"WELCOME IN MY BLOG"

Selamat Datang di Blog Saya Semoga Pengunjungan Anda ke Blog Saya Bisa Memberikan Manfaat untuk Anda dan Terimakasih atas Kunjungannya

Rabu, 06 Juli 2011

KERAJAAN ISLAM NUSANTARA


PEMBAHASA
1.    Konversi Hindu ke Islam
Masa antara abad XIII-XVI mempunyai arti penting ditinjau dari sejarah kebudayaan Indonesia karena dua kenyataan historis. Pertama, berdirinya kerajaan Islam Samudra Pasai sebagai kerajaan pertama di Nusantara, serta perkembangan komunitas muslim di pantai utara lama, dan di sekitar pusat kraton Majapahit. Periode tersebut juga ditandai oleh tumbuhnya kebudayaan Islam di lingkungan komunitas muslim yang berkembang seeara perlahan-lahan. Kedua, Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan Hindu-Buda terbesar di Nusantara, sepanjang abad XIV-XVI menguasai jaringan perdagangan di Nusantara serta berpengaruh di kawasan Asia Tenggara. Memasuki abad XV, kekuasaannya mulai mundur disebabkan antara lain oleh konflik internal yang berlarut-larut sesudah pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), dan peristiwa itu menjadi salah satu sebab keruntuhan kerajaan tersebut pada perempat awal abad XVI (Noorduyn 1978 207-274).
Penyebaran dan perkembangan Islam di Nusantara dapat dianggap sudah terjadi pada tahun-tahun awal abad XII M, seperti dibuktikan oleh sekitar 2500 abklatch nisan berinskripsi di Sumatra Utara, Perlak dan Samudra (Damais 1995: 183). Berdasarkan sumber epigrafi pada nisan-nisan dan artefak lain dapat diketahui bahwa penyiaran Islam di Nusantara tidak bersamaan waktunya, demikian pula kadar pengaruhnya pun berbeda-beda di suatu daerah.
Pengembangan Islam yang pesat saat itu telah didahului oleh pertumbuhan komunitas muslim secara sporadis di kota-kota pelabuhan Majapahit, khususnya Bandar-bandar sepanjang pantai utara Jawa Timur dan Sungai Brantas serta di sekitar Trowulan-Troloyo yang diduga sebagai pusat pemerintahan kerajaan Majapahit. Bersamaan dengan itu terjadilah perpindahan agama (konversi) dari agama Hindu-Buda ke Islam oleh sebagian besar penduduk di pusat-pusat perdagangan tersebut. Dalam kaitan sejarah penyebaran Islam di Jawa momentum tersebut bersamaan waktunya ketika para penyebar Islam yang dalam sumber babad disebut Wali melakukan aktifitasnya sehingga periode itu juga dikenal sebagai zaman para Wali atau zaman Kinvalen.
Dalam konteks sejarah kebudayaan Islam di Jawa, rentangan waktu abad XIV-XVI ditandai oleh tumbuhnya suatu kebudayaan baru yang menampilkan sintesa antara unsur kebudayaan Hindu-Budha dengan unsur kebudayaan Islam. Kebudayaan baru itu di dalam kepustakaan antara lain dikenal sebagai kebudayaan masa peralihan. Berdasarkan temuan bukti-bukti arkeologis Islam di daerah pantai dan pedalaman menunjukkan bahwa apa yang digambarkan sebagai kebudayan tersebut sebagian besar adalah hasil kebudayaan Islam yang tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan masa kejayaan hingga sulitnya kerajaan Majaphit dan tumbuhnya Demak sebagai kesultanan Islam pertama di Jawa.
Kajian yang membahas kebudayaan Islam masa peralihan di Jawa secara menyeluruh dan utuh belum banyak diketahui. Sebagian besar kajian tersebut terbatas pada salah satu aspek saja misalnya, epigrafi (Moquette 1921, Ravaisse 1925, Damais 1957, Baloch 1980), filologi (Gunning 1882, Ronkel 1910, Djajadiningrat 1913, Schrieke 1916, Drewes 1969 dart 1978, Hasyim 1990), sufi (Poerbatjaraka 1930, Drewes 1955, 1966 dan 1977; Johns 1961), arsitektur (Graaf 1936 dan 1963; Pijper 1947 : 274-283 dan 1977; Tjandrasasmita 1987), artefak dan ornamen (Chris van Robbe 1986; Ambary 1988; Yatim 1988), dan sejarah (Wiselius 1876; Pigeaud dan de Graaf 1974 dan 1976).
Pengetahuan tentang kebudayaan Islam masa peralihan di Jawa Timur kiranya cukup penting, karena menyangkut dua hal yaitu pertama, untuk melacak proses penyiaran Islam di lingkungan masyarakat di bandar-bandar dan di lingkungan kraton yang mayoritas beragama Hindu-Buda Kedua untuk mengetahui latar belakang sejarah pertumbuhan seni-bangun dan tradisi sastra tulis Islam yang masih memperlihatkan unsur-unsur budaya pra-Islam.[1]

2.    Raja/Sultan duplikasi khalifah dalam arti yang sempit
Raja merupakan sebagai khalifah, yang artinya dia mampunyai wewenang untuk mengatur daerah-daerah yang dipimpinnya. Sehingga dengan adanya wewenang-wewenang tersebut masyarakat tidak mudah melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai. Kerena kalau pun mereka ingin melakukannya, mereka akan mempertimbangkan dulu, dan setiap apa yang mereka langgar akan ada denda atau hukuman bagi mereka.
Di sini kami akan mencoba sedikit memaparkan tentang apa yang kami pahami tentang Sultan duplikasi khalifah dalam arti yang sempit. Sultan merupakan orang yang memegang kuasa penuh, semua ketentuan dan keputusan berada di tangan Sultan, sultan tidak boleh ditentang karena dia yang mengatur terhadap apa yang telah ditentukan oleh dia, dia mempunyai kuasa penuh.

3.    Kedudukan Ulama sebagai Qadli
Secara ideal, bila sebuah Negara (kerajaan) masuk islam atau  menjadi Negara islam,  maka hukum islam  secara otomatis menjadi hukum negara. Namun harus diakui bahwa perubahan hukum tidak dapat dilaksanakan dengan cepat. Karena itulah hukum islam tidak sepenuhnya menggantikan hukum adat. A.C. Milner mengatakan bahwa baru Aceh dan Banten kerajaan Islam di Nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum negara.[2] Sebenarnya penerapan hukum islam sudah lama diterapkan dibeberapa kerajaan di Nusantara sebelum masa kolonial. Hanya saja penerapannya yang berbeda-beda menurut waktu dan tempat. Ada yang ketat (Aceh dan Banten) dan ada pula yang longgar (Mataram).   Sultan Samudra Pasai, Malik al-Sholeh adalah ahli dalam bidang fiqhh menurut madzhab Syafi’i. Dalam bidang hukum dia dibantu oelh seorang Qodhi yang didukung oleh para ulama dari manca negara. Namun sejauh mana pelaksanaan hukum islam pada saat itu tidak dapat diketahui karena hanya sedikit bukti-bukti sejarah tentang hal tersebut yang ditemukan, Salah satunya adalah prasasti batu bertulis dari Trengganu.[3]
Di Malaka pelaksanaan hukum Islam lebih berkembang, hal ini dibuktikan dengan adanya undang-undang Malaka dengan nama Risalah Hukum Kanun yang disusun pada masa Sultan Muzaffar Syah (1446-1456).[4] Undang-undang ini memuat kehidupan masyarakat, sampai hukum tentang perniagaan, dan investasipun  dimuat. Risalah Hukum Kanun secara meluas diduga diterapkan juga diberbagai negara Melayu, karena beberapa salinannya ditemukan di Riau, Pontianak, Pahang, dan Brunei.[5] Aceh mempunyai Undang-undang Dasar Islam Bernama Kitab Adat Mahkota Alam.[6] Sultan Alau al-Din dan Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kwajiban shalat lima waktu dan ibadah puasa secara ketat. Hukuman dijalankan kepada mereka yang melanggar kewajiban itu.
Sultan Iskandar Muda sangat ketat menerapkan hukum. Ia pernah menghukum dua orang Aceh pemabuk dengan menuangkan timah hitam mendidih ketenggorokannya. Memotong tangan pencuri. Sebagian bangsa barat yang pernah mengunjungiAceh berkata, bahwa mereka pernah melihat orang-orang yang sudah dipotong dengan cara demikian di jalanan, mereka yang sudah berulang kali mencuri dibuang di pulau lepas pantai Sabang. Bahkan Sultan Iskandar Muda menghukum rajam putranya sendiri, Meurah Pupok, yang kedapatan berzina dengan istri seorang perwira. Ketika dicegah oleh penasehatnya, sultan berkata: “Mati anak ada makamnya, mati hukum kemana hendak dicari.”[7]
Sultan Iskandar Sani (1637-1641) pengganti Iskandar Muda kemudian membersihkan hukum islam dari praktik-praktik hukum tradisional yang tidak sesuai dengan hukum islam, misalnya pemakaian ujian berat tradisiaonal yang berbau sihir. Di Malaka, bila ada dua belah pihak bersengketa yang tidak seorangpun mengaku salah, mereka memasukkan tangan mereka ke dalam air atau timah mendidih untuk menandai siapa yang salah. Dengan ujian seperti ini diyakini orang yang tidak bersalah tidak akan merasa sakit. Hukum seperti ini mengundang berkembangnya ilmu sihir.[8] Mufti yang mendampingi Iskandar Muda adalah Syamsuddin Sumatrani, sedangkan zaman Iskandar Sani adalah Nurudin al-Raniri.
Pada awalnya Islam di Kalimantan hanya kelompok minoritas dan terbatas pada orang Melayu, itu pun hanya sekadar mengucapkan dua kalimat syahadat. Sultan-sultan kurang berusaha untuk memajukan Islam. Barulah oleh M. Arsyad al-Banjari (1122-1227/1710-1812), seorang ulama paling terkenal di Kalimantan, Islam meluas dengan pesat. Diantara usaha-usahanya setelah kembali dari pendidikannya di Haramayn ke negaranya adalah mendirikan lembaga pendidikan Islam pada zaman Sultan tahmid Allah (1773-1808), kemudian ia menjadikan doktrin hukum Islam menjadi acuan dalam pengadilan kriminal, serta memprakarsai jabatan mufti yang bertanggung jawab atas fatwa mengenai masalah sosial keagamaan.[9]
Di Jawa kerajaan yang paling ketat melaksanakan hukum islam adalah Banten. Antara tahun 1651-1682 dibawah Sultan Ageng Tirtayasa, diberlakukan hukum potong tangan kanan selanjutnya potong kaki kiri untuk pencurian secara berturut-turut senilai sekurang-kurangnya satu gram emas. Sultan ini memiliki Mufti Syaikh yusuf al-Makassari. Selain potong tangan di Banten juga menghukum orang yang menggunakan opium dan tembakau. Hukuman berat juga dilaksanakan terhadap pelaku pelanggaran seksual. Pada zaman ini Banten merupakan kesultanan Nusantara yang mempunyai hubungan internasional, baik dengan Kesultanan Aceh ataupun Kesultanan Mughal di India. Bahkan Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar Sultan dari Syarif Makkah.

4.    Aplikasi hukum Islam dalam kerajaan
­­­­Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda[10]
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
-         Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
-         Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
-         Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut :
        Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
        Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
        Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat).
        Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling  (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.
Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan  Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
-         Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
-         Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
-         Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
-         Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
-         Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
-         Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.
Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru[11]
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.
Hukum Islam di Era Reformasi[12]
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
5.    Hukum Islam lebih didominasi hukum keluarga (ahwal syakhsyiyah) karena wawasan keislaman mengalami reduksi baik arti maupun pranata politik hukumnya
Seperti Rukun Islam yang merupakan inti kewajiban kaum Muslim dalam beribadah kepada Tuhan, hukum keluarga adalah inti hukum sosial Islam. Karena sentralitas umat di dalam Islam dan peran keluarga sebagai unit dasar masyarakat Muslim, hukum keluarga memperoleh posisi terhormat dalam perkembangan hukum Islam maupun penerapannya sepanjang sejarah. Ketika para khalifah dan penguasa Muslim modern mungkin membatasi, menyunat, dan mengganti hukum pidana atau hukum dagang, hukum keluarga Muslim umumnya tetap berlaku.[13]
Status istimewa hukum keluarga mencerminkan perhatian al-Qur’an terhadap hak-hak perempuan dan keluarga maupun masalah itu dalam masyarakat patriarkhal tempat hukum ini dielaborasikan. Struktur sosial keluarga tradisional, peran dan tanggung jawab anggotanya, dan niali-nilai keluarga mungkin dapat diidentifikasi dalam hukum keluarga ini.
Sebuah keluarga besar memiliki seorang kepala atau pemimpin, ayah atau anggota tertua laki-laki, yang mengandalikan dan membimbing unit keluarga. Keluarga ini menjadi masyarakat inti dan unit ekonomi dari suatu suku dalam masyarakat yang didominasi kaum pria.[14] Islam sungguh mengatur semua itu dengan yang sudah sesuai apa yang ada dalam al-qur’an.























Daftar Pustaka
Ashshiddiqie, Jimly. Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, September 2000
Effendy, Bahtiar.  Islam dan Negara (Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia), Jakarta: Paramadina, Oktober 1998
Esposito, Jonh L. cet. I. ISLAM WARNA WARNI: Ragam Ekspresi Menuju “Jalan Lurus”. Jakarta: Paramadina, 2004
-----------------------. Women in Muslim Family Law. Syracuse, N.Y.: Syaracuse University Press, 1982
Hutabarat, Ramly. Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005.
Mustopo, Moehamad Habib. Kebudayaan Islam masa peralihan di Jawa Timur pada abad XV XVI: kajian beberapa unsur budaya (Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI-Disertasi, S3), DeskripsiDokumen: http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=83644&lokasi=lokal
Reid, Anthony. cet. I.  Asia Tenggara dalam Kurun Niaga. 1450-1680
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005



[1] Moehamad Habib Mustopo, Kebudayaan Islam masa peralihan di Jawa Timur pada abad XV XVI: kajian beberapa unsur budaya (Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI-Disertasi,S3),DeskripsiDokumen:http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=83644&lokasi=lokal
[2] A.C. Milner, “Islam dan Negara Muslim” dalam Musyrifah Sunanto, (Ed.), Sejarah Peradaban Islam Indonesia, h. 133.
[3] Sunanto, sejarah peradaban islam indonesia, h. 136.
[4] Sunanto, sejarah peradaban islam indonesia, h. 137.
[5] Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680”, cet I, h. 163.
[6] Uka Tjandrasasmita, sejarah Nasional Indonesia III, h.130
[7] Anthony reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, cet I, h. 161.
[8] Sunanto, sejarah peradaban islam indonesia,  h. 138.
[9] Sunanto, sejarah peradaban islam indonesia,  h. 142.
[10] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara (Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia), Jakarta: Paramadina, Oktober 1998.

[11] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005.

[12] Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, September 2000
[13] Untuk analisis yang lebih menyeluruh tentang hukum keluarga Muslim, lihat John L., Women in Muslim Family Law  (Syracuse, N.Y.: Syaracuse University Press, 1982)
[14] Jonh L. Esposito, ISLAM WARNA WARNI (Jakarta: Paramadina, 2004), cet, I, h. 117.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar