"WELCOME IN MY BLOG"

Selamat Datang di Blog Saya Semoga Pengunjungan Anda ke Blog Saya Bisa Memberikan Manfaat untuk Anda dan Terimakasih atas Kunjungannya

Rabu, 06 Juli 2011

SEKILAS PANDANGAN MENGENAI PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI ASIA TIMUR


SEKILAS PANDANGAN MENGENAI PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI ASIA TIMUR
Secara tradisi dikatakan bahwa penyebaran Agama Buddha dari India ke Tiongkok (China) dan terjemahan kitab suci yang pertama kali dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Mandarinterjadi selama kerajaan ‘Kaisar Pertama’ atau The First Emperor (Shih Huang-Ti; tahun 246-210 S. M.),dari dynasti Ch’in yang berlangsung singkat.
Di samping tradisi dikatakan bahwa Buddhism di perkenalkan ke China dalam tahun 67 M. terjemehan kitab suci agama Buddha yang pertama kali ke dalam bahasa Mandarin diperkirakan telah di buat selama pemerintahan Han kemudian Raja Ming Ti (57-75 M.).
Kebanyakan kitab suci agama Buddha dari India yang sampai ke China melalui perjalanan darat yang dikenal dengan Silk Road atau jalan Sutra, walaupun sebagiannya dikirim dari India dan Srilangka melalui laut, sutra-sutra agama Buddha itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin.
1.      System P’an-Chaio (Satu Aliran Saja)
Sebagaimana telah dicatat bahwa selama dinasti Utara dan Selatan, system P’an-Chaio untuk membentuk klasifikasi kitab-kitab suci dan berkonsentrasi pada penyelidikan secara ilmiah guna menentukan tempat sejarah yang benar mengenai sutr itu sendiri, dan doktrin yang sampai dengan bagan besar mengenai ajaran Buddha Shakyamuni. Dengan pendekatan ini, di uraikan sekte-sekte: 1) P’i-T’an, 2) Ch’eng-Shih, 3) Nieh-P’an, 4) Ti-Lun, 5) She-Lun.
1.1. Sekte P’i-T’an (Abhidharma); mempelejari filasafat Abhidharma, menyatakan dengan fakta suatu teori yang sangat mum, masuk akal mengenai eksistensi dan realitas.
1.2. Sekte Ch’eng-Shih (Penyelesaian dari Kebenaran; Satyasiddhi; Joicicesyu); mengikuti risalat mengenai penyelesaian dari kebenaran Satyasiddhi-Sastra), di mana pada saat itu teori-teorinya dengan kritis menentang pemikiran Abhidharma.
1.3. Sekte Nieh-P’an; mengikuti Mahayana-Parinirvana-Sustra atau kembali ke Sutra-Mahayana, yang mengajarkan bahwa semua makhluk hidup memiliki sifat dasar Buddha, atau berkemampuan untuk memperoleh ke-Buddha-an, dan percaya bahwa bahkan makhluk yang paling bejat akhlaknya dapat memperoleh ke-Buddha-an.
1.4. Sekte Ti-Lun; mendukung Shih-ti-ching-lun (Dasa Bhumika Sutra Sastra), yang di rtulis pada abad ke-4 atau ke-5 oleh guru India-Vasubandhu.
1.5.    Sekte She-Lun; mengikuti risalat umum mengenai Buddhism-Mahayana (Mahayana Samgraha; She-Ta-Cheng-Lun) yang di tulis oleh Asanga, saudaranya Vasubandhu. Kedua naskah ini menguraikan kebenaran ajaran Mahayana.
1.5.a. Sekte Fa-Hsiang; secara tradisi dari penyelidikan intelektual menunjukkan sekte-sekte ini berlanjut hingga dinasti T’ang dan penemuan sekte Fa-Hsiang (Dharma yang bercirikan Eksistensi, berdasarkan pada naskah Ch’ang-Wei-Shih-Lun atau risalat mengenai Pembentukan Doktrin mengenai hanya kesadaran.
1.5.b. Sekte San-Lun (Tri-Sastra atau Tiga Risalat; Sarvasunyavada Madhyamika); yang lahir selama dinasti Sui. Sekte ini mewarisi pandangan Nagarjuna Madhyamika.
2.   Buddhism Sukhavati (Chin-Tu)
Dari sekitar akhir dinasti Utara dan Selatan (317-589), Buddhism sukhavati (Pure-Land), dengan penekanannya mengenai latiahan nien-fo, memohon dengan khusuk dengan menyebut nama Buddha Amithaba agar supaya terlihat di Sukhavati juga secara luas diterima. Tan-Luan (476-542), Tao-Cho (562-645), Shan-Tao (613-811), tiga guru terdahulu dari sekte Sukhavati yang mendapatkan kepopuleran melatih nien-fo, semua mengerti spiritual, tanpa rintangan dari ketidakbenaran dengan interpretasi halus dari setiap kata yang terkandung di dalamnya.
3.      Sekte Avatamsaka (Hua-Yen-Tsung; Kegon-Shu)
Avatamsaka berarti ‘lingkaran karangan bunga’. Sekte Avatamsaka atau Hua-Yen-Cung di China, dan di Jepang dikenal sebagai Kegon-Shu. Sekte ini, ajarannya diambil dari Avatamsaka-Sutra.
Sekte Avatamsaka juga menggolongkan diri ajarannya Hyang Buddha, yang merupakan cirri khas dari sekte ini, yaitu:
a.      Alairan Hinayana:
Aliran ini berhubungan dengan Catur-Agama (Dirghagama-Sutra, Madhyamagama-Sutra, Samyuktagama, Ekotarikagama-Sutra). Termasuk pada aliran ini ialah Sekte Abhidharma-Kosa.
b.      Aliran Permulaan-Mahayana:
Aliran ini terbagi dua, yakni: Pertama, sekte Yogacara/Vijnanavada. Sekte ini menyebutkan adanya ichantika yaitu Buddhasvabhava atau yang tidak memiliki benih ke-Buddha-an. Kedua, sekte Tri-Sastra. Sekte ini berangagapan bahwa setiap makhluk dapat mencapai Samyak-Sambodhi.
c.       Aliran Akhir-Mahayana:
Termasuk aliran ini yaitu sekte T’ien-T’ai, yang berdasarkan Saddharma-Pundarika-Sutra, juga ajaran yang terdapat di dalam Lankavatara-Sutra, Maha-Pari-Nirvana-Sutra, termasuk juga pada aliran ini yaitu Mahayana-Sradhotpada-Sastra. Aliran ini menegaskan bahwa setiap makhluk mempunyai benih ke-Buddha-an dan dapat mencapai Samyak-Sambodhi.
d.      Aliran Mahayana yang menerangkan secara tiba-tiba:
Termasuk aliran ini yaitu sekte Dhyana atau Zen atau Ch’an. Aliran ini tidak banyak menggunakan kata-kata tetapi ajarannya langsung menembus ke hati, sila, Samadhi, akhirnya memperoleh penerangan sempurna atau prajna.
e.       Aliran Mahayana yang menerangkan secara sempurna:
Termasuk aliran ini yaitu sekte Avatamsaka.
Menurut sekte Avatamsaka dari mengolongkan ajaran Hyang Buddha seperti di atas diajadikan menjadi 10 golongan, yaitu:
Digolongkan Hinayana:
(1)   Vatsiputriya, hampir tidak digolongkan sebagai Buddhdisme
(2)   Sarvastivada, (3) Mahasanghika, (4) Prajnaptivada, merupakan cikal-bakal Mahayana.
Digolongkan Mahayana:
(5)   Lokottravada, (6) Ekottiya, (7) Madhyamika, (8) T’ien-T’ai, (9) Zen atau Ch’an, (10) Avatamsaka atau Hua-Yen.

4.      Sekte T’ien-T’ai (Saddharma-Pundarika; Tendai-Shhu)
Dinamakan Sekte T’ien-T’ai sebab perintis sekte ini tingggal dan mengajar di gunung T’ien-T’ai di Chi-Kiang. Sekte T’ien-T’ai yang berarti Fa-Hua atau Lotus, sebab sekte ini mengambil Saddharma-Pundarika-Sutra sebagai Sutra utama.
Sekte T’ien-T’ai cenderung untuk menganggap berasal satu tingkat lebih besar mengenai realitas pada dunia fenomena daripada sekte di india yang berikan. Di dalam perhatian mereka dengan aktivitas social mereka menekankan bahwa Nirbana menghilangkan semua penyakit, tapi bukan demikian juga ‘fungsi besar itu’ dari alam semesta.
Sekte T’ien-T’ai disamping menerangkan Ekayana (kendaraan tunggal) yaitu Buddhayana (kendaraan ke-Buddha-an), juga menerangkan Triyana atau tri-Yanani (tiga kendaraan), yaitu: (1) Sravakayana, (2) Pratyekabuddhayana, (3) Boddhisattvayana.
1)      Sravakayana: ialah ajaran Buddha Shakyamuni yang menuntun umatnya menjadi Arahat yaitu Dharma-Catvari Aryasatyani, disebut pula sebagai Hinayana (kereta kecil) dan akan mencapai tingkat Srota-apanna (Srotapanna), Sakradagamin, Anagamin,Arhat.
2)      Pratyekabuddhayana: ialah ajaran Buddha Shakyamuni yang menuntun umatnya menjadi Pratyekabuddha yaitu Dvadasanga Pratitya Samutpada Dharma, disebut pula Madyamayana (kereta Menengah) dan dimesukkan ke dalam golongan Hinayana yang berprinsip Atmahita (berfaedah bagi diri sendiri), karena setelah mencapai penerangan sempurna tidak lagi mengajarkan Dharmanya kepada umat-umat manusia dan para deva. Mencapai penerangan juga atas usaha sendiri.
3)      Boddhisattvayana: ialah ajaran Buddha Shakyamuni yang menuntun umatnya menjadi Boddhisattva yaitu Sad-Paramita. Boddhisattvayana dan Buddhayana digolongkan Mahayana (kereta besar) yang berperinsip Atmahita dan Parahita (bermanfaat bagi orang banyak) setelah mencapai penerangan sempurna. Dharma yang diajarkan oleh para Bdhisattva Dharma-Buddha Shakyamuni karena ia belum mencapai Samyaksambuddha.

5.      Sekte Ch’an (Dhyana; Zen)
Silsilah Buddhism Zen dimulai dari Shakyamuni Buddha dan Bodhidharma adalah silsilah yang ke-28, dan beliau adalah silsilah yang pertama atau patriarch pertama dalam Budhism Zen di China (Sekte Ch’an; Sekte Dhayana) dan patriarch yang ke-6 adalah Hui Neng.
Benih Buddhism Zen adalah dari India yang dibawa oleh Bodhidharma ke Tiongkok, dan hasilnya adalah di Tiongkok oleh Hui Neng.

6.      Sekte Tantrayana (Cen-Yen-Tsung; Shingon-Shyu)
6.1. Tantra Timur
Pada abad ke IV M., Srimita dari Kucha (Sinkiang) menterjemahkan sebuah kitab Tantrayana yang berisikan mantra-mantra, pengobatan serta doa-doa dan ilmu gaib, hal-hal demikian tidaklah mencerminkan nilai-nilai agung dari Tantrayana. Tatrayana yang murni baru dapat berkembang setelah datangnya 3 guru besar dari India ke Tiongkok pada masa dinasti T’ang (abad VI-VII), tiga Guru itu adalah:
§  Subhakarasinha/San Wu Wei (637-735 M.); beliau adalah bekas raja dari Orissa India dan pernah belajar di Nalanda, kemudian pergi ke Kashmir dan pada tahun 716 tiba di Chang an.
§  Vajrabodhi/Cin Kang Ce (663-723 M.); beliau berasal dari India Selatan dan belajar di Nalanda; beliau mempelajari Vinaya, Madhyamika, Yogacara, dan Vajrasekhara, pada tahun 720 beliau menterjemahkan Vajrasekhara ke dalam bahasa Tionghoa.
§  Amoghavajra/Pu Khung; beliau berasal dari India Utara dan menjadi siswa Vajrabodhi, pada waktu muda telah mahir tentang Tantrayana kemudian belajar lagi dengan Samantabhadra mengenai Vajra-sekharayoga dan Maha Vairocana Garbhakosa. Dia tiba di Chang an pada tahun 746 M.
6.2. Tantra Barat di Tibet
Agama Buddha di Tibet dikatakan telah mulai sekitar tahun 650 M., tapi kemajuan secara nyata baru dimulai satu abad kemudian. Agama Buddha di Tibet disebut juga Tantrayana Tibet atau Tantra Barat. Agama Buddha di Tibet dapat dibagi menjadi dua periode. Periode pertama: abad ke-7 sampai dengan abad ke-12. Periode kedua: abad ke-13 sampai dengan sekarang abad ke-20.
Secara umun dapat dikatakan Tantrayana adalah bagian dari Mahayana, dikarenakan dalam Tantrayana dijumpai pokok filsafat Mahayana seprti Sunyata, Bodhicitta, Tathata, Vijnana.
Ikhtisar dari sekte-sekte Tantrayana (Tantra Barat) di Tibet;
1)      Nying-ma-pa (Ninma-pa)
2)      bKa-gdam-pa (Kadam-pa)
3)      dGe-lugs-pa (Gelug-pa)
4)      bKa-rgyud-pa (Kargyud-pa)
5)      Sa-skya-pa (Saskya-pa)
6)      Shi-byed-pa

7.      Sekte Vinaya (Lu Chung; Risushyu)
Sekte Vinaya ini didirikan di Tiongkok pada waktu dinasti T’ang abad ke-6 oleh bikhu Tao Hsuan. Sesuai dengan namanya sekte ini sangat menitik beratkan pada kitab-kitab Vinaya.
Sekte Vinaya ini juga berkembang sampai ke Jepang dan Korea. Tahun 754, bhiksu Ch’ien Chen datang ke Nara-Jepang mengajarkan Vinaya kepada para bhiksu Jepang. Sekte Vinaya ini adalah aliran Mahayana yang didirikan di Tiongkok.
8.      Sekte Tri Sastra (San Lung Cung; San Ron Shyu; The Three Treatise School)
Sekte Tri Sastra ini diperkenalkan oleh Kumarajiva (344-413) ke Tiongkok sebagai mewakili atau mewarisi Madhyamika dari India. Sekte ini berkembang dan punya pengaruh sampai dengan abad 9, juga berkembang sampai ke Korea dan Jepang.
Sekte ini berpandangan secara filsafat dengan tiga tujuan utama:
1)      Membedakan ‘kebenaran (satya)’ menurut ‘kebenaran umum’ atau ‘konvensional’ dan ‘kebenaran lebih tinggi’ atau 'kebenaran absolut’.
2)      Secara dialektika menyangkal mereka yang berpandangan salah meluruskan pandangan yang salah ke pandangan yang benar.
3)      Menggunakan ‘delapan penyangkalan’ sebagai jalan tengah.

9.      Sekte Nichiren
Ajaran-ajaran dari Nichiren Daishonin:
1)      Nam-myoho-renge-kyo
Nam-myoho-renge-kyo: yang berarti “aku mengabdikan diriku terhadap kebenaran falsafah hidup yang tak terkatakan ke dalam dan keindahannya yang dijelaskan di dalam Sutra Teratai yang mengandung ajaran Buddhisme yang paling luhur.”
2)      Gohonzon
Gohonzon ini sebagai satu barang pusat pemujaan bagi semua orang di mana saja, dia mengukir Dai- Gohonzon Agung, yang kini di tempatkan di ruang utama Sho-Honda dari Daiseki-ji, kuil utama Nichiren Shoshu.
3)      Teori ‘Kidan’
Bedasarakan sejarah, kaidan adalah suatu bali Buddhis tempat para calon pendeta mengangkat nadar keagamaan, dalam Buddhisme Nichiren Daishonin, ini mempunyai arti lebih banyak, merupakan tempat pusat pemujaan di mana semua orang dapat menyatakan kebulatan tekad mereka untuk mengubah hidup mereka untuk perbaikan mereka sendiri dari karma yang menyedihkan melalui kekuatan Dai-Gohonzon yang maha besar.

Falsafah Buddhisme Nichiren:
1)      Tentang hubungan antara budi dan zat dalam jasad hidup dan menghasilkan istilah-istilah khas untuk menerangkan teorinya.
2)      Tentang hubungan antara lingkungan dan jasad.
3)      Nichiren mengajarkan bahwa roh semesta meresapi segala sesuatu dalam alam semesta.
4)      Nichiren juga menguraikan tentang kesadaran menusia melihat dunia dengan berbagai cara yang dapat diringkas dalam tiga golongan pokok: (1) pengamatan akan bentuk-bentuk sementara atau fenomena material (ketai), (2) pengamatan akan kehampaan atau fenomena spritual (kutai), (3) pengamatan akan sifat hakiki dari benda-benda (chutai), yang menampakkan dirinya dalam kedua bentuk lainnya.
5)      Ajaran Nichiren Daishonin juga berdasarkan dari sekte T’ien-t’ai yakni Ichinen-Sanzen yang berarti secara harfiah ‘tiga ribu gagasan dalam satu saat tunggal’.

10.  Sekte-Sekte Hinayana
10.1.        Sekte Abhidharma-Kosa (Chi-Se-Tsung; Kusa-Shu)
Sekte ini berpedoman pada; Abhidharma-Kosa Sastra Karya Vasubandhu; Abhidharma dari Sarvastivada, dan Maha Vibhasa Sastra; Catur Agama Sutra.
Sekte ini digolongkan seabagai realitis dikarenakan sekte ini lebih menitikberatkan penyelidikan pada kitab Abhidharma.
10.2.        Sekte Satyasidhi (Chen-Se-Tsung; Joicice-Shu)
Sekte ini berpedoman pada Satyasidhi Sastra karya Harivarman 250 M.-350 M., tejemahannya dalam bahasa Mandarin oleh Kumarajiva tahun 412 M. Sekte ini asalnya dari Sautrantika.
Filsafat sekte ini adalah ‘kekosongan’ dari alam fenomena; ‘aku’ dan ‘dharma’ adalah ‘kosong’ yang tanpa inti. Inti ‘aku’ terdiri dari Panca-skandha.

11.  Agama Buddha di Korea
Agama Buddha Mahayana mencapai puncaknya di Korea dibawa dinasti Koryo, terutama antara tahun 1140-1390. Penemu dinasti itu adalah seorang Buddhist yang saleh, menganggab keberhasilannya dengan perlindungan Hyang Buddha. Pada dinasti Koryo banyak mengeluarkan dana untuk upacara keagamaan yang menakjubkan, juga bangunan-bangunan serta karya seni yang tak terhitung dibangun.
12.  ASAL MULA AGAMA BUDDHA DI INDONESIA
12.1.        Ditemukan Prasasti dan Ruphang Buddha (Abad ke-4)
Sebuah Prasasti berasal dari abad ke-4 dekat bukit meriam di kedah, sebuah lempengan batu berwarna ditemukan di satu puing rumah bata yang diperkirakan mungkin merupakan kamar bhiksu Buddha. Lempengan batu itu berisi 2 syair Buddhist dalam bahasa Sanskerta ditulis dengan huruf abjad Pallawa tertua.
Tulisan yang kedua dari lempengan batu tersebut berbunyi :

" Karma bertambah banyak karena kurang pengetahuan dharma

Karma menjadi sebab tumimbal lahir

Melalui pengetahuan dharma menjadikan akibat tiada karma

Dengan tiada karma maka tiada tumibal lahir."

Bukti-bukti tertua dikatakan sekitar tahun 400 M., di Kalimantan Timur, dilembah-lembah Sungai Kapuas Mahakam dan Rata, terdapat tanda-tanda lain dari pengaruh India terlihat dalam bentuk patung Buddha dalam gaya Gupta.
Sebelum abad ke-5, di Kedah Sulawesi, Jawa Timur dan Palembang, patung-patung Buddha gaya Amaravati ditemukan (ini dihubungkan dengan tempat-tempat tertua, Amarawati di Sungai Kitsna kira-kira 80 mil dari pantai timur India, adalah negeri aliran besar patung Buddha yang berkembang dari tahun 150 sampai 250 M.), namun adanya negara Buddha di daerah-daerah itu belum ada yang mengetahui tentang kemungkinannya.
Sebuah kerajaan bernama Kan-to-li juga disebut oleh orang-orang tionghoa. Tahun 502 seorang Raja Buddha telah memerintah di sana dan tahun 519 putra raja Vijayavarman mengirim utusan ke Tiongkok. Kerajaan ini diperkirakan berada di Sumatera.
12.2.        Keluarga Syailendra pada zaman Crivijaya (Sriwijaya)
Sekilas asal mula peranan kehidupan Agama Buddha di Indonesia, dimulai pada zaman Crivijaya di pulau Suvarnadvipa (Sumatera) oleh keluarga Syailendra pada abad ke-7. Berapa lama Crivijaya telah ada sebelum itu masih merupakan suatu terkaan. Letak kerajaan Crivijaya di Sumatera Selatan mungkin sekali di Minangatamwan di daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri (sekitar Palembang).
Catatan-catatan berharga berupa prasasti-prasasti bila dikumpulkan menunjukkan adanya kerajaan kerajaan Buddha di Palembang. Prasasti-prasasti itu adalah :
Prasasti yang tertua ialah Prasasti Kedukan Bukit (dekat Palembang) yang dapat dipastikan tahun Caka (=13 April 683) menceritakan perjalanan suci Dapunta Hyang berangkat dari Minangatamwan.
Prasasti yang ke-2 ialah Prasasti Talang Tuo (dekat Palembang) yang memperingati dan pembuatan taman Criksetra (taman umum) didirikan tahun 684 atas perintah Raja Dapunta Hyang Crijayanaca sebagai kebajikan Buddha untuk kemakmuran semua makhluk. Semua harapan dan doa dalam prasasti itu jelas sekali menunjukkan sifat Agama Buddha Mahayana.
Prasasti yang ke-3 didapatkan di Telaga Batu tidak berangka tahun. Di Telaga Batu banyak didapatkan batu-batu yang bertuliskan Siddhayatra (=Perjalanan Suci yang berhasil) dan dari Bukit Siguntang di sebelah Barat Palembang ditemukan sebuah arca Buddha dari batu yang besar sekali berasal dari sekitar abad ke-6.
Prasasti ke-4 dari Kotakapur (Bangka) dan yang ke-5 dari Karang Berahi (daerah Jambi hulu), keduanya berangka tahun 686 M.
Gambaran yang paling penting dari kebudayaan zaman Syailendra adalah unsur vitalitas dan potensi Indonesianya. Di dalam kesusasteraan kecenderungan ini terlihat dalam terjemahan Jawa kuno dari karya berbahasa Sansekerta, Amaramala, diterbitkan dengan nama Jitendra tercantum di dalam awal karya ini.
12.3.        I-Tsing dua kali datang ke Crivijaya
I-Tsing (634-713) seorang peziarah Buddha dari negeri Tiongkok yang terkenal dalam perjalanannya ke India pada tahun 671. Dia mengatakan, dia berlayar dari negeri Tiongkok ke Crivijaya dengan kapal saudagar Persia. Pelayaran selanjutnya ke India dengan kapal Raja Crivijaya. Di Crivijaya sebelum pergi ke India ia belajar bahasa Sansekerta selama 6 bulan. Ini membuktikan betapa pentingnya Crivijaya sebagai pusat untuk mempelajari Agama Buddha Mahayana pada waktu itu. Ia mengatakan di Crivijaya ada lebih dari 1000 biksu, aturan dan tata upacara mereka sama dengan di India demikian juga Agama Buddha Mahayana yang ada di negeri Tiongkok.
Tahun 685 I-Tsing setelah belajar selama 10 tahun di Universitas Buddha Nalanda di Benggala, ia kembali ke Crivijaya dan tinggal di sana sekitar 4 tahun untuk menterjemahkan teks Agama Buddha dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Mandarin. Ia juga mencatat Vinaya dari Sekte Sarvastivada. Tahun 689 karena keperluan mendesak akan alat-alat tulis dan pembantu, ia pulang ke Canton Selatan, kemudian ia kembali ke Crivijaya dengan 4 orang teman dan tinggal di sana untuk merampungkan memoirnya tentang Agama Buddha pada masanya. Memoir ini diselesaikan dan dikirim ke Tiongkok tahun 692, dan tahun 695 ia kembali ke Tiongkok. Bersamaan waktu dengan I-Tsing juga teman-temannya dari Tiongkok sebanyak 41 bhiksu yang mahasiswa datang belajar Agama Buddha Mahayana di Crivijaya.
Adalah sangat disayangkan bahwa tidak terdapat peninggalan buku-buku Agama Buddha Mahayana dari Zaman Crivijaya sebagai pusat pendidikan Agama Buddha yang bernilai internasional pada masa itu.
12.4.        Atisa (982-1054) di Crivijaya
Karena Crivijaya menjadi pusat pendidikan Agama Buddha yang bernilai Internasional, banyak para pandita dari India juga datang ke Crivijaya untuk belajar Buddha Dharma juga disiplin ilmu lainnya, dimana Atisa, seorang bangsawan dari Benggala lahir tahun 982, datang ke Crivijaya untuk belajar filosofi dan logika Agama Buddha Mahayana selama 12 tahun di sini (1011-1023). Atisa berguru kepada Dharmakirti, pendeta tertinggi di Suvarnadvipa yang tergolong ahli terbesar pada zaman itu. Raja Dharmapala yang memerintah pada waktu itu memberikan sebuah Kitab Suci Agama Buddha kepada Atisa.
Setelah Atisa kembali ke India, dia ditunjuk sebagai Kepala di Vikramasila atau Nalanda. Bahkan UNESCO dalam usaha pemugaran kembali monumen Borobudur di Indonesia bersamaan waktu dengan peringatan 1000 tahun kelahiran Atisa. Riwayat hidup Atisa di Tibet menyebut Sumatera sebagai pusat terbesar pada masa itu. Tahun 1042 Atisa tiba di Tibet dan tinggal di sana sampai dengan beliau meninggal di Nye-Thang tahun 1054.
12.5.        Keturunan Syailendra di Jawa
Penting untuk diketahui dalam gerakan penyebaran Agama Buddha Mahayana di seluruh Asia Tenggara, peranan apa yang dimainkan Crivijaya sebagai salah satu faktor yang menentukan pada pertengahan abad ke-8. Ini bersamaan waktu dengan naiknya dinasti Pala di Benggala dan Magadha, dan telah dikaitkan pada pengaruh Nalanda. Penyebarannya juga bersamaan dengan munculnya di Jawa dinasti Buddha Syailendra yang memakai gelar kerajaan Maharaja.
Pada tahun 775, ketika batu ligor ditemukan di Wat Semamuang. Batu Ligor itu mempunyai 2 muka, keduanya berisikan tulisan. Muka A berisi 10 syair Sansekerta yang memperingati pendirian tempat suci Agama Buddha Mahayana ileh Raja Crivijaya dan memakai tahun Caka yang sama dengan 15 April 775, ini menunjukkan perluasan kerajaan Crivijaya dan juga Agama Buddha Mahayana ke Semenanjung Melayu. Muka B Batu Ligor itu berisi tulisan yang belum selesai sebagai merayakan kemenangan seorang Raja bergelar Sri Maharaja, karena beliau dari keluarga Syailendra. Coedes dan Krom berkesimpulan menyebutkan bahwa Crivijaya juga memerintah di Jawa Tengah pada tahun yang sama yaitu tahun 775.
Bahwa kenyataannya keluarga Syailendra memerintah Crivijaya pada pertengahan abad ke-9 terlihat di dalam sebuah maklumat yang dikeluarkan oleh seorang Raja Pala dari Benggala sekitar tahun 850, maklumat itu menyatakan penyerahan lima buah desa untuk sebuah Vihara yang dibangun di Nalanda oleh Bhalaputradewa, yang menyebutkan raja Sumatera dan keturunan Syailendra di Jawa. Dikatakan beliau adalah seorang putra dari seorang raja yang bergelar Samaragriwa (artinya sama dengan Samnaratungga), 'Pahlawan Terkemuka di Perlagaan', dan cucu Syailendra, raja Jawa dan 'Pahlawan Pembunuh Musuh'. Gambaran ini umumnya diterima bahwa gelar Samaragriwa mungkin nama lain bagi Samaratungga yang disebut dalam prasasti Kedu tahun 847 dan mungkin juga dapat disamakan dengan salah seorang raja yang terdapat dalam daftar pada prasasti Balitung tahun 907. Kakek yang disebutkan dalam maklumat itu diperkirakan adalah Pancapana Panangkaran yang terdapat dalam prasasti Kalasan tahun 778.
12.6.        Kerajaan Kuno Mataram
Prasasti Sansekerta tahun 732 di tempat suci Siva di Canggal di tenggara Borobudur. Prasasti ini menyebutkan seorang raja Sanjaya mendirikan sebuah lingga di Kunjarakunya di pulau Jawa. Kunjarakunya itu adalah nama tempat Sanjaya mendirikan tempat suci. Kini kerajaan kuno Mataram ada di Jawa Tengah dan Sanjaya sebagai rajanya sekarang disimpulan sebagai Maharaja itu adalah Syailendra. Sanjaya adalah penganut Siva, raja dari kerajaan kuno Mataram itu juga muncul dalam prasasti-prasasti berikutnya yang ditemukan oleh Stuttherheim di Kedu - Jawa Tengah. Catatan berharga itu bertahun 907 dan berisi daftar para penggantinya yang memerintah di kemudian hari, Maharaja Balitung, yang dimulai dengan Sanjaya. 8 Raja berikutnya semua memakai gelar Sri Maharaja. Hubungan antara Sanjaya dan Pancapana Panangkaran hanyalah dalam urusan ini. Sanjaya digantikan oleh Pancapana Panangkaran yang memerintah pada tahun 778 digambarkan sebagai seorang Syailendra pada prasasti Kalasan ditulis dalam huruf pra-nagari dalam bahasa Sansekerta tahun 778. Pada tahun yang sama, 778, didirikan Candi Kalasan oleh Pancapana Panangkaran sebagai tempat suci bagi Dewi Tara dalam agama Buddha Mahayana yang telah bercampur dengan Tantrayana.
Jelaslah sudah bahwa pengganti Sanjaya (beragama Hindu) adalah beragama Buddha Mahayana. Menilik candi-candi dari abad ke-8 dan ke-9 yang ada di Jawa Tengah Utara bersifat Hindu, sedangkan yang ada di Jawa Tengah Selatan bersifat Buddha. Jadi daerah kekuasaan Sanjaya adalah bagian Utara Jawa Tengah dan daerah kekuasaan Syailendra adalah bagian Selatan Jawa Tengah.
Krom berkesimpulan bahwa Samaragriwa Syailendra mengawini seorang putri raja Crivijaya, yang menjadi ibu Bhalaputradewa berarti anak yang lebih muda, dan dia berpendapat bahwa Bhalaputradewa adalah raja Syailendra pertama dari Crivijaya. Tetapi beliau tidak memerintah daerah kekuasaan Syailendra di Jawa, dan kedua kerajaan itu tidak pernah disatukan dibawah seorang raja.
Ditemukan lagi prasasti dari Klurak (Prambanan) tahun 782 yang bertuliskan pra-nagari dalam bahasa Sansekerta. Isi prasasti itu ialah mengenai pembuatan arca Bodhisattva Manjucri yang didalamnya mengandung Buddha, Dharma, dan Sangha. Rajanya ialah Indra yang mungkin bergelar Cri Sanggramadananjaya. Raja Indra mendirikan Candi Mendut pada tahun 824. Salah seorang pengganti Indra ialah Samaratungga bergelar Samaragriwa mendirikan candi Borobudur pada tahun 842 (?).
Kira-kira satu Km dari Candi Mendut dan tidak jauh dari Candi Borobudur terdapat candi Pawon yang terletak di tengah-tengah kedua candi tersebut candi Pawon yang terletak di tengah-tengah kedua candi tersebut dalam satu garis sumbu. Candi Pawon jelas adalah candi Buddha, pahatan-pahatan yang terdapat pada candi ini merupakan pendahuluan dan pengawal dari Candi Borobudur.
Samaratungga digantikan oleh adik perempuannya, Pramodawardhani, yang kawin dengan raja keluarga Sanjaya yaitu Rakai Pakitan, pengganti Rakai Garung. Pramodawardhani bergelar Cri Kahulunnan mendirikan bangunan-bangunan suci Buddha. Di Candi Plaosan yang bersifat agama Buddha Mahayana didapatkan tulisan-tulisan pendek antara lain nama Cri Kahulunnan dan Rakai Pikatan, sangat mungkin bahwa Candi Plaosan didirikan atas perintah Pramadawardhani.
Dua buah prasasti dari tahun 842, Cri Kahulunnan meresmikan pemberian tanah dan sawah untuk menjamin berlangsungnya pemeliharaan Kamulan (bangunan suci untuk memuliakan nenek moyang di Bhumisambhara). Kamulan ini tidaklah lain dari Borobudur, yang mungkin sekali didirikan oleh Samaratungga dalam tahun 842. Hal ini dapat disimpulkan dari penyebutan bangunan Kamulan itu secara samar-samar dengan istilah keagamaan dalam prasasti Karang Tengah.
Dari abad ke-8 sampai dengan abad ke-13, kerajaan kuno Mataram merupakan peranan penting bagi raja-raja di Jawa Tengah.
12.7.        Kerajaan Singhasari
Ken Arok, tahun 1222 mendirikan keraton di Kutaraja yang dikenal sebagai Kerajaan Singhasari. Raja Wishnuwardhana tempat suci. Di Candi Mleri beliau dipuja sebagai penjelmaan Siva, sedangkan di Candi Jago sebagai Bodhisattva Amoghapasa. Candi Jago undak-undakannya dan dindingnya penuh dengan relief Kertanegara, raja terakhir Singhasari, pada tahun 1268 telah merampungkan proses penyatuan agama itu dengan pemujaan Siva Buddha. Sebagai seorang yang memiliki pengetahuan rahasia Tantra yang perlu untuk memakmurkan kerajaan, maka menjadi tugasnya memerangi kekuatan roh halus yang gentayangan di dunia. Dalam syair Negarakertagama yang disusun tahun 1365 oleh Empu Prapanca, Kepala Vihara Buddha, Kertanegara digambarkan sebagai orang suci, pertapa, dan bebas dari nafsu.
Kertanegara percaya bahwa untuk menaklukkan kekuatan pemecah dari dalam di Jawa harus memerangi kutukan dan usaha pembagian kerajaan yang dilakukan oleh pertapa Bharada, yang diduga telah melakukan pembagian kerajaan Airlangga. Kemudian Kertanegara mendirikan patungnya sendiri dengan bentuk Aksobhya, yaitu Buddha yang sedang semedi di tempat Bharada tinggal. Sekarang patung itu menghiasi Taman Krusen di Surabaya yang populer disebut patung Joko Dolog, ' Bapak Gendut '. Cabang Buddha Tantrayana yang dikenal bernama Kalachakra, yang telah berkembang di Benggala sampai akhir dinasti Pala, Patung Aksobhya, simbul politik damai Kertanegara bagi Nusantara, tempat penguburan di Candi Jawi.
12.8.        Kejaraan Majapahit (1293-1520)
Puncak kejayaan masa agama Buddha di Indonesia adalah masa kerajaan Majapahit. Raden Wijaya mendirikan keratonnya di Majapahit, tempat markas besarnya di lembah kali Brantas, menjadi pendiri dinasti besar terakhir dalam sejarah jawa.
Prasasti Negarakertagama menyatakan bahwa semua orang Jawa bergembira dengan naik tahtanya Raden Wijaya bergelar Kertarajasa Jayawardhana dan perkawinannya dengan keempat putri Kertanegara.
Prasasti 1035 menunjukkan bahwa perkawinan itu merupakan suatu kesatuan yang misteri dengan daerah-daerah "taklukkan" oleh Kertanegara sebagai hasil pengabdiannya sebagai Buddha Bharava tahun 1275. Keempat putri itu (bukanlah putri Kertanegara menggambarkan : Bali, Melayu, madura, dan Tanjungpura.
Akhir dari kerajaan Majapahit juga diliputi kegelapan. Menurut Krom, raja terakhir bernama Peteudra yang naik tahta tahun 1516.
Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman Majapahit, sebagaimana terdapat dalam buku Negarakertagama dikarang oleh Empu Prapanca dan buku Sutasoma oleh Empu Tantular. Dalam buku Sutasoma istilah Pancasila (bahasa Sansekerta) berarti batu sendi yang kelima, juga berarti pelaksanaan lima kesusilaan (Pancasila Krama), yaitu tidak boleh melakukan (1) kekerasan, (2) mencuri, (3) berjiwa dengki, (4) berbohong, (5) minum minuman keras yang memabukkan.
Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit pada zaman kedua kerajaan itu dapat dijadikan tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia. Sriwijaya dan Majapahit memenuhi persyaratan sebagai bangsa yang mempunyai negara karena berdaulat, bersatu, dan mempunyai wilayah Nusantara, dan bangsa Indonesia telah pernah mengalami masa kehidupan yang gemah-rimah loh-jinawi, tata-tentram, kerta-raharja.
12.9.        Universitas agama Buddha
Kita telah mengetahui bahwa di Zaman Sriwijaya di Palembang telah ada Universitas Agama Buddha yang bernilai internasional, I-Tsing pernah dua kali ke Palembang, juga 41 bhiksu semuanya mahasiswa datang belajar Agama Buddha Mahayana. Atisa dari Benggala juga datang ke Sriwijaya belajar filsafat dan logika Agama Buddha Mahayana selama 12 tahun.
Di Jawa juga ada pendidikan Agama Buddha. Seorang sarjana dari Tiongkok bernama Hwui Ning pernah belajar disini selama tiga tahun (664-667), mahagurunya bernama Janabhadra.
Perguruan Tinggi Agama Buddha selain di Palembang dan di Jawa, sudah tentu di India. Universitas Nalanda didirikan tahun 414 merupakan nomor satu di dunia pada masa itu yakni di kerajaan Magadha - India, dekat Rajagriha. Terdapat prasasti Nalanda dari sekitar tahun 850, menyebut bahwa seorang 'Maharaja Bhalaputradewa, penguasa Suvarnadvipa' telah memohon bantuan raja Dewapala dari Magadha untuk membangun sebuah asrama di Nalanda. Universitas Buddha di India pada masa itu ada banyak sekali, yaitu Rohita, Wikramapuri, Pitasila, Tamralipti, Ajanta, Chitor, Patala, Gomati, Kotiswara, Nawasangharama, Dwarawati, Rammananagara, Valabhi. Di Srilangka juga ada Universitas Anuradhapura, kekuasaan Sriwijaya juga sampai di Srilangka.
12.10.    Candi-candi Agama Buddha Mahayana
Bekas-bekas peninggalan dari kejayaan dan kemashuran Agama Buddha Mahayana pernah ada di Indonesia ialah candi-candi antara lain : Mendut, Pawon, Borobudur, Sewu, Kalasan, Plaosan, Ngawen, Sari, Sojiwan, Lumbung, semua candi ini terdapat di Jawa Tengah bagian Selatan. Terdapat juga candi Muara Takus di Riau-Sumatera, candi Gunung Tua di Tapanuli Selatan.
12.10.1.   Candi Mendut
Candi Mendut didirikan oleh Raja pertama dari wangsa Syailendra pada tahun 824 M., berdasarkan prasasti Karang Tengah tahun 824 M., bernama Indra dengan gelar Cri Sanggramadananjaya. Candi ini menghadap ke Barat Daya. Mendut (=Venuvana) berarti hutan bambu. Candi Mendut lebih tua daripada Borobudur, dan seringkali dipergunakan untuk upacara agama Buddha. Satu-satunya ruangan di candi ini terdapat satu altar dengan 3 arca. Arca di tengah adalah Buddha Cakyamuni dengan Dharmacakra Mudra, di sebelah kanan arca Bodhisattva Avalokitesvara dengan Buddha Amitabha di mahkotanya, dan di sebelah kiri arca Vajrapani. Jumlah stupa seluruhnya ada 48. Tinggi candi ini 26,4 m. Candi ini ditemukan kembali tahun 1836, tahun 1897-1904 candi ini diperbaiki, dan perbaikan dilanjutkan kembali dalam tahun 1908 oleh Th. Van Erp, dan tahun 1925 sejumlah stupa yang telah diperbaiki dipasang kembali. Pada dinding luar candi terdapat relief Avalokitesvara yang terlihat sangat indah, Maitreya, Vajrapani, Manjucri. Tembok ruang pintu ada relief Kalpataru bidadari, 2 relief yng melukiskan Hariti dan Atawaka (Suaka Peninggaran Sejarah dan Purbakala, Jawa Tengah).
12.10.2.   Candi Pawon
              Candi Pawon terletak di tengah-tengah antara jarak 1 km dari candi Mendut dan tidak jauh dari Candi Borobudur. Candi Pawon merupakan pendahuluan dan pengawal dari candi Borobudur, bila dilihat dari pahatan-pahatan pada dinding candi, dinding luar candi dengan gambar simbul. Candi Pawon adalah tempat pemujaan melukiskan tingkatan keduniawian terakhir membuka jalan ke tingkatan di atas duniawi dalam perjalanan Bodhisattva. Yang terakhir ini dilukiskan di Candi Borobudur. Agar mengerti hal-hal yang menjadi kaitan sebenarnya perlu memandang komplek Candi Mendut, Pawon, dan Borobudur sebagai keseluruhan. Candi Mendut, Pawon dan Borobudur terletak dalam satu garis sumbu lurus.
12.10.3.   Candi Borobudur
              Candi Borobudur adalah jelas bangunan suci Agama Buddha Mahayana. Dari prasasti tahun 842 Casparis menyimpulkan bahwa nama lengkap monumen itu adalah Bhumisambarabhuddhara, yang berarti 'Gunung Himpunan Kebajikan Pada Sepuluh Tingkatan Bodhisattva'.
              Candi Borobudur terletak di pusat jantung pulau Jawa, Borobudur termasuk dalam daerah kabupaten Magelang (Kedu) Km 41 dari Yogyakarta ke arah utara melalui jalan raya yang menuju Magelang. Candi Borobudur menjulang ke angkasa dengan dikelilingi bukit Menoreh yang membujur dari arah Timur ke Barat dan gunung-gunung berapi yang kokoh kuat: disebelah Timur terdapat gunung Merapi dan Merbabu, di sebelah Barat terdapat gunung Sumbing dan Sindoro, di sebelah Barat Laut terhampar bukit Menoreh, di sebelah Utara (lokasi Magelang) yang dikelilingi oleh gunung Telomoyo dan Unggaran, ini melambangkan kebulatan tekad dalam menyembah Ing Gusti (surat dari Dr. Beda Schramm kepada Mamoque).
              Kepastian bahwa Candi Borobudur dibangun pada sekitar abad ke-8. Diperkirakan oleh para ahli bahwa candi ini dibangun selama kurang lebih lima puluh tahun. Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa Borobudur dibangun lebih dahulu dari Kalasan, kalau demikian adalah Pancapana, Raka dari Panangkaran, Syailendra yang pertama, pada tahun 778 oleh Pancapana Panangkaran bersamaan waktu dengan prasasti Kalasan tahun 778. Sedangkan candi Mendut didirkan lebih dahulu dari Candi Borobudur pada tahun 824 oleh Raja Indra. Menurut prasasti Karang Tengah dekat Temanggung dalam tahun 824 beliau juga mendirikan bangunan suci Wenuwana, mungkin sekali Candi Ngawen di sebelah Barat Muntilan.
12.10.4.   Arti Candi Borobudur bagi Agama Buddha Mahayana
Candi Borobudur, disamping sebagai lambang tertinggi bagi Agama Buddha Mahayana, stupa Borubudur juga merupakan replika dari kosmologi atau alam semesta, sesuai filsafat Mahayana. Stupa Borubudur Borubudur terdiri dari tiga-dhatu (dhatu disini berarti alam atau loka, Tri-loka berarati Tiga Alam) yaitu : Kama-dhatu, Rupa-dhatu, dan Arupa Dhatu.
Bangunan Borubudur terdiri dari 10 tingkat yang berarti menunjukkan 10 tingkat kemajuan spiritual Bodhisattva atau Dasabhumi. Dasabhumi merupakan doktrin Mahayana. Pada dinding candi menjelaskan arti dari teks atau kitab suci Lalitavistara, Gandavyuha, Catakamala, dan Maha-Karmavibhangga.
Relief yang menjelaskan kitab suci dalam candi merupakan bagian dari Sembilan Dharma dalam Agama Buddha Mahayana; Sembilan Dharma yaitu : (1) Astasahasrika-Prajnaparamita, (2) Gandavyuha, (3) Dasabhumisvara, (4) Samadhi-raga, (5) Lankavatara, (6) Saddharma-Pundarika, (7) Tathagata-guhyaka, (8) Lalitavistara, (9) Suvarna-Prabhasa.
Jatakamala
Dalam teks Jatakamala dan Awadana menjelaskan arti tentang perbuatan-perbuatan bijak yang telah diperbuat oleh Siddharta Gautama (sebelum menjadi Bodhisattva dan Buddha) pada masa kehidupan lampau. Dalam teks ini beliau seringkali menjelma sebagai kelinci, berang-berang, serigala, kera dan kura-kura. Perbuatan-perbuatan baik ini diharapkan dapat menjadi contoh atau suri teladan bagi manusia, jangan berbuat sewenang-wenang (tentang Kota Puruka), tentang kesetiaan (cerita Kinara-Kinari) tentang pengorbanan, tentang persembahan korban.
Maha-Karmavibhangga
Penjelasan teks ini berupa relief-relief pada bagaian kaki candi Borobudur yang tertimbun. Maha-Karmavibhangga menjelaskan tentang hukum sebab dan akibat dari perbuatan karma. Pelaku kejahatan akan menerima hukumannya di Neraka dan pelaku kebaikan akan menerima pahala di Nirwana. Neraka yang disebutkan di dalam kitab suci ini adalah Sanjiva dan Kalasutra, Sanghata dan Raurawa, Maharaurawa, dan Tapana, Pratapana dan Awici.

Lalita-vistara
Banyak versi tentang cerita dalam Lalita-vistara. Lalita-vistara menceritakan kehidupan masa lampau sekian kalpa yang lalu, tentang kelahiran Sidharta Gautama, menjadi Bodhisattva dan mencapai ke-Buddha-an, Buddha Gautama, memberikan khotbahnya yang pertama di Taman Rusa dekat Benares yang dikenal dengan Pemutaran Roda Dharma (Dharmacakra Pravartana Sutra).
Gandavyuha
Gandavyuha menceritakan seorang anak saudagar kaya raya yang bernama Sudhana. Sudhana telah mengembara ke sana ke sini untuk berguru guna mendapatkan pengetahuan tertinggi mengenai arti kehidupan. Sudhana telah bertemu dengan Bodhisattva Manjusri dan Maitreya.
Tiga-Dhatu (Triloka) dan Dasabhumi
Tingkat Kamadhatu : J.W. Ijzerman, tahun 1885, secara kebetulan telah menemukan di bawah tembok batu bagian ini dari kaki bengunah yang asli Candi Borobudur. Menggambarkan adegan-adegan dari Maha-Karmavibhangga yang melukiskan tentang hukum sebab-akibat. Kamadhatu adalah sama dengan 'alam-bawah' tempat manusia biasa, melambangkan kehidupan yang masih diliputi oleh hawa nafsu angkara murka yang menguasai diri manusia, dalam arti belum memperoleh petunjuk keheningan. Dalam Dasabhumi pada tingkatan Pramudita, Vimala, Prabhakari.
Tingkat Rupadhatu : Di Candi Borobudur pada tingkat bangunan mulai dari tingkat 2 sampai dengan tingkat 6. Tingkat ini merupakan tingkat antara dari alam Manusia ke alam Buddha. Di candi Borobudur, pada tingkat ini berisi relief-relief yang menggambarkan cerita-cerita dari naskah Sansekerta : Gandavyuha, Lalita-Vistara, Jatakamala, dan Awadana. Rupadhatu melambangkan tingkat di mana manusia mulai sadar diri, dan berusaha mengendalikan hawa nafsu durjana untuk menumpas kedurhakaan, dalam Dasabhumi pada tingkatan Arcismati, Sudurjaya, Abhimukhi, Durangama.
Tingkat Arupadhatu : merupakan alam non-materi murni, melambangkan manusia yang telah sampai pada makna hakiki itu, dan telah mawas diri menguasai alam Spiritual, dalam Dasabhumi pada tingkat Acala, Sadhumati, dan Dharmamegha. Di Candi Borobudur mulai dari tingkat 7, kita akan merasakan suatu suasana yang tenang dan tenteram, seakan-akan kita berada di alam samadi. Bodhisattva berada di tingkat Acala.
Panca Dhyani Buddha dan Mudra
Agama buddha Mahayana memberikan penghormatan dan pemujaan terhadap Buddha Sakyamuni, juga melakukan penghormatan dan pemujaan terhadap para Dhyani Buddha dan Para Bodhisattva.
Dhyani Buddha adalah para Buddha yang telah mencapai Samyak Sambodhi menurut waktu kosmik atau disebut juga Kosmik Buddha jauh sebelum Sakyamuni Buddha menurut sejarah. Mudra adalah suatu gerakan tangan yang mempunyai arti dan lambang.
Penemuan Kembali dari misteri Candi Borobudur
Tidaklah diketahui secara pasti, kapan candi Borobudur lenyap dari pandangan mata.
Tahun 1814, Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris di Jawa (1811-1815) mendengar berita bahwa ada sebuah bangunan purbakala yang masih terpendam di dalam tanah di desa Borobudur, sewaktu beliau berkunjung ke Semarang.
Tahun 1840, Residen Kedu, Cl Hartman, memberikan beberapa peti hadiah Cinderamata kepada Raja Siam Chulalongkorn yang telah sekian lama berada di tanah Jawa mau kembali ke negaranya. Hadiah cinderamata ini berupa 8 gerobak memuat 30 batu relief, 5 patung Buddha, 2 patung singa, 1 pancuran makara,dan 1 patung raksasa penjaga gerbang-Dwarapala, semuanya ini berasal dari candi Borobudur, namun semuanya tenggelam hilang di dasar laut.
Tahun 1850, dilakukan berbagai usaha pemindahan relief-relief candi Borobudur melalui kertas gambar. Tahun 1873, monografi pertama tentang candi Borobudur diterbitkan.
Tahun 1885, Ijzerman di dalam berbagai penyelidikannya mendapatkan di belakang batu kaki candi masih ada lagi kaki candi lain yang dihiasi dengan relief-relief. Batu itu dibongkar sebagian demi sebagian dan kemudian dipasang kembali, J.W. Ijzerman berhasil memotret 200 relief yang selama ini tertutup di kaki candi Borobudur yang terbawah merupakan penjelasan Maha Karmavibhangga.
Namun perlu dicatat bahwa sampai akhir 1982, arca tersebut masih berada di tangan pemerintahan Muangthai, disimpan di Museum Bangkok, hasil bawaan Raja Chulalongkorn sebagai kenang-kenangan dari Residen Kedu, Hartmann, ketika ia mengunjungi Borobudur pada tahun 1840.
Tahun 1849, Wilsen mendapat instruksi dari pemerintah Hindia Belanda untuk meneliti secara resmi dan membuat gambar-gambar relief yang ada di candi Borobudur. Sekitar tahun 1873, Van Kinsbergen datang membuat foto-foto bergambar secara terbatas tentang Candi Borobudur.
Tahun 1901 di Hindia Belanda didirikan Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundig Onderzoek op Java en Madoera, dibawah pimpinan Dr. JLA Brandes (wafat tahun 1905) yang bertugas untuk mengurusi keperbukalaan Indonesia, juga membawahi pemugaran Candi Borobudur, ia dibantu oleh Ir. Theodorus Can Erp yang juga seorang perwira Zeni berpangkat Letnan Satu.
Tahun 1913, Badan Keperbukaan darurat tersebut dibubarkan dan dilahirkan Jawatan Kepurbakalaan (Oudheidkundige Dienst, Kemudian bernama Dinas Purbakala, diganti lagi menjadi Direktorat Sejarah dan Purbakala, dipecah lagi menjadi DP3SP dan PUSPAN). Dr. NJ Krom membawahi Dinas Purbakala ini.
Akibatnya dari kekeliruan konsepsi Dr. FDK Bosch yang tidak patuh pada prinsip butir seminar tahun 1915, candi Kalasan menjadi korbannya dan tidak bisa dipugar ladi. (Kutipan dari buku: Menyingkap Tabir Misteri Borobudur, Seri Buku Warisan Budaya, Penerbit PT Taman Wisata Candi Borobudur & Prambanan, hal. 27)
Tahun 1900, pemerintah Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan candi Borobudur. Tahun 1907-1911, Theodore Van Erp memimpin pemugaran, candi Borobudur untuk pertama kali dalam sejarahnya dapat ditegakkan kembali setelah menghilang, namum T. Van Erp berpendapat bahwa hasil pemugaran ini hanya dapat bertahan 50 tahun, dan ternyata pendapatnya benar.
Tahun 1926 - 1940 diadakan pemugaran berikutnya, namun tetap tertunda disebabkan ada malleise, ada perang. Tahun 1929, terbentuk suatu panitia untuk menyelidiki proses kerusakan dan pelapukan batu-batu candi Borobudur yang disebabkan oleh berbagai faktor.
Tahun 1956, Pemerintah Indonesia meminta kepada UNESCO, Prof.Dr.C. Coremans (almarhum) datang ke Indonesia dari Belgia untuk mengadakan penelitian terhadap sebab-sebab kerusakan batu-batu candi Borobudur. Tahun 1960, pemerintah Indonesia mencanangkan bahwa candi Borobudur dalam keadaan sangat kritis.
Tahun 1963, pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan berikut penyediaan anggaran khusus guna pemugaran candi Borobudur. Tahun 1965 meletus peristiwa G.30.S, pemugaran candi tidak berjalan karena inflasi yang tinggi. Tahun 1966, karena ketiadaan biaya maka pemugaran yang baru dalam tahap penelitian diberhentikan sama sekali.
Bulan Agustus 1967, di kota kecil Ann Arbor (Michigan, USA) dilangsungkan International Congres of Orientalist ke-27. Dari Indonesia hadir Dr. R. Soekmono dengan mengajukan sebuah kertas kerja berjudul 'New Light on some Borobudur Problems'.
Kongres kemudian mendesak UNESCO untuk segera membantu Indonesia dalam menyelamatkan monumen nasional Borobudur, maka keluarlah Surat Keputusan tahun 1967 oleh UNESCO bahwa Borobudur segera diselamatkan. Awal tahun 1968 UNESCO menegirimkan 2 orang ahli, B. Groslier dan C. Voute ke Indonesia. Mereka berada di Indonesia setelah selama sebulan mengadakan penelitian di Borobudur, berkesimpulan bahwa monumen Borobudur memang dalam keadaan yang gawat dan perlu segera penanganan yang sungguh-sungguh, untuk segera dipugar secara besar-besaran. Tahun 1968, salah satu keputusan pada general Conference ke-15 di Paris, delegasi Pemerintah Republik Indonesia ikut hadir, UNESCO sangat menaruh minat dan perhatian terhadap masalah yang dihadapi Indonesia. UNESCO berjanji untuk memberikan bantuan dalam usaha penyelamatan pusaka umat manusia Candi Borobudur, yang juga merupakan salah satu dari keajaiban dunia. Tahun 1969, pemugaran Candi Borobudur dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun, sebagai bagian dari Proyek Pembangunan Kebudayaan Nasional.
Tahun 1971, Menteri P&K membentuk 'Badan Pemugaran Candi Borobudur (BPCB) yang diketuai oleh Prof. Ir. R. Roosseno. Drs. R. Soekmono sebagai Sekretaris, disamping tugasnya sebagai Pimpro dan Kepala LPPN (Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional). Badan ini dibantu oleh suatu tim staf ahli dari berbagai bidang disiplin ilmu: ahli purbakala dari LPPN, ahli mikro biologi dan mekanika tanah dari Fakultas Pertanian UGM, ahli teteknik bangunan dari Fakultas Teknik UGM, ahli Geologi dari ITB, dan ahli beton dari Universitas Saraswati. BPCB menangani semua masalah Borobudur baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Bulan Januari 1971 atas usaha UNESCO, di Jogjakarta diadakan antara pihak Unesco dan Pihak Indonesia (Staf BPCB), dihadiri pula oleh para ahli dari negara-negara Perancis, Belanda, Amerika Serikat, Jepang, Jerman Barat, dan Italia. Pertemuan ini telah mensepakati bahwa rencana pemugaran yang akan diterapkan pada Candi Borobudur adalah sesuai yang telah dibuat oleh Nedeco (the Netherland Engineering Consultants).
Tahun 1972, rencana kerja pemugaran candi Borobudur yang lebih terpadu telah rampung dibuat.
Karena bersifat internasional, Pemerintah Indonesia telah membentuk, 'internasional Consultative Committee' dalam bualn Desember 1972, tujuannya untuk menilai kemajuan pekerjaan dan merencanakan pembiayaan pemugaran untuk setiap tahunnya. Komite ini mengadakan raptnya setahun sekali di UNESCO, terdiri dari Dr. D. Chihara (Jepang), Dr.J.N. Jenssen (Amerika Serikat, sejak tahun 1976 digantikan oleh W. Brown MORTON III). Sr.R.M. Lemaire (Belgia), Dr.K.Siegler (Jerman Barat), Prof.Ir. Roosseno (Indonesia) sebagai Ketua Komitee tersebut. Selain itu, Januari 1973, UNESCO membentuk sebuah Badan Internasional ialah Executive Committee, yang tugas pokoknya membantu Dirjend. UNESCO dalam mengelola dana-dana internasional yang dikumpulkan dari berbagai negara sebagai sumbangan untuk penyelamatan Candi Borobudur.
Pemugaran itu diperkirakan akan memakan waktu 6 tahun dengan biaya sejumlah US$ 7,750,000 (perkiraan tahun 1971). Dari jumlah ini UNESCO akan menyediakan dana sebesar US$ 5 juta, yang diperoleh dari sumbangan para negara anggota, selebihnya akan ditanggung Pemerintah Indonesia.
Tanggal 10 Agustus 1973, Presiden RI., Jenderal Soeharto berkenan meresmikan dimulainya pekerjaan pemugaran Candi Borobudur. Di Borobudur terdapat 2 buah prasasti; yaitu akan dimulainya pekerjaan pemugaran candi itu, dan tanda selesainya pemugaran candi. Prasasti pertama, sekarang terletak di sebelah Utara Pendopo, berukiran kalimat yang berbunyi sebagai berikut :
"Dengan Megucapkan Syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, kami Pemerintah Republik Indonesia, meresmikan dimulainya Pemugaran Candi Borobudur sebagai langkah utama dalam meneruskan warisan Pusaka Budaya Nasional Indonesia, kepada keturunan yang akan datang demi kebahagiaan umat manusia."
Prasasti kedua dari batu alam yang berasal dari Gunung Merapi, beratnya 20,5 ton, tinggi 2 meter dan lebar 2 meter lebih. Pada prasasti ini terukir kalimat yang berbunyi sebagai berikut :
"Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Pemugaran Candi Borobudur diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto".Borobudur 23 Februari 1983. (Rangkuman dari ; Menyingkap Tabir Misteri Borobudur ; Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia, oleh Drs. Soediman; Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, Drs. R. Soekmono; Sejarah Asia Tenggara, D.G.E. Hall; Satu Abad Usaha Penyelamatan Candi Borobudur, Drs. R. Soekmono).









Tidak ada komentar:

Posting Komentar