"WELCOME IN MY BLOG"

Selamat Datang di Blog Saya Semoga Pengunjungan Anda ke Blog Saya Bisa Memberikan Manfaat untuk Anda dan Terimakasih atas Kunjungannya

Rabu, 06 Juli 2011

Mistik dalam Islam dan Di Luar Islam


A.    PENDAHULUAN
Kata mistik mempunyai hubungan linguistik antara tiga kata, yaitu “mitos”, “mistisisme”, dan “misteri”, yang ketiganya berasal dari kata kerja bahasa Yunani musteion yang artinya menutup mata atau mulut. Kata-kata ini berakar dalam pengalaman tentang kegelapan dan kesunyian. Konotasi yang diberikan, terutama di Barat, menjuruskan ketiga kata ini ke sinonim yang negatif. Kata “mitos” digunakan sebagai sinonim kebohongan. Kata “misteri”, sering digunakan untuk mensinonimkan suatu persoalan yang sulit dijelaskan dan mengusutkan pikiran. Begitupun dengan kata “mistisisme” yang sering dikaitkan dengan perihal kedukunan atau hal aneh lainnya. Pemikiran Barat tidak begitu tertarik akan hal-hal yang bersifat spiritualitas, oleh karena itu kata-kata seperti ini tidak begitu populer lagi di Barat zaman sekarang. Namun demikian, mulai terdapat tanda-tanda yang mengindikasikan adanya kebalikan arus. Antusiasme Barat terhadap hal mistisisme terlihat sejak tahun 1960-an, dimana orang Barat mulai mempelajari beberapa bentuk Yoga. Ajaran Yoga yang diambil dari Budddhisme mulai berkembang pesat di Eropa dan Amerika Serikat. Orang-orang di Barat mungkin tengah merasakan kebutuhan secara alternatif bagi cara pandang ilmiah murni terhadap alam semesta.
Agama monoteis, khususnya monoteime historis, pada dasarnya tidak bersifat mistikal. Agama Yahudi, Kristen, dan Islam pada dasarnya merupakan kepercayaan yang bersifat aktif. Motif utamanya adalah penghadapan atau pertemuan pribadi antara manusia dan Tuhan. Tuhan seperti ini berhubungan dengan manusia melalui dialog daripada perenungan yang hening. Namun agama monoteis akhirnya telah mengembangkan suatu tradisi mistik yang membuat Tuhan mereka melampaui kategori personal dan lebih mirip dengan realitas impersonal (nirvana dan Brahman-Atman). Agama mistik lebih dekat dan cenderung lebih membantu pada saat-saat sulit daripada keimanan yang didominasi oleh otak. Tuhan yang dialami oleh kaum mistiklah yang akhirnya menjadi lazim diterima di kalangan penganutnya, hingga relatif belakangan ini.
Tuhan hanya mungkin diketahui melalui pengalaman mistikal. Kaum mistik Yahudi enggan untuk mengakui penyatuan diri dengan Tuhan. Dalam mistikus Yahudi, Tuhan En Sof akan tetap diselimuti kegelapan yang tak tertembus. Di Barat, Kristen lebih lambat untuk mengembangkan tradisi mistikal, tertinggal di belakang kaum monotis Byzantium maupun di imperium Islam. Untuk mencapai Tuhan, orang harus melepaskan belenggu pada ide terbatas apapun tentang Tuhan. Sedangkan Islam dengan kaum sufi telah berhasil meraih keunggulan atas kaum filosof. Mistisisme mampu menerobos lebih jauh ke dalam pikiran daripada bentuk agama lain yang lebih rasionalistik dan legalistik. Tuhan kaum mistik mampu menjawab kebutuhan, ketakutan, dan kecemasan primitif. Hal inilah yang tidak dapat dilakukan oleh Tuhan para filosof yang jauh.[1]
Mistisisme atau mistik asal kata dari bahasa Yunani (mystikos) "yang memulai"(mysteria) yang berarti ("inisiasi") adalah persekutuan mengejar mencapai atau identitas, atau kesadaran, realitas, yang illahiyah, kebenaran rohani, atau pengalaman ketuhanan, intuisi, atau wawasan dan keyakinan bahwa pengalaman tersebut merupakan sumber penting pengetahuan, pemahaman, dan kebijaksanaan.
Tradisi bisa di sebut juga Mistik karena termasuk kepercayaan tentang keberadaan tugas empiris di luar pemahaman yang sebenarnya, atau keyakinan bahwa pemahaman manusia di dunia melampaui penalaran secara logis atau pemahaman intelektual.
Dalam banyak kasus mistik salah satunya seperti meditasi adalah sebuah jangkauan keadaan untuk keberadaan Ketuhanan dalam diri. Tujuan dari praktek mistik adalah untuk mencapai pengalaman, untuk mengatasi keadaan yang terbatas dan mengidentifikasi kembali dengan segala yang ada.
Istilah "Mistisisme atau mistik" sering digunakan untuk merujuk kepada kepercayaan yang murni atau praktik aspek metafisis dan dimensi internal agama, sementara masih berkaitan dengan doktrin keagamaan arus utama. Sebagai contoh, Kabbalah adalah gerakan mistik yang signifikan dalam Yudaisme, dan tasawuf adalah gerakan mistik yang signifikan dalam Islam.
Gnostisisme mengacu pada kedua gerakan mistik dalam agama Kristen dan berbagai sekte mistis yang muncul dari agama Kristen. Beberapa berpendapat bahwa kekristenan itu sendiri adalah sebuah sekte mistik yang muncul dari Yudaisme. Sementara agama Timur cenderung untuk menemukan konsep mistisisme yang berlebihan, bukan pengetahuan dan ritual tradisional dianggap sebagai Esotericism, misalnya Buddhisme Vajrayana. Vedanta dianggap sebagai cabang mistik agama Hindu.

B.     PEMBAHASAN

1.      MISTISISME DALAM YAHUDI
Mistisisme awal Yahudi yang berkembang selama abad 2-3 M tampak menekankan keterpisahan antara Tuhan dan manusia. Orang Yahudi ingin menjauh dari dunia yang di dalamnya mereka dikucilkan. Mereka membayangkan Tuhan sebagai raja perkasa yang hanya bisa didekati melalui perjalanan penuh bahaya menembus 7 lapis langit. Kaum mistis Yahudi menyebut mistisisme ini sebagai “Mistisisme Mahkota”, yang terbukti mengalami perkembangan yang sangat pesat seiring dengan pertumbuhan perguruan-perguruan besar para rabi. Orang Yahudi lainnya mencoba memberikan tafsiran mistik dan simbolik tentang Tuhan. Mereka mengajarkan disiplin esoterik yang diwariskan dari seorang guru pada muridnya, yang disebut Kabbalah (tradisi yang diwariskan) yang akhirnya menjadi mistisisme Yahudi Baru pada abad 12 dan 13 M. Jika Mistisme Mahkota telah puas dengan melihat kemuliaan Tuhan dari luar, Kabbalah berusaha menembus batin Tuhan dan kesadaran manusia. Tuhan Yahudi yang disebutkan di dalam kitab sucinya adalah Yahweh, yang kemudian diperbaiki dan dihapus citra kesukuan dan personalnya menjadi YHWH. Berbeda dengan YHWH, Kabbalah menyebut Tuhan sebagai En Sof yang tersembunyi. Kita tidak mengetahui apa-apa tentang En Sof, karena ia bahkan  tidak pernah disebutkan di dalam kitab suci. En Sof tidak memiliki nama yang terdokumentasikan dan tidak bergender. Kaum mistik Yahudi memanifestasikan En Sof ke dalam 10 Sefiroth (bilangan) realitas ilahiah. Setiap Sefiroth mewakili 1 tahap dalam pengungkapan wahyu En Sof dan Sefiroth memiliki nama simboliknya sendiri. Sefiroth merupkan nama yang diberikan Tuhan untuk dirinya sendiri sekaligus sarana yang dengannya Ia menciptakan alam. Secara bersamaan, kesepuluh nama ini membentuk 1 kesatuan. Sefiroth bukanlah realitas yang berada secara transenden diantara Tuhan dan alam. Sefiroth hadir dan aktif di dalam segala sesuatu yang ada, dan mewakili tahap-tahap kesadaran manusia yang dilalui seorang mistik untuk naik menuju Tuhan dengan cara turun ke dalam pikirannya sendiri.
Kaum mistik mesti mengembara menuju singgasana Tuhan melalui alam mitologis 7 langit. Namun pengembaraan ini hanyalah pengembaraan imajiner yang tidak dipahami secara harfiah. Pengembaraan yang dimaksud dipandang sebagai pendakian simbolik melalui kawasan-kawasan misterius pikiran. Rabi Yahudi yang berhasil melakukan perjalanan mistik dengan selamat adalah Rabi Akiva. Rabi Akiva menyiratkan tentang saratnya bahaya dalam perjalanan spiritual ini. Peringatan Rabi Akiva mengenai batu pualam murni mungkin merujuk pada kata sandi yang harus diucapkan seorang mistikus pada berbagai titik penting dalam perjalanan imajinernya. Kumpulan imajinasi merupakan suatu ketidaksadaran yang mencuat di dalam mimpi, halusinasi, dan dalam kondisi psikis yang menyimpang. Kaum mistis Yahudi tidak membayangkan mereka sungguh-sungguh terbang menembus langit, tetapi menjajarkan citra-citra yang memenuhi pikiran mereka secara tertata dan terkendali. Kaum mistis Yahudi juga tidak menguraikan apa-apa tentang Tuhan. Mereka hanya menceritakan tentang atribut Tuhan yang melindunginya dari tatapan manusia.
Perjalanan ke kedalaman pikiran melibatkan resiko pribadi karena kita mungkin tidak akan mampu memikul apa yang akan kita temukan disana. Itulah sebabnya semua agama mengajarkan bahwa perjalanan mistik hanya mampu dilakukan di bawah bimbingan seorang ahli. Di dalam Kabbalah, spekulasi secara rasional tentang hakikat Tuhan dan persoalan metafisika hubungan Tuhan dengan alam, malah kemudian beralih kepada imajinasi. Kaum Kabbalis juga mengembangkan mitologi sendiri untuk menjelajahi alam kesadaran keagamaan baru.. Orang Yahudi sedari awal telah menyadari adanya bahaya dalam penjelajahan imajiner semacam itu, maka belakangan, mereka tidak mengizinkan anak muda untuk mengikuti disiplin Kabbalah kecuali jika mereka telah benar-benar cukup matang. Untuk melakukannya, dibutuhkan ketrampilan yang besar, konsentrasi pikiran (seperti dalam latihan Zen dan Yoga) dan menuntut latihan dalam suasana hati tertentu.  Bahkan seorang mistikpun juga harus menikah untuk menjamin bahwa dia memiliki kesehatan seksual yang baik![2]
2.      MISTISISME DALAM KRISTEN
Agama Kristen dapat dikatakan sebagai agama dengan kadar personalisasi yang paling tinggi dan berupaya untuk meningkatkan kelayakan kultus terhadap tuhan yang bereinkarnasi dengan cara memasukkan doktrin tentang trinitas yang trans personal. Di dalam Kristen hubungan dengan Tuhan dicirikan dengan cinta. Cinta yang berarti bahwa ego (dalam pengertian tertentu) telah dilenyapkan.
Ada anggapan bahwa pengalaman mistis hanya merupakan sesuatu yang  secara sengaja diciptakan oleh seorang mistikus di dalam dirinya sendiri. Menurut Paus Gregory, Tuhan yang dikonsepsikannya tetap tersembunyi dari manusia dalam kegelapan yang tak tertembus. Paus menggunakan metafora awan, kabut, atau kegelapan untuk melukiskan kesamaran semua pengetahuan manusia tentang yang ilahi. Tuhan merupakan pengalaman yang menegangkan bagi Gregory. Kita tidak bisa meramalkan perilaku Tuhan berdasarkan pengetahuan kita tentang manusia. Jadi satu-satunya kebenaran dalam pengetahuan kita tentang Tuhan, adalah ketika kita menyadari bahwa kita tidak bisa sepenuhnya mengetahui apa pun tentang Tuhan. Tuhan hanya bisa dicapai setelah kerja keras pikiran. Jalan menuju Tuhan sarat dengan rasa bersalah, air mata, dan keletihan. Ketika jiwa mendekatinya, jiwa tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis karena disiksa oleh hasratnya akan Tuhan. Jiwa hanya bisa menemukan ketenangan dalam air mata karena keletihan.
Di Timur, pengalaman orang Kristen tentang Tuhan lebih dicirikan oleh cahaya daripada kegelapan. Orang Yunani mengembangkan sebuah bentuk mistisisme yang berbeda, yang tidak bergantung pada gambaran atau penampakan, tetapi bersandar pada pengalaman sunyi semacam perenungan. Mereka secara alamiah mengesampingkan konsepsi rasionalistik tentang Tuhan. Tujuan perenungan itu sendiri adalah untuk melangkah melampaui gagasan dan gambaran apapun yang mampu menghambat kehadiran Tuhan. Sikap ini disebut hesychia (keheningan batin). Kristen menemukan cara untuk menemukan Tuhan dengan mengembangkan metode-metode dalam berdoa. Doa membebaskan jiwa dari raga. Di dalam doa, dapat dirasakan energi bukan esensi Tuhan. Energi inilah yang didefinisikan sebagai cahaya keilahian. Dalam Perjanjian lama, energi ini disebut dengan “kemuliaan” Tuhan, sedangkan dalam Perjanjian Baru, energi inilah yang telah menyinari pribadi Kristus di Gunung Tabor, dan kini energi itu menyinari setiap orang yang telah diselamatkan. Kita merasakan energi itu di dalam doa, yang dalam pengertian tertentu, ketika kita berada dalam doa, kita tengah berkomunikasi dengan Tuhan, meskipun realita realitas yang tak bisa diketahui itu tetap berada di dalam ketersembunyiannya.
Kristen lain yang ada di Barat, lebih merepresentatifkan Tuhan ke dalam kilasan mistik seni lewat ikon patung-patung suci. Hal ini kemudian mempengaruhi Kristen Timur, yang membuat ikon dan visi dapat saling memperkuat satu sama lain. Ikon tersebut dimaksudkan untuk memberikan fokus sebagai jendela orang yang beriman menuju dunia ilahi.
Selama abad ke-14 M, I Eropa Utara terjadi kepesatan agama mistikal. Salah satu tokohnya, Meister Eckhart menyebutkan bahwa doktrin trinitas sebenarnya merupakan sebuah doktrin mistikal. Doktrin Trinitas tidak bisa diketahui oleh akal, namun hanya akallah yang mempersepsikan Tuhan sebagai 3 oknum, namun begitu seorang mistikus telah mencapai penyatuan dengan Tuhan, ia akan melihat Tuhan sebagai sesuatu Yang Esa. Eckhart juga menyukai pembicaraan Tuhan Bapa yang menurutnya telah melahirkan putra di dalam jiwa, mirip seperti perawan Maria yang mengandung Kristus di dalam Rahim.[3]
3.      MISTISISME DALAM HINDU
Dalam bab agama Hindu kita mencoba menggambarkan dua gerakan yang patut dicatat – para rishi Upanishad dan Sri Krishna – yang bangkit di India melawan politeisme Brahmana dan ritualisme. Betapa pun mereka akhirnya terserap dalam agama Hindu dan ciri mereka yang khas lenyap karena kompromi dengan sistem yang ditentang oleh mereka. Agama Buddha adalah revolusi yang lain lagi terhadap agama Brahmana, dan gerakan besar ini tidak dapat bercampur lagi dengan agama Hindu. Buddha bukanlah suatu agama yang berbeda, melainkan suatu sistem yang positif. Namun demikian, setelah suatu masa sukses dan popularitas yang luas, agama ini terasing dari tanah kelahirannya oleh agama Hindu yang dibangkitkan lagi. Tetapi sebelum hal itu terjadi, agama Buddha telah tersebar ke berbagai negeri di luar India dan menjadi satu dari agama dunia yang besar.
India dalam abad ke enam sebelum masehi bukanlah suatu kerajaan yang luar biasa atau kekaisaran. Negeri itu mempunyai sejumlah raja dari suku-suku serta marga tertentu yang memerintah daerah-daerah kecil. Beberapa logat dipergunakan meskipun Sansekerta adalah bahasa yang suci. Kitab Weda telah mendapat gelar yang misterius sebagai kitab wahyu. Pengorbanan dan upacara menurut faham Brahmana telah dijalankan secara luas dengan penuh keyakinan, bahwa melalui upacara itu maka manusia yang melakukannya akan memperoleh apa yang diinginkannya di dunia ini maupun di akhirat. Para pendeta Brahmana dihormati dan ditakuti sebagai setengah dewa. Masyarakat dibagi dalam empat kasta secara ketat dengan kaum Brahmana yang memperoleh kedudukan penuh fasilitas, di pihak lain kaum Sudra dan Paria menjalani hidup dalam keadaan yang lebih buruk dari binatang piaraan. Kitab hukum agama Hindu menyatakan : ‘Telinga seorang Sudra yang mendengarkan penuh perhatian ketika Kitab Weda dibacakan harus disumpal dengan logam cair, lidahnya harus dipotong bila membacanya, badannya harus dibelah bila hafal dalam ingatannya”.[4] Bila seorang Sudra berbuat demikian besar, misalnya memberikan sekelumit nasehat kepada seorang Brahmana, minyak panas harus dituangkan ke telinganya.
Orang Hindu telah mengembangkan kegemaran untuk berfilsafat secara hitam putih, yang tiada lain kecuali mencari kebenaran atau menyalib orang. Ini adalah abad kekacauan yang penuh untung-untungan dengan ilmu agama yang tidak tentu dan pertengkaran yang membingungkan. Kehidupan akhlak sangat menderita karena banyak permasalahan metafisik, dan perselisihan keagamaan yang menyerang habis daya serta tenaga rakyat. Dalam hutan dan gua-gua hiduplah banyak resi dan pertapa yang menjalankan penyiksaan diri dan menolak kesenangan bagi diri mereka untuk masa yang panjang dan percaya bahwa ini adalah jalan untuk mencapai ketinggian rohani.
Rakyat menyembah segala macam, mulai dari matahari hingga batu biasa, dewa yang tinggi hingga setan, dedemit yang menakutkan. “Di benua yang luas India”, tulis Dr. Radhakrishnan, “kapasitas yang luar biasa untuk menciptakan dewa-dewa, maka dengan kejahilan bertuhan memberi ruang lingkup yang luar biasa. Tuhan dan hantu dengan daya melukai atau mengganggunya, sebagaimana halnya perlu dipuji dan dipuja karena menguasai kehidupan rakyat. Di sisi lain secara kontras, Weda penuh aturanaturan dan upacara-upacara ritual dan seremonialnya saja”.[5]
Mistisisme Hindu yaitu bersatunya Brahman dengan Atman di hari kalak nanti, itu lah yang menjadi pandangan bagi mereka dalam agama Hindu.
4.      MISTISISME DALAM BUDDHA
Dalam agama Buddha ada ajaran tentang hidup membujang, karena dalam agama Buddha umatnya dibagi dua, yaitu umat yang tidak berumah tangga dan umat yang berumah tangga. Dilihat dari tujuan hidup membujang, seorang sufi dan umat Buddha ingin mencapai kehidupan spiritualnya lebih tinggi. Sedangkan tentang faedah dalam mistik Buddha adalah sebagai gambaran umat Buddha yang hidup membujang untuk memikirkan apakah lebih baik hidup di hari berikutnya.[6]
Berangkat dari titik tolak ajaran yang dikembangkan tersebut, banyak para peminat ilmu agama mempertanyakan apakah agama buddha dipandang sebagai agama, atau hanya salah satu aliran filsafat saja. Sejalan dengan itu edwarad conze menyatakan bahwa buddhisme dapat dianggap sebagai agama dan suatu aliran filsafat. Sebagai agama, buddhisme merupakan suatu bentuk organisasi dari cita-cita yang bersifat spiritual yang menolak adanya unsur kekuasaan duniawi, yang ajarannya mampu memberikan sukses dalam mengatasi dunia dan dalam mencapai keabadian ataupun kehidupan setelah mati. Sebagai suaatu aliran filsafat, kata conze, buddhisme bersifat dialektis pragmatis yang bercorak kejiwaan.
Kaum Theravadin menyangkal adanya Tuhan, dan juga diri pribadi yang permanen atau jiwa dalam diri manusia. Manusia itu tersusun dalam kualitas yang tidak tetap serta selalu berubah , bersifat maya, dan dilahirkan karena hawa nafsu. Selama manusia mempunyai nafsu mementingkan diri sendiri, maka khayalan ini, selalu berubah kualitasnya, di mana dia diciptakan, akan menetap, dan selama hal itu masih menetap maka manusia akan lahir kembali terus-menerus di dunia kesedihan (samsara). Manusia dapat membebaskan dirinya dari roda kelahiran dan kematian dengan cara menghancurkan hawa nafsu. Nirwana yang merupakan tujuan agama Buddha, berarti “padamnya nafsu, padamnya kebencian, dan padamnya khayalan.” Ini dapat dicapai, bahkan setelah kehidupan sekarang. Orang yang telah melakukan ini disebut Arahant. Jika ia meninggal, maka ia tidak akan dilahirkan kembali.
Ajaran Buddha tentang keesaan segala makhluk mengandung arti bahwa nasib tiap pribadi dihubungkan dengan nasib dari segalanya. Setiap orang dapat menyucikan diri mereka, karena menghindari kesusahan dan keadaan yang penuh dosa, tetapi penyelamatan diri manusia tidaklah sempurna selama masih ada seseorang yang belum diselamatkan. Dalam kata-kata Masaharu Anesaki, “Menyelamatkan diri sendiri dengan menyelamatkan orang lain adalah ajaran keselamatan semesta yang diajarkan oleh Buddha (Mahayana)”.[7]
Nirwana menurut agama Buddha Mahayana adalah keadaan sejati dan kesempurnaan rohani. Ini adalah keadaan di mana kasih sayang kemanunggalan dengan orang lain telah merasuki seluruh fikiran dari pribadi orang itu bagaikan zat yang tak bisa dipisahkan dan dibedakan. Diambil secara paradoks ini berarti bahwa dengan mengemukakan Nirwana bagi diri pribadi, demi cinta terhadap sesamanya, seseorang telah berada di Nirwana sebagaimana kita mpahami sungguh-sungguh. Sebab Nirwana dan Samsara bukan dua realitas yang berbeda. Tidak ada sesuatu diluar Nirwana.

Pengaruh Tantra menimbulkan pada Mahayana ajaran tentang Adhi Budha, yaitu Budha yang pertama, yang dipandang sebagai sudah ada pada mula pertama, yang tanpa asal, yang berada karena dirinya sendiri, yang tak pernah tampak karena berada dalam Nirwana.[8]
Buddha Dharma adalah suatu ajaran yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan Pandangan Terang yang dapat membebaskan manusia dari kesesatan atau kegelapan batin dan penderitaan disebabkan ketidakpuasan. Buddha Dharma meliputi unsur-unsur agama, kebaktian, filosofi, psikologi, falsafah, kebatinan, metafisika, tata susila, etika, dan sebagainya.

Pokok ajaran buddha gautama ialah bahwa hidup adalah menderita. Seandainya di dunia ini tidak ada penderitaan buddha tidak akan menjelma di dunia. Orang dilahirkan menjadi tua dan mati tiada hidup yang tetap. Sedang manusia hidup, ia menderita sakit, dipisahkan daripada yang dikasihinya dan sebagainya. Semuanya itu adalah penderitaan. Segala macam kerugian jasmani maupun rohani adalah penderitaan. Padahal penderitaan ini menjadi pengalaman tiap orang juga kesenangan yang kadang dialami manusia sebenarnya adalah sumber penderitaan. Sebab tiada kesenangan yang kekal.

Hakiakat dari yang telah dipaparkan di atas adalah, di mana dalam kehidupan berikutnya umat budha mencari kekosongan (nibbana), itulah yang menjadi mistik bagi agama budha tersebut.
5.      MISTISISME DALAM ISLAM
Pembicaraan mengenai mistisme dalam Islam (tasauf) tidaklah pernah berhenti, wacana tasauf memiliki keterkaitan erat dengan keimanan dalam Islam. Disebahagian umat Islam, tasauf dipandang puncak dari keimanan. Tasauf dianggap sebagai desakan dalam sukma untuk merengkuh Yang Tak Terbatas. Bentuknya bisa berupa kedekatan spiritual (communion) atau persatuan intelektual, sebagaimana dalam neoplatonisme. Atau melalui iluminasi visioner (mukasyafah dan Isyraq), sebagaimana dalam mistisme Islam yang moderat. Atau bisa juga dalam bentuk peniadaan identitas diri(fana’), sebagaimana dalam hinduisme dan sufisme yang ekstrem[9].
Akan tetapi di lain pihak, tasauf dipandang suatu penyimpangan dalam agama. Sehingga tidak mengherankan kalau tasauf didentikkan dengan klenik atau dilabeli dengan istilahbid’ah (sesuatu yang mengada-dan tidak bersumber dari ajaran Islam). Muncul penyimpangan dalam tubuh tasauf selama perkembangannya, sehingga tasauf terseret ke dalam tingkat yang eksesif, dengan diperkenalkannya praktik-praktik pemujaan para wali, promosi cara hidup miskin dan kecaman terhadap kehidupan dunia dalam segala aspeknya. Kelahiran puritanisme Wahabiyyah khususnya di Jazirah Arabia – yang selanjutnya memberi efek berantai kedunia muslim secara umum – hanya memperjelas adanya penyelewengan dalam praktik-praktik.

seperti itu dalam ajaran Islam sejati[10]. Wahabiyyah dengan gerakannya telah menimbulkan kontra berkepanjangan dengan gerakan tasauf eksesif ini. Gerakan tasauf eksesif juga semakin ngotot dengan segala praktik-praktik keagamaan mereka. Efek dari kontra gerakan tersebut tidak mengakibatkan kontribusi dalam dunia Islam, malah hanya menambah warna kelam dalam sejarah Islam hingga dewasa ini.

Tasauf setidaknya merupakan ekspresi keagaamaan yang telah menampilkan citra baik umat Islam dalam pandangan umat dunia. Para sufi telah memberikan andil yang cukup besar dalam penyebaran Islam. Sebut saja bahwa mereka para sufi yang berdampingan dengan para raja untuk mengajarkan Islam, melakukan perlehatan ke daerah-daerah pedalaman sepanjang Sumatera. Mengusung panji dakwah Islam kesepanjang kepulauan Jawa, dan membangun peradaban dan kerajaan bernuansa Islam di bumi para dewa tersebut. Mereka juga yang tanpa takut laksana panglima perang berhadapan dengan penjajahan Belanda, sehingga menampilkan citra indah sebuah Islam Nusantara.[11]

Di belahan bumi lainnya, para sufi melakukan hal yang sama. Kebanyakan orang beranggapan bahwa Islam selalu masuk dengan mengandalkan kekuatan militer atau kekuasaan dinasti pemerintahan. Akan tetapi anggap ini tidaklah sepenuhnya benar, dan belumlah lengkap. Bukanlah pasukan muslim abad pertengahan – yang terdiri dari prajurit-prajurit berwatak keras yang menghunus pedang di salah satu tangannya dan al-Qur’an di tangan lainnya – adalah penyebab utama diterimanya Islam di dataran India. Gambaran tersebut belumlah lengkap, akan tetapi perlu dilengkapi dengan kenyataan sejarah bahwa para sufi dan ulama juga turut datang ke India. Para prajurit dengan kekerasan dan tajamnya pedang memaksa seluruh penduduk India yang ditaklukkan untuk memeluk agama Islam, akan tetapi mereka sepenuhnya tidak menyadari bahwa dakwah tidaklah mencapai hasil mulianya. Beramai-ramai penduduk India memeluk Islam, tetapi menyimpan dendam di hati mereka. Berbeda hal dengan para ulama dan para sufi, mereka melakukan pendekatan secara pragmatis, menjadi bagian dari masyarakat India. Mereka mengugah kesadaran ilahi dari dalam diri mereka yang tentunya secara fitriah telah bersemayam di hati mereka. Dakwah merekalah yang mengangkat kebenaran Islam, dan menyebarkan ajaran Muhammad, Sang Nabi Allah.[12]

Di lain sisi, kita juga tidak bisa melupakan begitu saja bahwa Islam juga memiliki kemurnian ajaran yang tentunya sangat dijaga oleh pemeluk dan ulamanya. Bila saja keberagaman (tatanan beribadah) bisa dieksplorasi dan disusun sendiri oleh manusia tanpa melibatkan pengutusan Rasul, maka apa gunanya Nabi diutus. Kalau hanya melalui perenungan, pemujaan seorang manusia dan meninggalkan kehidupan dunia adalah jalan menuju kedekatan manusia kepada Allah, maka tidak ada gunannya Nabi Muhammad membawa ajaran Islam.

Terlebih lagi dalam konteks sosial, apabila hanya menonjolkan corak mistisme saja (baca: tasauf) maka sama halnya mencoreng wajah Islam di hadapan manusia sedunia. Islam diutus bukanlah anti peradaban, bukanlah untuk menjadikan umatnya sebagai penduduk pinggiran, bukan agama dengan ajian-ajian mistik. Islam bukan hanya agama, ia telah menjadi falsafah yang hidup dalam tubuh muslim terutama generasi Islam awal. Islam tumbuh dengan semangat pembebasan.

Gerakan tasauf eksesif muncul setidaknya berawal dari terbentuknya tarekat. Tarekat membangun sistem organsasi dalam tubuh pengikut tasauf. Akan tetapi dalam perkembangannya tarekat menjadi media pemujaan seseorang baik itu disebut dengan mursyid mau pun dengan wali. Ditambah lagi hirarki tarekat menciptakan kebekuan dan keterpasungan pengikutnya baik dalam hal tatanan ibadah mau pun tatanan kehidupan. Sehingga tidak mengherankan memunculkan citra agensi dalam beribadah (mursyid sebagai mediasi tuhan). Bukan hanya dalam tataran ibadah, hal seperti ini juga turut mempengaruhi kehidupan praktis (hubungan sosial) dalam diri pengantu tasauf[13].

Beranjak dari pemaparan di atas, penulis ingin mengkemas bahasan mengenai tarekat dalam tasauf. Penulis tidak bermaksud untuk memberikan justifikasi benar-salah, akan tetapi lebih kepada telaah sosio-historis (sejarah dan sosiologi) terhadap perkembangan tarekat dalam Islam. Penulisan ini berupaya untuk menjawab beberapa seputar: (1) Kedudukan tarekat dalam tasauf (2) Unsur-unsur yang membangun tarekat (3) Perkembangan dan perubahan paradigma tarekat dalam tasauf Islam. Ketiga hal di atas diharapkan dapat mencari unsur- unsur positif dalam tasauf dan unsur-unsur negatif dalam tasauf. Memahami nilai positif dan negatif dalam tasauf diharapkan mampu membangun kembali citra baik Islam di hadapan umat dunia.

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan sejarah dan sosial (sosio-historis). Penyajian sejarah hanya bersifat garis besarnya saja, cara demikian mungkin kurang disenangi oleh sejahrawan. Gambaran masyarakat pun diberikan secara umum, hal ini juga tentunya tidak akan mewakili pandangan antropologis secara keseluruhan. Unsur sejarah diangkat dalam tataran yang bersifat interpretatif (penafsiran), bukannya naratif (penuturan). Sehingga akan terjadi penyederhanaan penyajian kesejaharahan. Hal ini sebagai upaya untuk mempermudah menemukan keterkaitan arti dan fungsi dalam tatanan sosial. Dengan demikian metode pendekatan ilmu sosial dapat diterapkan tanpa harus terikut oleh pola naratif sejarah yang tentunya sangat panjang.

a.      Munculnya Tarekat dalam Tasauf
Tarekat secara harfiah berarti “jalan” mengaju kepada suatu sistem pelatihan meditasi mau pun amalan-amalan (muraqabah, zikir, wirid dan sebagainya) yang dihubungkan dengan sederet guru sufi. Tarekat juga berarti organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas, metode dengan unsur mursyid atau guru yang mengajarkan ajaran sufi tertentu secara gradual. Guru pada tarekat yang sama mengajarkan ajaran yang sama baik dalam metode, zikir dan langkah-langkah mendekatkan diri kepada Allah(Muraqabah)[14].
Dalam wacana filsafat, Tarekat menjadi titik awal pemisahan antara tasauf dengan filsafat. Setidaknya tasauf tidak lagi.
Berkutat dalam wacana-wacana filsafat, seperti keterkaitannya dengan Neo-Platonis, Iluminasi, Hikmah Muta’aliyah, Filsafat Wujud dan sebagainya. Namun, bukan berarti tasauf berlepas diri secara keseluruhan. Tasauf mengalami organisasi praktis dalam penyucian diri dalam bentuk kolektif yang didalamnya para pelajar (murid) berkumpul di sekeliling guru (syaikh). Bersama-sama mereka terlibat dalam ibadah, tafakur, dan zikir demi sebuah trance mistis. Beberapa persaudaraan sufi dikenal dengan Para Darwisy Penari, berupaya mencari trance ini melalui tarian memutar atau gerakan memutar. Praktek-praktek sedemikian ini pada umumnya berkembang di daerah Turki.[15]

J. Spencer Trimingham – seorang sejahrawan sufi – dalam bukunya The Sufi Orders in Islam menyatakan bahwa “tarekat pada mulanya adalah metode gradual kontemplatif penyucian diri(tariyqah): sekelompok sufi mengelilingi seorang guru sufi terkemuka dan bersama-sama melakukan pelatihan ruhani, namun tanpa terikat sama sekali dalam bentuk bai’at apa pun (penyerahan diri kepada guru sufi).” Ia menyebut periode pertama ini tarekat sebagai “suatu ungkapan keberagamaan pribadi murni yang berseberangan dengan pelembagaan agama berdasarkan otoritas manusia.” Sedangkan pada periode kedua – sekitar abad ke-12 – pelatihan ruhani itu kemudian mengalami pelembagaan berdasarkan garis silsilah guru dan kewajiban bai’at. Akibatnya pada periode ketiga – sekitar abad ke-15 –7 tarekat berubah menjadi strukutur organisasi yang hirarkis(¯aifah).[16]
Julian Baldick menentang pendapat yang menyatakan bahwa tarekat sudah muncul di pertengahan abad ke-12. Hal ini tentunya dapat dimengerti karena dia memandang pengertian tarekat hanya sebatas pada organisasi dalam sufi, bukan dimaknai dengan jalan pendekatan (penyatuan) kepada Allah, dan ia juga melapaskan makna tarekat dari kegiatan suatu kelompok dalam praktek penyucian diri dengan mengelilingi seorang syaikh tanpa terikat bai’at[17]. Namun, pandangan Baldick memberi penjelasan historis mengenai perubahan paradigma tarekat dalam tasauf Islam. Perubahan yang memunculkan pemusatan ibadah pada seseorang (syaikh) dan beragam kegiatan tasauf yang mendukung posisi syaikh dalam tarekat.


b.      Silsilah Syaikh Tarekat

Untuk memapankan posisi seorang syaikh sebagai pusat ibadah muncullah silsilah syaikh dalam tarekat. Silsilah tersebut merupakan mata rantai yang menyambungkan seorang syaikh dengan pendahulunya, sehingga setiap ajaran yang disampaikan dan diajarkan kepada para muridnya mempunyai otoritas. Maka sebagai ujung mata rantai tarekat berakhir kepada Nabi Muhammad, atau paling tidak kepada beberapa sahabat yang dipandang memiliki kekhususan, seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi dan lainnya.
Pada abad ke-10, susunan hirarki silisilah pada awalnya hanya merujuk sampai kepada generasi tabi’in saja, kemudian pada abad ke-12 mata rantai silisilah memanjang kebelakang dan dikaitkan kepada para sahabat dan Rasulullah. Nuansa fanatisme dalam tarekat mulai mengental, hal ini diperkuat dengan ajaran-ajaran atomistik baik dalam sunni mau pun syi’ah. Paradigma berpikir kedua ajaran membentuk tarekat sufi yang pada awalnya netral dan murni ekspresi ihsan, berubah menjadi fanatisme terkotak. Syi’ah dengan mapan menempatkan para Imam keturunan ahl bayt (baca keturunan Ali) dalam jajaran silsilah tarekat mereka. sedangkan sunni, baik disadari atau tidak mengikuti pola yang sama – apakah merupakan tandingan terhadap syi’ah – menempatkan sahabat lainnya seperti Abu Bakar dan Umar sebagai silisilah akhir dalam tarekatnya[18].
Banyak yang menentang autensitas dari silsilah pada setiap tarekat, setidaknya muncul dari kalangan sejahrawan, para fuqaha’, ahli hadis dan lainnya. Bahkan Ruzbihan Baqli menyatakan bahwa tarekat standar (mu’tabarah) pada umat Islam dewasa ini tidak mengakomodir banyak para tokoh sufi, mereka hanya memilih orang-orang tertentu saja yang dimasukkan dalam silisilah syaikh mereka. ironisnya, bahkan tokoh-tokoh sufi terkemuka yang menjadi pioner tasauf dalam Islam tidak termasuk dalam silsilah syaikh mereka. Sebuah penelitian kasar yang dilakukan Departemen Wakaf (semacam Departemen Agama) di Pakistan telah mengungkapkan bahwa sekitar setengah dari makan para wali (sufi) di Provinsi Punjab ternyata tidak termasuk dalam silsilah tarekat sufi mana pun[19].
Keadaan ini menunjukkan bahwa penetapan silisilah hanya upaya untuk memberikan otoritas ajaran yang dikembangkan dalam sebuah tarekat. Setidaknya dengan melandaskan ajaran tersebut kepada tokoh-tokoh terkemuka dari golongan tabi’in, terutama para sahabat – itu pun hanya sahabat tertentu – memberikan autoritas seorang syaikh terhadap muridnya. Karakter khusus dalam Islam untuk menyampaikan ajaran sangat dipengaruhi metode sandaran (sanad), sepertinya dalam hadis, pembacaan al-Qur’an, fiqh dan sebagainya. Konsep sanad ini tentunya menjadi dasar untuk membangun konsep silisilah syaikh dalam tasauf. Ketersambungan silsalah, terutama melalui jalur orang-orang yang terkemuka dan terpercaya tentunya memberikan jaminan dari baiknya suatu pesan atau ajaran. Akan tetapi, analisis sejarah membuktikan bahwa mata rantai silisilah tarekat sering kali hanyalah fiktif belaka. Maka tak jarang terjadi perbedaan pendapat dalam pengikut tarekat, siapakan ujung silsilah mereka yang bersambung kepada Rasulullah.[20]
c.       Bai’at dalam Tarekat

Konsep selanjutnya yang muncul adalah bai’at. Bai’at menuntut seorang murid untuk melakukan kepatuhan mutlak kepada sang guru (syaikh)[21]. Bai’at membangun keyakinan bahwa seorang murid tidak akan berhasil dalam upaya mensucikan diri tanpa bimbingan dari syaikh (mursyid). Sehingga membangun paradigma bahwa mendekatkan diri kepada Allah hanya dapat dilakukan apabila mematuhi seorang syaikh, terbangun sebuah agensi ilahi dalam hal ini. Dengan demikian, pola pemikiran seorang murid terpostulasi pada instruksi syaikhnya. Seorang hamba Allah untuk mendekatkan dirinya harus melalui hamba Allah lainnya[22].

Setelah pembaitan dilakukan maka seorang murid secara sukarela untuk mematuhi apa pun yang diintruksikan oleh, tanpa ada ruang sedikit pun untuk mengacukan keberatan. Ketidakbolehan mengajukan kritik berlandaskan kepada bahwa seluruh instruksi yang disampaikan oleh mursyid (syaikh) bersumber langsung dari Allah. Karena diyakini seorang mursyid telah mencapai derajat wali Allah yang telah diberi legalitas untuk mengetahui segala pengetahuan di alam semesta ini. Setidaknya selain mengingat Allah (zikr), banyak hal yang harus dipatuhi oleh seorang murid sesuai dengan ciri khas dari ajaran masing-masing tarekat. Di antaranya perilaku untuk hidup dalam pondokan, berkelana, mendengarkan puisi, khalwat empat puluh hari, sikap terhadap sejawat sufi, sikap terhadap syaikh dan lainnya[23].

Bahkan terdapat dalam ajaran sebuah tarekat agar seorang murid dapat menjalankan konsepinya (hendaklah engkau menyembah seakan-akan engkau melihat-Nya dan meskipun engkau tidak dapat melihat-Nya, Dia tetap melihatmu), seorang murid tersebut dalam salatnya meletakkan gambar syaikhnya di hadapannya[24].

Ada kepercayaan yang muncul dalam tarekat bahwa bai’at bisa dilakukan secara ghaib. Misalnya dalam silsilah tarekat Naqsabandiyah dipercaya bahwa Abu al-Hasan al-Kharqani (w.1034) telah dibai’at oleh ruh Abu Yazid al-Bus¯ami (w. 874 M). Sedangkan diketahui bahwa Abu Yazid al-Bus¯ami telah lama meninggal, dan tidak pernah bertemu dengan Abu al-¦asan al- Kharqani bai’at seperti ini dikenal dengan bai’at uwaisi-yang diambil dari nama Uwais al-Qarani, seorang Yaman yang semasa dengan Nabi Saw. Dia tidak pernah bertemu dengan Rasulullah, akan tetapi diikabarkan bahwa Rasul mengirimkan kepadanya jubah yang dianggap sebagai bai’at ‘jarak jauh’. Juga berkembang keyakinan bahwa banyak syaikh tarekat dibai’at langsung oleh Nabi Khidir yang diyakini tak pernah mati.

d.      Tarekat Saat Ini

Umat Islam pada umunya berada dalam keterpurukan dalam kemajuan peradaban dunia. Sehingga yang sangat dibutuhkan umat Islam adalah membangun kesadarannya selaku manusia (khal³fah Allah)[25]. Manusia memiliki tanggung jawab kehidupan bukan hanya kepada alam saja dimana ia hidup, akan tetapi kepada Allah selaku Tuhannya. Maka tidak mengherankan kalau belakangan ini kesadaran terhadap keduanya baik tanggung jawab terhadap alam mau pun tanggung jawab kepada Tuhan telah menggerakkan manusia untuk kembali berpikir. Bukan hanya dalam dunia Islam saja, akan di seluruh belahan dunia merasakan dampak kemiskinan manusia terutama dalam hal spritual. Sebut saja misalnya Amerika, gejolak pemberontakan materialistis telah melahirkan gerakanhippies sebagai reaksi pemberontakan terhadap nilai-nilai kemapanan materil. Mereka pun mencari-cari alternatif ada dengan jalan yang positif, seperti mereka belajar yoga dalam tradisi Hindusime, atau melihat kepada ajaran lainnya (Islam). Namun, tidak sedikit juga yang menempuh jalan negatif dan merusak.

Kiranya wajah tarekat agar dapat diubah dengan mengandalkan objektifitas dalam prinsip-prinsip dasarnya. Bukan lagi menciptakan paradigma atomistik-sentralis dalam artian terpusat dan terkotak pada pandangan seorang syaikh saja, akan tetapi untuk membuka cakrawala berpikir yang lebih luas dan menyentuh.

Begitu juga halnya berkenaan dengan pergantian syaikh dalam tarekat hendaknya dilakukan dengan cara-cara objektif, tujuan tarekat dan syaikh bukanlah membangun istana impian atau daerah kekuasaan syaikh akan tetapi menyadarkan umat untuk dapat memakna hidup secara lebih baik dalam tataran moral. Bukankah al-Qusyasyi sendiri mengatakan bahwa seseorang dapat diangkat menjadi syaikh bukan karena garis keturunan, akan tetapi dikarenakan oleh kapabilitas dan perilaku dia yang mengantarkan untuk menjadi panutan.[26]

Konsep silsilah syaikh dalam tarekat berakibat kepada pemujaan seseorang yang tentunya berseberangan dengan ajaran Islam. Spirit tauhid Islam telah menuntun umat untuk hanya memuja Allah dengan mengikuti jalan yang telah ditempuh Rasulullah. Dalam alqur’an diisyaratkan bahwa apabil kita mencintai Allah, maka ikutilah Rasulullah. Bukan menjadikan manusia lainnya sebagai Rasulullah.

Artinya: Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[27].

Memunculkan gerakan tarekat dalam wajah barunya-sesuai dengan ajaran islam-akan membangkitkan citra baik umat Islam dalam pandangan umat dunia, menghilangkan wacana pedang dalam tubuh umat ini.





[1]Karen, Armstrong, Sejarah Tuhan (Bandung: Mizan, 1993), h.
[2] Karen, Armstrong, Sejarah Tuhan (Bandung: Mizan, 1993), h.
[3]Karen, Armstrong, Sejarah Tuhan (Bandung: Mizan, 1993), h.  
[4] T Rhys Davids, Buddhist India, h. 3 (Putnam’s New York, 8th edition, 1959)
[5] S. Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. 1, h. 354 (George Allen and Unwin, London, 1923)
[6] Nurul Lutfiyati (4100030), Membujang, Mistik Islam, Mistik Buddha, Perbandingan Agama,  Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, 2006-06-12.
[7] Masaharu Anesaki, History of Japanese Religion, (Kegan Paul, Trench, Trubner and Co. London: reprinted 1963), h. 54
[8] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha,( PT. BPK Gunung Mulia, 1987), h. 71
[9]Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, cet.II. 2002) h. 84
[10]Haidar Bagir, Buku Saku Tasauf (Bandung: Mizan, cet.II, 1426H/2006), h. 33
[11]Lebih Jauh baca Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Penerbit Mizan, Cet.II, 1995), baca juga Oman Fathurahman, Tanbih al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad (Bandung: Penerbit Mizan, Cet. II, 1999).
[12]Akbar S. Ahmed, Citra Islam: Tinjauan Sejarah dan Sosiologi terj. Nunding Ram (Jakarta: Erlangga, 1990), h. 99.
[13] Bagir, Buku (Bandung: Mizan, cet.II, 1426H/2006), h. 178
[14]Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), h. 8
[15] Fakhry, Sejarah Filsafat, h. 95
[16] Pembagian ini dinukil dalam Bagir, Buku Saku, h. 178
[17] Meski pun tidak sepenuhnya pendapat dia yang dapat dibenarkan  terutama kesimpulannya yang mengatakan bahwa tarekat mengadopsi sistem yang berkembang dalam dunia gereja Kristen, dengan menjadikan seorang syaikh sebagai pusat ibadah yang tentunya mirip dengan sistem gereja yang muncul lebih awal, baca Julian Baldick, Islam Mistik: Pengantar Anda ke Dunia Tasauf, terj. Satrio Wahono (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1423 H/2002 M), h. 97
[18] Tarekat Naqsabandiyah dengan silislah syaikhnya ‘Abd al-Qadir Jilani sampai kepada Rasulullah melalui jalur Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Fatimah za-Zahra binti Muhammad. Sedangkan Tarekat Syadziliyah berbeda pendapat terkait silsilah syaikhnya Abu al-Hasan as-Syadzili kepada Nabi Muhammad, diantara mereka berkeyakinan melalui Hasan dan ada juga yang berkeyakinan melalui Husain. Tarekat Naqsyabandiyah berkeyakinan bahwa syaikh mereka silsilah al-Bukhari Naqsyabandi berafiliasi kepada khalifah pertama, Abu Bakar dan juga Salman al-Farisi. Tarekat Khalwatiyah berkeyakinan bahwa silsilah mereka sampai kepada Nabi Muhammad melalui jalur Hasan bin Ali bin Abi Thalib serta Fatimah binti Muhammad. Lebih menyeluruh dapat di lihat pada Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami.
[19]Haidar Bagir, Buku Saku, h. 180
[20]Baldick, Islam Mistik, h. 104
[21]Sebagaimana contoh kepatuhan dalam tarekat Chistiyah, seorang murid harus mengikuti ajaran gurunya yaitu menggantung dirinya ke dalam sumur dengan kepala di bawah selama 40 hari, lihat Haidar Bagir, Buku Saku, h. 178.
[22]Ada kemiripan dengan konsep gereja dan kependetaan dalam ajaran Kristen, bahwa setiap umat Kristiani akan mendapat surga hanya melalui gereja dan kependataan. Sistem gereja dan kependetan ini merupakan perubahan yang dilakukan oleh Paus Gregory VII (1073-1085) dalam upayanya memyatukan orde-orde dalam Kristen ke dalam sistem gereja, dengan penyatuan ini dia berhasil menempatkan gereja dan para lebih tinggi dari kekuasaan duniawi (sekuler). Baca Baldick, Islam Mistik, h. 102
[23]Baldick, Islam Mistik, h. 103
[24]Al-Maqdisy, Abu an-Nur, as-shufiyyah fi Mizan al-Kitab wa as-Sunnah (al-Jabhah al- ’lamiyyah al-Islamiyyah al-‘²lamiyyah, 1468 H), h. 4.
[25]Baik dalam artian antropolisme: yaitu manusia sebagai pusat kehidupan, mau pun ekologisme: yaitu manusia merupakan bagian dari alam semesta.  
[26] Bagir, Buku Saku, h. 182-183
[27]QS. Ali Imran: 31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar