat  di  gunung Sinai sekarang disimpan di British Museum di London. Manuskrip ini mengandung dua  tulisan apokrif.
Menurut  Terjemahan  Ekumenik  di  Dunia  ini  ada  250 manuskrip kulit, yang paling akhir adalah dari abad XI. Tetapi  semua  copy  Perjanjian Baru yang sampai kepada kita  adalah  tidak   sama,   ada   perbedaan-perbedaan penting,    dan   perbedaan   itu   banyak   jumlahnya.
Perbedaan-perbedaan  itu  ada   yang   hanya   mengenai perincian  gramatika,  kalimat,  atau urut-urutan kata, tetapi ada juga perbedaan  yang  merubah  arti  seluruh paragraf.  Jika  kita  ingin mengetahui perbedaan teks, kita dapat membaca Novum Testamentum Graece (Perjanjian Baru   Yunani).   Buku   tersebut  memuat  teks  Yunani "tengah-tengah"    yakni    teks    sintese,     dengan catatan-catatan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam versi yang bermacam-macam.
Keaslian (autentitas)  sesuatu  teks  manuskrip  selalu dapat diperdebatkan, Codex Vatikanus dapat kita jadikan contoh. Penerbitan Vatikan  pada  tahun  1965  dibubuhi suatu  peringatan  asli  yang mengatakan "beberapa abad sesudah  copy  asli  (lebih-kurang  abad  X  atau  XI), seorang   tukang   naskah   telah   mengulangi  tulisan manuskrip tersebut  dengan  tinta  kecuali  huruf-huruf yang   dikira   salah."   Ada   bagian-bagian  daripada manuskrip tersebut di mana  terdapat  huruf-huruf  asli dengan wama coklat masih tetap kelihatan, dan merupakan kontras dengan teks yang lain yang ditulis dengan warna coklat  tua.  Kita tak dapat mengatakan bahwa perbaikan naskah itu dilakukan secara jujur. Peringatan  tersebut di  atas  juga mengatakan: Belum dapat dibedakan secara definitif  tangan-tangan  yang  banyak  jumlahnya  yang mengkoreksi   atau   menambah   manuskrip  asli  selama berabad-abad; memang ada  koreksi  yang  dibuat  ketika teks  tersebut  diperbarui (dengan tinta baru). Padahal dalam semua teks, manuskrip-manuskrip selalu  dikatakan sebagai  copy  abad  IV. Kita harus membandingkan suatu teks  dengan  teks  yang  disimpan  di  Vatican  untuk mengetahui  apakah  ada tangan-tangan yang merubah teks tersebut beberapa abad kemudian.
Orang dapat membantah dan  mengatakan  bahwa  teks-teks lain  juga  dapat  dipakai  untuk  perbandingan, tetapi bagaimana  memilih  perbedaan-perbedaan  yang   merubah arti?  Kita tahu bahwa sebuah koreksi lama dari seorang tukang naskah dapat  menyebabkan  reproduksi  definitive daripada   teks   yang  telah  dikoreksinya  itu.  Kita mengerti betul bagaimana suatu kata yang terdapat dalam Injil  Yahya,  yaitu  kata Paraklet, telah merubah sama sekali arti paragraf dan membalikkan arti tersebut dari segi teologi.
Di   bawah  ini  adalah  tulisan  O.  Culmann  mengenai perbedaan-perbedaan teks yang  ditulis  dalam  bukunya: Perjanjian Baru.
"Perbedaan-perbedaan  itu  kadang-kadang terjadi karena kesalahan-kesalahan  yang  tidak  disengaja;  umpamanya tukang  naskah  lupa menulis satu kata, atau sebaliknya menulis kata itu dua kali; atau mungkin  juga  sebagian kalimat  (phrase)  tak  tertulis oleh karena bagian itu terletak dalam manuskrip si tukang naskah,  antara  dua kata   yang  sama.  Kadang-kadang  perbedaan  teks  itu disebabkan oleh karena koreksi-koreksi  yang  dilakukan dengan  sengaja;  atau  tukang naskah memberanikan diri untuk mengkoreksi teks menurut pikirannya pribadi, atau si tukang naskah ingin menyesuaikan teksnya dengan teks lain,    untuk    menghilangkan    perbedaan.    Ketika tulisan-tulisan  yang  terkumpul  dalam Perjanjian Baru diputuskan  untuk  dipisahkan  dan  literatur   Kristen primitif  (terdahulu)  dan dianggap sebagai Kitab Suci, maka para ahli naskah tidak berani lagi untuk melakukan koreksi   terhadap  pekerjaan-pekerjaan  tukang  naskah sebelum mereka; mereka  mengira  bahwa  mereka  membuat copy  dari  teks  asli  dan  dengan begitu mereka sudah mengokohkan perbedaan-perbedaan yang ada. Kadang-kadang tukang  naskah menulis catatan di pinggir halaman untuk menerangkan suatu kalimat  yang  tidak  terang.  Tukang naskah  yang datang kemudian mengira bahwa kalimat yang tertulis di pinggir halaman itu merupakan kalimat  yang tadinya  telah  dilupakan  oleh  seorang  tukang naskah sebelumnya,  dan  ia  merasa  perlu  untuk   memasukkan catatan   pinggiran  tersebut  ke  dalam  teks.  Dengan begitu, dapat terjadi pula bahwa  teks  yang  baru  itu menjadi lebih kabur.
Tukang-tukang naskah beberapa manuskrip bersikap sangat leluasa terhadap teks. Ini adalah kasus  tukang  naskah suatu  manuskrip  yang  sangat  terhormat  setelah  dua manuskrip  tersebut  di  atas,   yaitu:   Codex   Bezae Cantabrigiensis  dari  abad VI. Tukang naskah menemukan perbedaan antara silsilah keturunan Yesus  dalam  Injil Lukas  dan  dalam  Injil Matius; kemudian ia memasukkan silsilah  Matius  ke  dalam  naskah  Injil  Lukas  yang dimiliki;  tetapi  karena yang dalam Injil Lukas memuat lebih sedikit nama-nama orang dalam silsilah,  maka  ia beri  tambahan-tambahan (tetapi tak berhasil mengadakan penyesuaian).
Apakah terjemahan Latin seperti  Vulgate  karya  Yerome (abad  IV)  dan  terjemahan-terjemahan  yang lebih kuno (Vetus Itala),  terjemahan  bahasa  Syriaq  dan  bahasa Kibti  (Mesir  kuno),  semua  itu  lebih jujur daripada manuskrip   Yunani?   Terjemahan-terjemahan tersebut mungkin  dibikin  menurut  manuskrip  yang  lebih  kuno tetapi yang sudah hilang. Kita tidak tahu. Orang telah  berhasil  mengelompokkan  teks-teks  Injil dalam  beberapa  kelompok  yang masing-masing mempunyai ciri-ciri umum. O. Culmann membagi sebagai berikut:
1). Teks Syria yang mungkin menjadi dasar manuskrip-manuskrip Yunani yang sangat kuno. Teks ini tersiar di Eropah pada abad XVI, sudah berupa cetakan. Teks ini adalah teks yang terburuk menurut pendapat para ahli.

2). Teks Barat, dengan versi Latin yang kuno dan dengan Codex Bezae Cantabrigiensis Yunani dan Latin. Menurut Terjemahan Ekumenik teks tersebut mempunyai ciri-ciri suka kepada penafsiran, kepada hal-hal yang kurang tepat kepada ulangan kata-kata (paraphrase) dan kepada     penyesuaian (harmonisasi).

3). Teks netral yang juga meliputi Codex Vatikanus dan Codex Sinaitikus, teks ini dipandang jauh lebih murni. Cetakan-cetakan modern daripada Perjanjian Baru mengikutinya, meskipun sesungguhnya teks ini juga     mengandung banyak cacad (Terjemahan Ekumenik).

"Kritik teks paling jauh  hanya  memberikan  kesempatan kepada  kita  untuk mencoba menyusun kembali suatu teks yang mendekati teks asli. Akan tetapi sudah terang  tak ada  jalan  untuk  sampai  kepada  teks asli tersebut." (Terjemahan Ekumenik)

f.       Kanonisasi Perjanjian Baru
Injil Sebelum Kanonisasi
Mungkin sangat mengejutkan bagi sebagian besar kaum Kristen jika menyadari bahwa tulisan-tulisan Kristen awal hanya memberi sedikit perhatian kepada kata-kata dan perbuatan-perbuatan Yesus. Misalnya, surat-surat Paulus (Saulus dari Tarsus) hanya memberikan kiasan-kiasan sangat sederhana mengenai Yesus dalam sejarah (historical Jesust). Begitu sederhana, dalam gereja Kristen awal yang menghasilkan literatur Kristen pertama yang dipelihara, yaitu aspek dari gereja awal yang biasanya diidentifikasi sebagai Paulus atau non-Yahudi, Yesus dalam sejarah diidentikkan dengan apa yang diyakini sebagai proses pengilhaman dan pewahyuan yang terus berjalan. Oleh karenanya, apa yang dikatakan, dilakukan, atau diwahyukan oleh Yesus dalam sejarah sama sekali berlebihan. Yang penting adalah bahwa setiap individu bisa mengklaim otoritas ilahi bagi pernyataan-pernyataan dan tulisan-tulisannya, dengan menyeru pada pengilhaman dan pewahyuan yang terus berjalan melalui Yesus yang konon "dibangkitkan-kembali". Kenyataannya, seluruh klaim Paulus terhadap otoritas apostolik (rasuli) didasarkan pada penegasan yang membesarkan diri-sendiri.[6] Dengan demikian, injil-injil yang diakui berkaitan dengan kehidupan, sejarah, dan perkataan-perkataan Yesus sebenarnya merupakan perkembangan yang relatif belakangan dalam literatur Kristen awal.[7]
Biasanya selalu dinyatakan oleh para sarjana alkitabiah bahwa pada awalnya, injil-injil tersebut berupa seni sastra selama perempat terakhir abad pertama Masehi.[8] Lebih jauh, hingga kira-kira tahun 130 M, salah seorang Bapa Rasuli, yaitu, Papias, uskup Hierapolis, belum benar-benar menyebut injil sebagai nama.[9] Selain itu, bahkan setelah injil-injil itu mulai tampil sebagai satu bentuk karya sastra, injil-injil tersebut tidak sering dikutip sebagai teks otoritatif oleh para pendeta gereja awal. Kenyataannya, selama pertengahan pertama abad ke-2 M, kata-kata yang dianggap berasal dari Yesus sebagaimana dicatat dalam pelbagai macam injil jarang sekali dianggap sebagai teks otoritatif. Baru menjelang akhir perempat ketiga abad ke-2 M, injil-injil tersebut mulai memiliki peran sebagai kitab suci yang otoritatif dalam gereja-gereja Kristen awal.[10] Namun, tulisan injil kemudian mulai mengambil bentuk seni sastra, dan ini akhirnya mengarah pada munculnya injil yang sangat banyak. Berikut ini daftar injil-injil yang berhasil diidentifikasi.
DAFTAR INJIL-INJIL SEBELUM KANONISASI[11]

1. Injil Markus
2. Injil Matius
3. Injil Lukas
4. Injil Yohanes
5. Dialog Sang Juru Selamat
6. Injil Andreas
7. Injil Apelles
8. Injil Bardesanes
9. Injil Barnabas
10. Injil Bartelomeus
11. Injil Basilides
12. Injil Kelahiran Maria
13. Injil Cerinthus
14. Injil Hawa
15. Injil Ebionit
16. Injil Orang-orang Mesir
17. Injil Encratites
18. Injil Empat Wilayah Surgawi
19. Injil Orang-orang Ibrani
20. Injil Hesychius
21. Injil Masa Kecil Yesus Kristus
22. Injil Judas Iskariot
23. Injil Jude
24. Injil Marcion
25. Injil Mani
26. Injil Maria
27. Injil Matthias
28. Injil Merinthus
29. Injil Menurut Kaum Nazaret.
30. Injil Nikomedus
31. Injil Kesempurnaan
32. Injil Petrus
33. Injil Philipus
34. Injil Pseudo-Matius
35. Injil Scythianus
36. Injil Tujuh Puluh
37. Injil Thaddaeus
38. Injil Tomas
39. Injil Titan        
40. Injil Kebenaran
41. Injil Dua Belas Rasul
42. Injil Valentinus
43. Protevangelion James
44. Injil Rahasia Markus
45. Injil Tomas tentang Masa Kecil Yesus Kristus.



Injil Setelah Kanonisasi

Dua puluh tujuh kitab yang disebut Perjanjian Baru dalam Alkitab merupakan kitab suci yang khusus bagi agama Kristen. Di antara ke-27 kitab ini (buka: Alkitab), salah satunya adalah kitab Wahyu Yohanes, 1 berupa sejarah gereja awal (Kisah Para Rasul), 21 merupakan surat-surat dari jenis yang satu atau lainnya (Paulus dan lainnya), dan 4 disebut sebagai injil (Markus, Matius, Lukas, dan Yohanes). Sangatlah tidak mungkin bahwa ke-27 kitab ini ditulis oleh setiap orang yang memiliki hubungan langsung dengan Yesus,[12] meskipun masing-masing dari keempat injil itu memuat sejarah ajaran dan kenabian Yesus.
Sangat mungkin bahwa kanon Perjanjian Baru berkembang secara bertahap selama beberapa abad. Pada awalnya, selama tiga abad pertama dari apa yang disebut era Kristen, tidak ada konsep mengenai kanon yang resmi dan tertutup berkenaan dengan kitab suci Perjanjian Baru. Beragam kitab dipandang sebagai kitab suci bergantung pada kekuatan klaimnya yang menyatakan sendiri bahwa kitab tersebut diwahyukan dari Tuhan. Peredaran dan popularitasnya di berbagai gereja Kristen menentukan kekuatan klaim itu. Akibatnya, apa yang dulunya dianggap sebagai kitab suci di satu tempat tidak lagi selalu dianggap demikian di tempat lain.
Namun demikian, pada awal abad ke-4 M, situasi tersebut mulai berubah. Dalam bukunya Ecclesiastical History, Eusebius Pamphili, uskup Kaisarea pada abad ke-4 M, mengusulkan sebuah kanon kitab suci Perjanjian Baru di mana ia mengabaikan banyak kitab yang sekarang ditemukan dalam Perjanjian Baru. Pada tahun 367 M, Athanasius, uskup Aleksandria, mengedarkan sepucuk surat Orang Timur, yang memasukkan daftar pertama kitab suci Perjanjian Baru yang sesuai dengan Perjanjian Baru sekarang, meskipun hanya beberapa tahun sebelumnya ia telah memperjuangkan Gembala Hermas (The Shepherd of Hermas) sebagai kitab suci yang akurat dan kanonik. Kitab suci Perjanjian Baru kemudian diratifikasi oleh Dewan Hippo tahun 393 M, Sinode Chartage tahun 397 M, dan Dewan Carthagina tahun 419 M. Namun demikian, tidak seluruh gereja Timur sepakat dengan kanon yang diusulkan ini hingga saat ketika terjemahan dalam bahasa Suriah yang kira-kira muncul pada tahun 508 M akhirnya sesuai dengan kanon ini.[13]
Dengan demikian, memerlukan waktu tiga hingga lima abad untuk mengikuti selesainya kenabian Yesus sebelum gereja-gereja Kristen awal merumuskan kanon akhir yang terdiri atas 27 kitab, yang kini merupakan Perjanjian Baru. Di antara ke-27 kitab ini, Al-Qur'an hanya merujuk pada Injil Yesus; empat injil kanonik agama Kristen pasti bukan merupakan kitab wahyu ini, meskipun mereka memasukkan bagian-bagian dari kitab ini dalam pelbagai catatan mereka mengenai "sabda-sabda" yang konon berasal dari Yesus.
g.      Siapa Penulis Injil
Pendapat Prof. E.P. Sanders:
"We do not know who wrote the gospels.... Present evidence indicates that the gospels remained unfitted until the second half of the second century. I have summarized this evidence elsewhere...The gospels as we have them were quoted in the first half of the second century, but always anonimously. . Names suddenly appear about the year 180."[14]
Mereka ini adalah orang-orang Romawi pengikut Paulus yang menulis Injil bukan untuk bacaan umat Yahudi (umatnya Yesus) tetapi untuk kepentingan orang-orang Romawi penganut filsafat Yunani.
Sebenarnya ada lebih 300 Injil yang berbeda-beda yang tersebar di masing-masing gereja tanpa diketahui siapa penulisnya. Pemberian nama-nama Injil baru dilakukan tahun 180 demi kepentingan mempertahankan Injil-injil yang diinginkan untuk masuk dalam kanonisasi Alkitab.
       Jadi kalau pembaca melihat nama Matius dan Yohanes, jangan sekali-kali membayangkan bahwa Injil yang mencantumkan nama mereka adalah tulisan mereka. Ini hanyalah sekedar upaya Gereja mencatut nama mereka agar sidang kanonisasi mau menerimanya masuk dalam Alkitab.
Ini dijelaskan pula oleh Prof.  Alvar Ellegard:
"Thus we can only conclude that ascribing the authorship of the Gospels to a certain of Jesus' disciples was a step taken towards the mid- second century AD by member of the Church who, like Papias and Justin, were eager to find - or indeed fabricated -support for the view that the Gospels they chose to accept as canonical were the memories of Jesus' contemporaries"[15]
       Dengan mencantumkan nama murid-murid Yesus berarti Injil tersebut harus diterima karena ditulis oleh murid Yesus atau saksi mata kehidupan Yesus.
Demikian pula Gereja, tetap saja menyembunyikan kepada jemaat mereka kenyataan bahwa Injil yang mereka pilih sesungguhnya bukan hasil kerja murid-murid Yesus. Ini dijelaskan pula secara detail oleh Herman Hendrickx dalam bukunya From One Jesus, to four Gospels.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Spong:
"I contended that the authors of the synoptic Gospels, Matthew, Mark, and Luke, were not eyewitnesses, nor were these Gospels even based primarily on eyewitness memories of the life of Jesus."[16]
h.      Sumber-sumber bahan penyusunan Injil[17]
O.Culmann dalam bukunya: Perjanjian Baru (1967), Presses Universitaire de France,  menulis  bahwa  "para pengarang  Injil  adalah  juru  bicara  dari masyarakat Kristen asli yang menentukan tradisi lisan;  selama  30 tahun  atau  40  tahun,  Injil  hanya  ada dalam bentuk tradisi  lisan;  tradisi  meriwayatkan  kata-kata  atau hikayat-hikayat  yang  terpisah-pisah.  Para  pengarang Injil  menghubungkan   hal-hal   yang   terpisah   itu, masing-masing   menurut  caranya  dan  seleranya  serta perhatian   teolognya   yang   khusus.    Pengelompokan kata-kata   Yesus   sebagai  rangkaian  riwayat-riwayat dengan kata-kata penghubung yang kabur seperti: sesudah itu,  selekasnya,  dan  lain-lain  yang  terdapat dalam Injil-Injil Sinoptik hanya merupakan  susunan  literer dan tidak mempunyai dasar sejarah."
Pengarang  tersebut meneruskan: "Kita harus ingat bahwa yang menjadi pedoman  kelompok  primitif  (asli)  dalam menentukan   tradisi  mengenai  kehidupan  Yesus  bukan perhatian terhadap sejarah  hidup  Yesus,  akan  tetapi kebutuhan  untuk  berdakwah  untuk pendidikan dan untuk beribadah.   Para   rasul    menggambarkan    kebenaran kepercayaan   yang   mereka   dakwahkan   dengan   cara meriwayatkan kejadian-kejadian dalam  kehidupan  Yesus. Khotbah-khotbah    mereka    itulah   yang   menentukan hikayat-hikayat tersebut. Kata-kata Yesus  diriwayatkan khususnya dalam pengajaran kateketiknya Gereja asli.
Para  penyusun  "Terjemahan  Ekumenik  dari pada Bibel" tidak menyebutkan  mengenai  penyusunan  Bibel  kecuali terbentuknya    tradisi   lisan   di   bawah   pengaruh nasehat-nasehat murid Yesus dan juru-juru dakwah lainnya.  Pemeliharaan bahan-bahan tersebut dalam Injil adalah dengan jalan dakwah, liturgi, pengajian-pengajian  para  penganut agama yang setia. Kemungkinan  tersusunnya   bentuk   tertulis   mengenai kepercayaan,  kata-kata  tertentu dan pada Yesus seperti Hikayat  Penyaliban  umpamanya,  para  pengarang  Injil memakai  bentuk  tertulis  bersama  dengan tradisi oral untuk menghasilkan teks yang sesuai  dengan  lingkungan yang  bermacam-macam,  untuk memenuhi kebutuhan Gereja, untuk menunjukkan pemikiran tentang kitab  suci,  untuk membetulkan  yang  salah dan untuk menjawab argumentasi lawan.  Dengan  begitu  maka   para   pengarang   Injil mengumpulkan   secara   tertulis  hal-hal  yang  mereka dapatkan sebagai tradisi lisan,  masing-masing  menurut pandangan dan seleranya."
Sikap  kolektif yang diperlihatkan oleh 100 ahli tafsir Perjanjian Baru Katolik dan Protestant  berbeda  sekali dengan  garis  yang  ditetapkan oleh Konsili Vatikan II dalam penyusunan   dogmatik   tentang   Wahyu,   yaitu penyusunan  yang dikerjakan antara tahun 1962 dan tahun 1965. Kita telah menyebutkan di  atas  tentang  dokumen penting  yang dihasilkan oleh Konsili tersebut mengenai Perjanjian Lama. Konsili Vatikan  II  telah  mengatakan bahwa  fasal-fasal  Perjanjian  Lama mengandung hal-hal yang tidak sempurna dan  lemah  (imparfait  et  caduc), akan tetapi Konsili tersebut tidak memberikan "reserve" yang sama terhadap Injil. Sebaliknya  Konsili  tersebut menyebutkan:
"Semua orang tahu bahwa di antara tulisan-tulisan Kitab suci, termasuk yang  terdapat  dalam  Perjanjian  Baru, Injil-Injil menunjukkan kelebihan yang menonjol, karena Injil itu merupakan kesaksian  yang  tertinggi  tentang kehidupan  dan  ajaran kata Tuhan yang menjelma menjadi manusia, juru selamat kita.  Di  mana  saja  dan  kapan saja,  Gereja  selalu  mempertahankan bahwa empat Injil itu berasal dari para Rasul (sahabat Isa).  Injil-Injil itu  adalah apa yang telah diceramahkan oleh para Rasul dengan mengikuti perintah Yesus. Oleh karena  itu  maka para  Rasul  dan  orang-orang  yang selalu dekat dengan mereka, telah mendapat inspirasi suci dari Ruhul  Kudus dan  meriwayatkan  tulisantulisan  yang merupakan dasar kepercayaan  Kristen,   yakni   Injil,   dengan   empat bentuknya yaitu Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas dan Injil Yahya." "Ibu Suci (Gereja)  selalu  berpegang dengan   kuat  bahwa  empat  Injil  yang  diberi  sifat bersejarah  telah  menyampaikan  dengan  penuh   amanat segala  apa  yang  diperbuat  dan diajarkan oleh Yesus, putra Tuhan, selama ia hidup di antara  manusia  sampai ia  diangkat  ke  langit.  Para pengarang suci kemudian menyusun Injil empat yang memberikan kepada kita segala yang benar dan jujur mengenai Yesus."
Kata-kata  yang  kita kutip daripada Konsili Vatikan II itu menunjukkan secara tegas kepercayaan  bahwa  Injil telah  meriwayatkan perbuatan dan perkataan Yesus. Akan tetapi kita merasakan ketidakserasian antara pernyataan Konsili  tersebut dengan pernyataan pengarang-pengarang yang kita sebutkan sebelumnya, khususnya kata kata R.P. Kannengiesser: "Kita  tidak boleh memahami Injil-lnjil secara  harafiah,  oleh  karena  Injil  itu   merupakan tulisan-tulisan  daripada keadaan-keadaan tertentu atau tulisan-tulisan  perjuangan   yang   penulis-penulisnya memelihara  tradisi  masyarakat  mereka  mengenai Yesus dengan tulisan."
"Injil-Injil adalah teks-teks  yang  menyesuaikan  diri dengan bermacam-macam lingkungan, memenuhi kebutuhan-kebutuhan Gereja, melontarkan pikiran-pikiran mengenai  Kitab  suci,  membetulkan kesalahan-kesalahan dan  menjawab   argumentasi   lawan.   Dengan   begitu, Injil-injil mengumpulkan dan menuliskan apa yang mereka terima dari tradisi lisan, menurut  pandangan-pandangan pribadi mereka." (Terjemahan Ekumenik dari Injil).
Nyata sekali hahwa antara deklarasi Konsili Vatikan dan sikap-sikap yang lebih baru terdapat kontradiksi. Tidak mungkin  untuk  menyesuaikan  deklarasi Vatikan II yang mengatakan bahwa dalam Injil,  kita  menemukan  riwayat yang  jujur  tentang  perbuatan  dan  perkataan  Yesus, dengan  adanya  kontradiksi, kekeliruan, kemustahilan material dan pemberitaan yang  bertentangan  dengan realitas ilmiah yang sudah pasti.
Sebaliknya, jika kita memandang Injil sebagai  ekspresi dari pandangan-pandlangan pribadi dari orang-orang yang mengumpulkan tradisi-tradisi lisan yang terdapat  dalam bermacam-macam  kelompok,  kita tidak merasa heran jika kita     menemukan      dalam      Injil-Injil      itu keterangan-keterangan     yang     menunjukkan    bahwa Injil-lnjil tersebut  ditulis  oleh  orang-orang  dalam suasana  yang  telah kita terangkan di atas. Mereka itu dapat saja  merupakan  orang-orang  yang  sangat  jujur walaupun  mereka  itu  meriwayatkan hal-hal yang memuat kontradiksi  dengan  pengarang-pengarang  lain   karena mereka   sendiri   tak   pernah   merasa   curiga  akan kebenarannya, atau mungkin sekali karena ada persaingan keagamaan  antara  dua  kelompok, mereka itu menyajikan riwayat kehidupan Yesus menurut kaca mata  yang  sangat berlainan dengan kaca mata lawannya.
i.        Kedudukan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam tradisi Kristen
Kedudukan PL dan PB ini dalam tradisi umat Kristen ini bisa kita lihat dengan kasat mata, bagaimanapun PL dan PB ini menjadi pedoman bagi umat Kristen tersendiri.
Seiring dengan berjalannya waktu pasti ada perubahan baik dalam PL maupun PB, tetapi ini bagi mereka tetap menjadi panduan hidup merekan.
j.        Konsep al-Qur’an tentang Taurat, Zabur, dan Injil
Menurut al-Qur’an[18], semua kitab yang disebut dalam Qur’an, baik Taurat, Zabur dan Injil serta Qur’an bersumber pada kitab Induk (Ummul Kitab) di surga. Kebenaran yang Allah wahyukan kepada para nabi, belum merupakan kebenaran, demikian pun yang diturunkan kepada Muhammad. Menurut Qur’an, pada tiap-tiap periode zaman Tuhan menurunkan kitab suci, dan di antara kitab-kitab itu tidak ada pertentangan, melainkan saling melengkapi :
Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)[19]. Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan, dan di sisiNyalah terdapat Ummul Kitab. (Surat 13:38)

Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan Nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. (Surat 4:163)
Dari sekian banyak wahyu yang diberikan kepada para nabi, ada yang berupa suhuf (lembaran pendek); ada yang berupa kitab. Qur’an mengenal adanya 4 kitab Wahyu, yakni Taurat, Zabur, Injil dan Qur’an. Taurat dan Injil mendapat kedudukan yang penting sebagai “petunjuk dan cahaya” bagi orang Yahudi, Nasrani dan juga Islam[20] :
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi) yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerahkan diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.   (Surat 5:44)

Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertaqwa. (Surat 5:46)

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.  (Sura 4:136). dan Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu[21], serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat[22]. (Surat 2:4)
Qur’an diturunkan khusus bagi orang-orang Arab yang tidak berkitab dan tidak mengerti bahasa-bahasa Kitab sebelumnya. Pada masa Muhammad, Alkitab di tanah Arab belum beredar secara luas, dan Alkitab yang ada ditulis dalam bahasa Ibrani, Aram, Koptik, Etiopia. Yang lebih banyak adalah Targum (terjemahan Taurat dalam bahasa Syria disertai tafsiran). Sedangkan Alkitab bahasa Arab baru diterjemahkan setelah lahirnya agama Islam. ) Orang Arab membutuhkan kitab dalam bahasanya sendiri. Qur’an mengatakan:
(Kami turunkan al-Qur’an itu) agar kamu (tidak) mengatakan : Bahwa Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan[23]  saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca[24]. (Surat 6:156)

Dan kalau al-Qur’an itu Kami turunkan kepada salah seorang dari golongan bukan Arab, lalu ia membacakannya kepada mereka (orang-orang kafi); niscaya mereka tidak akan beriman kepadanya (Surat 26:198-199)
Dari itu Qur’an tidak mengklaim diri sebagai wahyu baru. ) Ia menjadi baru bagi orang-orang Arab jahiliyah. Selanjutnya  Qur’an pun tidak mengatakan sebagai wahyu yang lengkap. Ia merupakan sebagian dari yang diwahyukan kepada nabi-nabi terdahulu :
Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang, kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu (Surat  6:34)
Maka masih ada hal-hal yang belum dijelaskan dalam Qur’an yang perlu ditanyakan kepada Alkitab :
Kami tiada mengutus sebelum engkau (ya Muhammad) melainkan beberapa orang laki-laki, yang kami wahyukan kepada mereka, sebab  itu tanyakanlah kepada orang-orang Ahli Kitab (orang Yahudi dan Nasrani) jika kamu tidak tahu (Surat 21:7 terjemahan Mahmud Yunus)

Dari pernyataan Qur’an itu, jelas bahwa :

1. Taurat, Zabur dan Injil serta suhuf para Nabi bersama Qur’an bersumber kepada Ummul Kitab.
2. Alkitab tetap berlaku bagi orang Yahudi , Nasrani bahkan Islam (Sura 2:4, Sura 4:136).
3. Bahwa Alkitab menjelaskan hal-hal yang kurang jelas dalam Qur’an (Sura 21:7)
Pada masa kini berkat Gerakan Pembaruan Islam, mulai muncul kesadaran untuk menempatkan al-Qur’an secara proporsional, tidak dilebih-lebihkan sebagaimana kepercayaan Islam fundamentalis dan tradisional. Misalnya seperti yang dikatakan Dr.Harun Nasution[25] : “Pindah ke soal mana dogma, mana bukan dogma dalam Islam, baik ditegaskan terlebih dahulu bahwa di dalam al-Qur’an terdapat segala-galanya adalah pendapat yang tidak sesuai dengan kenyataan dan telah ditolak oleh pemikir-pemikir pembaruan dalam Islam. Dalam konsep pembaruan, al-Qu’ran bukanlah kitab yang mengandung segala hal seperti ilmu pengetahuan, ilmu kemasyarakatan, ilmu politik, ilmu hukum dan sebagainya….Al-Qur’an hanya mengandung prinsip-prinsip tentang hidup kemasyarakatan umat…) Pandangan Nasution tidak beda dengan sarjana pembaru lain, seperti Dr.Fazlur Rahman[26] yang mengatakan al-Qur’an adalah sebuah buku prinsip-prinsip dan seruan moral.) Itu berarti bahwa Qur’an bukan juga buku dokumen yang memuat terperinci tentang ajaran iman maupun rincian kitab-kitab suci lain. Secara prinsip Qur’an mengakui keabsahan Alkitab, tanpa menyebut isi maupun jumlah buku-buku dalam Alkitab, Qur’an menganjurkan : “tanyakanlah kepada orang-orang ahli Kitab, jika kamu tiada tahu” (Sura 21:7)









[1] Dr. C. Groenen Ofm, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984), h. 11.
[2] Dr. C. Groenen Ofm, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984), h. 12.
[3] http://www.topix.com/forum/world/malaysia/T36RPVFLT5NS11EKS
[4] Dr. C. Groenen Ofm, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984), h. 22-23.
                    [5] Dr. Maurice Bucaille, BIBEL, QUR-AN, dan Sains Modern, Judul Asli: La Bible Le Coran Et La Science, Alih bahasa: Prof. Dr. H.M. Rasyidi, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1979


[6] Galatia 1:11-12
[7] Sunberg AC (1971)
[8] A) Duncan GB (1971) B) Davies JN (1929a) C) Moffat J (1929) D) Sunberg AC (1971) E) Pherigo LP (1971) F) Asimov J (1969) G) Mack BL (1996) H) Nineham DE (1973) I) Leon Dufour X (1983) J) Kee HC (1971) K) Fenton JC (1973) L) Baird W (1971) M) Shepherd MH (1971)
[9] Rujukannya adalah kepada Markus, yang dinisbahkan kepengarangannya pada seorang penerjemah Petrus, salah seorang murid Yesus. Penting dinyatakan bahwa rujukan oleh Papias dengan jelas menyatakan bahwa pengarang Markus tidak pernah bertemu dengan Yesus, dan bukan salah seorang pengikut Yesus. Lebih jauh, Papias menyatakan bahwa ia lebih menyukai tradisi-tradisi lisan daripada injil-injil tertulis yang akrab dengannya. (Jerald F. Dirks [2001])
[10] Sunberg AC (1971)
[11] A) Platt RH, Brett JA (eds) B) Cameron R (1982) C) Pagels E (1979) D) Robinson JM (1990) E) Hennecke E, Schneemelcher W, Wilson RM (1963)
[12] A) Laymon CM (1971b) B) Mack BL (1996)
[13] Sunberg AC (1971)
[14] Prof. E.P. Sanders dalam bukunya: The Historical Figure of Jesus, h. 63-64
[15] Prof.  Alvar Ellegard, dari University of Guteborg, Sweden dalam bukunya: Jesus, One Hundred Years before Christ, h. 188
[16] Spong dalam bukunya: Why Christianity Must Change or Die, h.  XV
                [17]Dr. Maurice Bucaille, BIBEL, QUR-AN, dan Sains Modern, Judul Asli: La Bible Le Coran Et La Science, Alih bahasa: Prof. Dr. H.M. Rasyidi (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1979)
[18] Perjanjian Lama diterjemahkan lengkap ke dalam bahasa Arab baru pada abad ke- 9 boleh Sa’adiyah Ga’on; Perjanjian Baru oleh Ishaq Hunaini. “Ancient Version The Interpreter’s Dictionary of The Bible”
[19] Tujuan ayat ini ialah pertama-tama untuk membantah ejekan-ejekan terhadap Nabi Muhammad s.a.w. dari pihak musuh-musuh beliau, karena hal itu merendahkan martabat kenabian. Keduanya untuk membantah pendapat mereka bahwa seorang rasul itu dapat melakukan mukjizat yang diberikan Allah kepada rasul-Nya bilamana diperlukan, bukan untuk dijadikan permainan. Bagi tiap-tiap rasul itu ada Kitabnya yang sesuai dengan keadaan masanya.
[20] Dr.H.A.R Gibb: “Muhammad tidak sekali-kali mengakui telah membawa wahyu baru, Beliau menegaskan bahwa kitab yang diberikan kepadanya hanyalah suatu pernyataan baru dari agama yang telah diberikan kepada nabi-nabi sebelumnya. Islam Dalam Lintasan Sejarah., h. 52
[21] Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum Muhammad s.a.w. ialah kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al Quran seperti: Taurat, Zabur, Injil dan Shuhuf-Shuhuf yang tersebut dalam Al Quran yang diturunkan kepada para Rasul. Allah menurunkan Kitab kepada Rasul ialah dengan memberikan wahyu kepada Jibril a.s., lalu Jibril menyampaikannya kepada Rasul.
[22] Yakin ialah kepercayaan yang kuat dengan tidak dicampuri keraguan sedikitpun. Akhirat lawan dunia. Kehidupan akhirat ialah kehidupan sesudah dunia berakhir. Yakin akan adanya kehidupan akhirat ialah benar-benar percaya akan adanya kehidupan sesudah dunia berakhir.
[23] Yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani.
[24] Diturunkan Al Quran dalam bahasa Arab agar orang musyrikin Mekah tidak dapat mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai kitab karena kitab yang diturunkan kepada golongan Yahudi dan Nasrani diturunkan dalam bahasa yang tidak diketahui mereka.
[25] Dr.Harun Nasution : “Agama yang hendak diteliti”, Theologia Religionum, h. 30
[26] Dr.Fazlur Rahman : Islam, h. 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar